New York (ANTARA) - Harga minyak naik tajam level tertinggi sejak Februari pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), setelah Arab Saudi mengumumkan pemangkasan produksi sukarela yang besar dan penurunan tajam dalam persediaan minyak mentah Amerika Serikat.
Harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Maret bertambah 70 sen atau 1,3 persen, menjadi menetap pada 54,30 dolar AS per barel. Di awal sesi, harga Brent mencapai 54,73 dolar AS per barel, merupakan level yang tidak terlihat sejak 26 Februari 2020.
Sementara itu harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup 70 sen lebih tinggi atau 1,4 persen, menjadi ditutup di 50,63 dolar AS per barel. Kontrak WTI sempat menyentuh 50,94 dolar AS per barel, level tertinggi sejak akhir Februari 2020.
Kontrak berjangka mengurangi keuntungan dalam perdagangan pasca-penyelesaian yang tipis setelah pengunjuk rasa menyerbu gedung Capitol AS dalam upaya untuk menggagalkan pengesahan kekalahan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS November.
Kerusuhan di Washington mengambil alih berita fundamental yang bullish. Kedua kontrak itu hanya naik 39 sen per barel pada pukul 15.46 waktu setempat (1946 GMT).
Pendukung Trump mengerumuni Capitol AS pada Rabu (6/1/2021), menutupnya, ketika Wakil Presiden Mike Pence menolak permintaan presiden untuk membatalkan kekalahannya dari Joe Biden Demokrat dan pemimpin Senat Republik mengecam upaya di Kongres untuk membatalkan hasil pemilihan.
Selama sesi tersebut, pasar menanggapi penurunan stok minyak mentah AS dan rencana pengurangan produksi Saudi.
Stok minyak mentah AS turun tajam sementara persediaan bahan bakar naik, Badan Informasi Energi AS (EIA) mengatakan pada Rabu (6/1/2021), dan 2020 berakhir dengan penurunan tajam dalam permintaan secara keseluruhan karena pandemi Virus Corona.
Persediaan minyak mentah turun delapan juta barel dalam sepekan hingga 1 Januari menjadi 485,5 juta barel, melebihi ekspektasi analis dalam jajak pendapat Reuters untuk penurunan 2,1 juta barel. Penurunan stok minyak mentah terjadi pada akhir tahun, ketika perusahaan-perusahaan energi mengeluarkan barel dari penyimpanan untuk menghindari tagihan pajak yang besar.
Konsumsi kilang yang tinggi mungkin berumur pendek, kata Direktur Energi Berjangka Mizuho, Bob Yawger, di New York.
“Kami telah membakar banyak minyak mentah untuk menghasilkan banyak produk, dan tidak ada permintaan untuk produk tersebut,” katanya. "Anda tidak bisa berlari pada tingkat setinggi itu selamanya, dengan angka-angka seperti itu."
Arab Saudi, pengekspor minyak terbesar dunia, mengatakan pada Selasa (5/1/2021) akan membuat tambahan, pengurangan produksi minyak sukarela sebesar satu juta barel per hari (bph) pada Februari dan Maret, setelah pertemuan OPEC+, yang mengelompokkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan produsen lain, termasuk Rusia.
Dengan infeksi Virus Corona yang menyebar dengan cepat, para produsen waspada terhadap pukulan lebih lanjut pada permintaan.
OPEC+ setuju sebagian besar produsen akan mempertahankan produksi stabil pada Februari dan Maret sementara mengizinkan Rusia dan Kazakhstan untuk meningkatkan produksi pada 75.000 barel per hari pada Februari dan 75.000 barel per hari pada Maret.
"Terlepas dari perjanjian pasokan bullish ini, kami percaya keputusan Saudi kemungkinan mencerminkan tanda-tanda melemahnya permintaan karena lockdown kembali," tulis Analis Goldman Sachs dalam sebuah catatan, meskipun mereka mempertahankan perkiraan akhir 2021 untuk minyak Brent sebesar 65 dolar AS per barel.
Produksi minyak OPEC naik untuk bulan keenam pada Desember menjadi 25,59 juta barel per hari, survei Reuters menemukan, didukung oleh pemulihan lebih lanjut dalam produksi Libya dan kenaikan yang lebih kecil di tempat lain.
Baca juga: Harga minyak melonjak dipicu hasil pembicaraan OPEC+ dan ketegangan Iran
Baca juga: Minyak jatuh setelah OPEC+ tunda keputusan tentang produksi
Baca juga: Harga minyak naik jelang tutup tahun, tapi catat penurunan 20 persen pada 2020