Bunga acuan terendah dalam sejarah demi geliatkan ekonomi
Senin, 14 Desember 2020 15:37 WIB
Jakarta (ANTARA) - "Terendah sepanjang sejarah," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo setelah memangkas suku bunga acuan menjadi 3,75 persen pada 19 November 2020.
Level terendah suku bunga acuan itu bisa dikatakan memecahkan rekor selama ini yang belum pernah menyentuh di bawah empat persen.
Tentunya, si bunga acuan itu sudah merasakan naik turun perjalanan yang panjang. Misalnya, pada 2009 bunga acuan yang kala itu disebut BI Rate sempat menyentuh level di atas tujuh persen.
Suku bunga acuan, yang kemudian berganti istilah menjadi BI 7-Day Repo Rate (BI7DRR) pada 19 Agustus 2016, sempat mencapai 5,25 persen, dan turun hingga 4,25 persen pada 19 April 2018.
BI sempat menaikkan kembali suku bunga acuan menjadi 4,50 persen pada 17 Mei 2018, kemudian terus merangkak naik hingga menyentuh level enam persen yang bertahan hingga 20 Juni 2019.
Era pelonggaran kebijakan moneter membuat BI7DRR mulai menunjukkan tren penurunan sejak Juli 2019 sebesar 5,75 persen, yang disusul dengan kisaran penurunan 25 basis poin pada periode berikutnya.
Selama tahun 2020, BI bahkan sudah menurunkan 125 basis poin suku bunga kebijakan dari sebelumnya 5 persen pada Januari 2020. Bank sentral sempat mempertahankan suku bunga acuan pada level empat persen selama periode Juli-Oktober 2020.
Keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan rendah itu tidak terlepas dari pandemi COVID-19 yang membuat perekonomian hampir seluruh negara di dunia babak belur.
Pandemi mengakibatkan daya beli masyarakat melemah yang mengakibatkan permintaan berkurang. Kondisi inilah yang mendorong BI mencukur tingkat suku bunga acuan mengingat laju inflasi tercatat rendah.
Inflasi yang rendah itu terjadi karena permintaan masyarakat saat ini belum kuat alias masih lemah akibat imbas virus corona.
Secara tahunan, inflasi indeks harga konsumen (IHK) per Oktober 2020 mencapai 1,42 persen, jauh di bawah kisaran target pemerintah yakni tiga persen plus minus satu persen.
Selain karena inflasi, BI juga menurunkan suku bunga acuan dengan mencermati faktor eksternal perekonomian global yang mengalami perbaikan setelah pada triwulan III-2020 tumbuh lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi dunia pada triwulan III 2020 di banyak negara mulai membaik didorong oleh stimulus kebijakan dan peningkatan mobilitas.
Selain menurunkan suku bunga acuan, BI juga menurunkan masing-masing 25 basis poin untuk suku bunga deposit facility menjadi 3 persen dan suku bunga lending facility menjadi 4,5 persen.
Dorong ekonomi
Bank sentral mengharapkan suku bunga acuan yang rendah itu harapannya untuk mendorong pemulihan ekonomi. Praktisnya, jika suku bunga acuan menurun, maka suku bunga kredit juga menurun.
Dengan begitu, masyarakat dan dunia usaha diharapkan mau mencari dana segar untuk pembiayaan atau kredit. Meski demikian, gambaran sederhana itu masih jauh dari harapan karena suku bunga kredit perbankan masih terbilang tinggi.
Kondisi itu pun turut memantik Perry Warjiyo, yang sempat meminta perbankan, untuk menurunkan suku bunga kredit.
Menurut dia, kondisi tersebut dimungkinkan karena besar kecil suku bunga kredit dipengaruhi oleh tiga faktor yakni biaya dana atau cost of fund, biaya administrasi dan premi risiko.
Biaya dana untuk pasar uang antarbank (PUAB), misalnya, berada pada posisi rendah mencapai 3,29 persen pada Oktober 2020, sehingga biaya yang dikeluarkan perbankan juga menurun.
Sedangkan faktor kedua, kata Perry, yakni biaya administrasi, karena pandemi COVID-19 membuat perbankan melakukan digitalisasi, sehingga justru mendorong biaya administrasi menurun.
Di sisi lain, likuiditas perbankan juga melimpah, salah satunya karena BI melakukan injeksi likuiditas per awal Desember 2020 mencapai Rp682 triliun atau 4,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, ia meyakini perbankan masih memiliki persepsi risiko terhadap kredit di tengah menurunnya aktivitas ekonomi. BI mencatat suku bunga deposito dan kredit modal kerja mencapai 4,93 persen dan 9,38 persen pada Oktober 2020.
Berdasarkan data itu, perbankan hanya berani menurunkan 0,06 persen untuk suku bunga kredit modal kerja jika dibandingkan September 2020 yang mencapai 9,44 persen. Bunga deposito hanya turun 0,25 persen dari sebelumnya 5,18 persen pada September 2020.
Untuk itu, kenyataannya tidaklah semudah dibayangkan bagi perbankan menurunkan bunga kredit.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai perbankan masih menerapkan prinsip kehati-hatian sebagai upaya mitigasi risiko kredit salah satunya risiko kenaikan kredit bermasalah (NPL).
Menurut dia, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL perbankan per September 2020 mencapai 3,15 persen, masih lebih tinggi dibandingkan NPL Desember 2019 yang berada di bawah tiga persen.
Padahal, perbankan, lanjut dia, sudah melakukan penyesuaian dari sisi marjin dan suku bunga deposito yang juga turun, didukung juga penurunan tingkat bunga penjaminan dari LPS yang juga turun menjadi 4,5 persen.
Sementara itu, Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri menilai pemulihan ekonomi juga sebaiknya didorong kebijakan fiskal pemerintah, salah satu di antaranya optimalisasi pemberian cash transfer atau bantuan langsung tunai (BLT).
Sederhananya, menurut ekonom senior itu, masyarakat yang memegang uang akan melakukan belanja sehingga mendorong konsumsi rumah tangga.
Saat ini, konsumsi rumah tangga masih memegang porsi terbesar dalam pergerakan ekonomi Indonesia yakni berkisar 56-57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan adanya pembenahan tersebut maka pelaku usaha akan semakin bergairah untuk melakukan investasi seiring dengan lahirnya permintaan.
Kemudian, perbankan juga diberikan penjaminan kredit sebagai stimulus agar terdorong menyalurkan kredit mengingat realisasi pembiayaan masih terbilang rendah.
Berdasarkan data OJK, secara tahunan penyaluran kredit hingga September 2020 mencapai Rp5.531 triliun atau hanya tumbuh 0,12 persen. Bahkan, dibandingkan Desember 2019, realisasi kredit mengalami kontraksi 7,8 persen.
Dengan adanya kebijakan BI untuk menurunkan suku bunga acuan, hingga mencapai angka terendah sepanjang sejarah, maka momentum ini dapat menjadi titik balik bagi pemulihan ekonomi.
Bukan tidak mungkin BI kembali menambah rekor lagi dengan kembali menurunkan suku bunga acuan dengan catatan tingkat inflasi rendah dan permintaan domestik masih mengalami kelesuan.
Level terendah suku bunga acuan itu bisa dikatakan memecahkan rekor selama ini yang belum pernah menyentuh di bawah empat persen.
Tentunya, si bunga acuan itu sudah merasakan naik turun perjalanan yang panjang. Misalnya, pada 2009 bunga acuan yang kala itu disebut BI Rate sempat menyentuh level di atas tujuh persen.
Suku bunga acuan, yang kemudian berganti istilah menjadi BI 7-Day Repo Rate (BI7DRR) pada 19 Agustus 2016, sempat mencapai 5,25 persen, dan turun hingga 4,25 persen pada 19 April 2018.
BI sempat menaikkan kembali suku bunga acuan menjadi 4,50 persen pada 17 Mei 2018, kemudian terus merangkak naik hingga menyentuh level enam persen yang bertahan hingga 20 Juni 2019.
Era pelonggaran kebijakan moneter membuat BI7DRR mulai menunjukkan tren penurunan sejak Juli 2019 sebesar 5,75 persen, yang disusul dengan kisaran penurunan 25 basis poin pada periode berikutnya.
Selama tahun 2020, BI bahkan sudah menurunkan 125 basis poin suku bunga kebijakan dari sebelumnya 5 persen pada Januari 2020. Bank sentral sempat mempertahankan suku bunga acuan pada level empat persen selama periode Juli-Oktober 2020.
Keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan rendah itu tidak terlepas dari pandemi COVID-19 yang membuat perekonomian hampir seluruh negara di dunia babak belur.
Pandemi mengakibatkan daya beli masyarakat melemah yang mengakibatkan permintaan berkurang. Kondisi inilah yang mendorong BI mencukur tingkat suku bunga acuan mengingat laju inflasi tercatat rendah.
Inflasi yang rendah itu terjadi karena permintaan masyarakat saat ini belum kuat alias masih lemah akibat imbas virus corona.
Secara tahunan, inflasi indeks harga konsumen (IHK) per Oktober 2020 mencapai 1,42 persen, jauh di bawah kisaran target pemerintah yakni tiga persen plus minus satu persen.
Selain karena inflasi, BI juga menurunkan suku bunga acuan dengan mencermati faktor eksternal perekonomian global yang mengalami perbaikan setelah pada triwulan III-2020 tumbuh lebih baik.
Pertumbuhan ekonomi dunia pada triwulan III 2020 di banyak negara mulai membaik didorong oleh stimulus kebijakan dan peningkatan mobilitas.
Selain menurunkan suku bunga acuan, BI juga menurunkan masing-masing 25 basis poin untuk suku bunga deposit facility menjadi 3 persen dan suku bunga lending facility menjadi 4,5 persen.
Dorong ekonomi
Bank sentral mengharapkan suku bunga acuan yang rendah itu harapannya untuk mendorong pemulihan ekonomi. Praktisnya, jika suku bunga acuan menurun, maka suku bunga kredit juga menurun.
Dengan begitu, masyarakat dan dunia usaha diharapkan mau mencari dana segar untuk pembiayaan atau kredit. Meski demikian, gambaran sederhana itu masih jauh dari harapan karena suku bunga kredit perbankan masih terbilang tinggi.
Kondisi itu pun turut memantik Perry Warjiyo, yang sempat meminta perbankan, untuk menurunkan suku bunga kredit.
Menurut dia, kondisi tersebut dimungkinkan karena besar kecil suku bunga kredit dipengaruhi oleh tiga faktor yakni biaya dana atau cost of fund, biaya administrasi dan premi risiko.
Biaya dana untuk pasar uang antarbank (PUAB), misalnya, berada pada posisi rendah mencapai 3,29 persen pada Oktober 2020, sehingga biaya yang dikeluarkan perbankan juga menurun.
Sedangkan faktor kedua, kata Perry, yakni biaya administrasi, karena pandemi COVID-19 membuat perbankan melakukan digitalisasi, sehingga justru mendorong biaya administrasi menurun.
Di sisi lain, likuiditas perbankan juga melimpah, salah satunya karena BI melakukan injeksi likuiditas per awal Desember 2020 mencapai Rp682 triliun atau 4,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun, ia meyakini perbankan masih memiliki persepsi risiko terhadap kredit di tengah menurunnya aktivitas ekonomi. BI mencatat suku bunga deposito dan kredit modal kerja mencapai 4,93 persen dan 9,38 persen pada Oktober 2020.
Berdasarkan data itu, perbankan hanya berani menurunkan 0,06 persen untuk suku bunga kredit modal kerja jika dibandingkan September 2020 yang mencapai 9,44 persen. Bunga deposito hanya turun 0,25 persen dari sebelumnya 5,18 persen pada September 2020.
Untuk itu, kenyataannya tidaklah semudah dibayangkan bagi perbankan menurunkan bunga kredit.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai perbankan masih menerapkan prinsip kehati-hatian sebagai upaya mitigasi risiko kredit salah satunya risiko kenaikan kredit bermasalah (NPL).
Menurut dia, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL perbankan per September 2020 mencapai 3,15 persen, masih lebih tinggi dibandingkan NPL Desember 2019 yang berada di bawah tiga persen.
Padahal, perbankan, lanjut dia, sudah melakukan penyesuaian dari sisi marjin dan suku bunga deposito yang juga turun, didukung juga penurunan tingkat bunga penjaminan dari LPS yang juga turun menjadi 4,5 persen.
Sementara itu, Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri menilai pemulihan ekonomi juga sebaiknya didorong kebijakan fiskal pemerintah, salah satu di antaranya optimalisasi pemberian cash transfer atau bantuan langsung tunai (BLT).
Sederhananya, menurut ekonom senior itu, masyarakat yang memegang uang akan melakukan belanja sehingga mendorong konsumsi rumah tangga.
Saat ini, konsumsi rumah tangga masih memegang porsi terbesar dalam pergerakan ekonomi Indonesia yakni berkisar 56-57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan adanya pembenahan tersebut maka pelaku usaha akan semakin bergairah untuk melakukan investasi seiring dengan lahirnya permintaan.
Kemudian, perbankan juga diberikan penjaminan kredit sebagai stimulus agar terdorong menyalurkan kredit mengingat realisasi pembiayaan masih terbilang rendah.
Berdasarkan data OJK, secara tahunan penyaluran kredit hingga September 2020 mencapai Rp5.531 triliun atau hanya tumbuh 0,12 persen. Bahkan, dibandingkan Desember 2019, realisasi kredit mengalami kontraksi 7,8 persen.
Dengan adanya kebijakan BI untuk menurunkan suku bunga acuan, hingga mencapai angka terendah sepanjang sejarah, maka momentum ini dapat menjadi titik balik bagi pemulihan ekonomi.
Bukan tidak mungkin BI kembali menambah rekor lagi dengan kembali menurunkan suku bunga acuan dengan catatan tingkat inflasi rendah dan permintaan domestik masih mengalami kelesuan.