London (ANTARA) - Sri Astari Rasjid memandang Bulgaria, Albania dan Makedonia Utara lebih sebagai tanah budaya, alih-alih entitas politik, di Eropa Timur. Tidak heran, saat menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Sofia, ia menjalankan diplomasi budaya untuk mendorong perdamaian dan harmoni sebagai misi strategisnya.
Di akhir masa tugasnya sebagai Duta Besar Luar Biasa & Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Bulgaria merangkap Republik Albania dan Republik Makedonia Utara, Astari meluncurkan buku Art of Diplomacy. Buku ini berisi perjalanan kehidupan profesional dan pribadinya sampai ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Sofia di Bulgaria dan prestasinya saat menjabat.
Dalam buku itu, Astari menceritakan keberhasilan diplomasi budaya yang dilakukan oleh KBRI Sofia di Bulgaria, Albania dan Makedonia Utara selama periode 2016-2020.
Buku yang diterbitkan dalam tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan Bulgaria, ini juga memuat foto-foto kegiatan Astari saat menjalani diplomasi di Bulgaria, Albania dan Makedonia Utara, serta foto karya seninya.
Astari sebelum jadi dubes adalah seorang seniman, pelukis yang berkiprah dalam pameran di berbagai forum dengan pelukis Hardi, Dede Eri Supria. Tak heran dia begitu akrab dengan dunia seni rupa di saat menjadi dubes. Itu pula mengapa bukunya berjudul Art of Diplomacy. Di buku itu, Astari menceritakan bagaimana menjalankan diplomasi secara artistik.
“Saya selalu memberikan yang terbaik, baik sebagai seorang seniman maupun dubes,” ujar Astari kepada ANTARA London, Sabtu.
Dikatakannya, diplomasi juga merupakan seni melukis perdamaian dan harmoni, keindahan dan toleransi, di atas kanvas hubungan internasional untuk kepentingan negara dan umat manusia, ujarnya.
Buku Art of Diplomacy menceritakan perjalanan hidup seorang anak perempuan Indonesia, anak kelima dari seorang diplomat yang ditugaskan di India dan Burma.
Astari menjalani kehidupannya menjadi pemimpin redaksi majalah fashion di usia 19, saat belajar di London. Astari adalah perempuan serba bisa. Ia juga perancang busana, sekaligus ibu dan istri pengusaha, serta seniman profesional, yang akhirnya menjadi dubes.
Buku ini bercerita dengan cara yang sangat menarik, meskipun hanya berawal sebagai sebuah kompilasi dari berbagai wawancara Astari dengan jurnalis Bulgaria dan Indonesia.
Tentang kehidupan dan kebahagiaan, Astari menulis, "Ketika kita jatuh terpuruk, di sanalah letak harta kita!
Jadi, rasakan sakitnya, temukan permata kasih sayang dan makna maaf yang sesungguhnya. Bangkit dan hadapilah dunia dengan semangat baru. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang! Mungkin mereka akan memanggil kita untuk menjadi duta besar!"
Bagian paling menarik dari buku ini adalah karya seninya yang masih relevan dan bermakna dalam tugas diplomasi yang dijalani Astari saat ini. Karya seni yang dapat ditemukan dalam buku ini berasal dari 30 tahun terakhir kreasi seninya sebagai seniman profesional.
Buku terdiri dari delapan bab. Setiap bab dari buku ini judulnya diambil dari salah satu karya seninya. Seperti bab pertama bercerita tentang masa kecil. Bab ini diberi judul Still Strong in My Memory, sesuai dengan judul lukisan Astari yang menggambarkan ia dan ayah ibunya, yang dibuat tahun 2008.
Pada bab kedua berjudul Ever Ready Secretary, bercerita tentang proses persiapan dan pembelajaran Astari dalam menjalankan tugas. Bab ini mencakup cerita kehidupannya sebagai seorang seniman, pemerhati pendidikan, peniti karier, pecinta keluarga. Bagi Astari, yang paling penting dalam hidup ini adalah orang-orang yang menginspirasinya serta orang-orang menarik yang ditemui dalam hidupnya.
Dalam bab ini dia menyatakan: “Saya mengenang Benazir Bhutto dari Pakistan, dengan kekaguman dan rasa sakit di hati. Pada hari dia dibunuh, saya meneteskan air mata."
Sementara pada bab ketiga yang diberi judul Loyally Holding, bercerita tentang misinya sebagai seorang dubes. Dalam bab ini Astari bercerita mengenai pemikiran artistiknya tentang tugas dubes.
Dia menulis: “Ketika saya ditugaskan sebagai duta besar di Bulgaria, saya melihat Presiden Joko Widodo memiliki pemahaman mendalam tentang wilayah ini, karena ia memilih seorang seniman untuk mewakili Indonesia di tanah budaya ini."
Bab keempat buku ini bercerita tentang tanah air Indonesia yang amat Astari cintai. Judul bab ini berasal dari karya seninya: Tension Between Reality and Illusion, yang dilukis pada tahun 1999.
Ketika seorang jurnalis bertanya kepadanya, ‘Sebagai artis, bagaimana Ia melukiskan Indonesia? Astari menjawab “Saya melukis jiwa negara saya dalam banyak warna, karena sumber dari semua warna itu satu! Itulah arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika."
Bab kelima, Dancing the Wild Seas, bercerita tentang negara, yang menjadi akreditasi tempat ia ditugaskan di Bulgaria, Albania dan Makedonia Utara. Tentang Bulgaria Astari menulis, "Meskipun kecil, Bulgaria memiliki jiwa besar. Dengan pelestarian tradisi dan pola pikir yang fleksibel, dalam jangka panjang bangsa Bulgaria akan bangkit lebih kuat dan lebih berani dalam kerja sama internasional."
Di bab keenam , Astari menceritakan tentang metode penerapan strategi misinya sebagai dubes dan hasil diplomasi budaya yang ia lakukan. Bab ini diberinya judul Every Wall is A Door.
Astari adalah penggagas Asian Festival di Bulgaria di tahun 2017. Buku itu menceritakan ide di balik pelaksanaan Asian Festival di Sofia untuk pertama kalinya. “Negara-negara Asia memiliki semangat ketimuran yang serupa, menjadi kekuatan utama di masa depan. Menyatukan mereka bersama berarti menaburkan benih-benih persatuan, toleransi, harmoni, dan kedamaian. Ini adalah tujuan saya untuk dalam menggagas Asian Festival,” ujar Astari.
Di bab ketujuh berjudul No U Turn, Astari menceritakan visinya mengenai masa depan Indonesia, Uni Eropa, dan isu-isu penting lainnya. Sementara pada bab kedelapan berisi wawancara komprehensif jAstari dengan Jurnalis Bulgaria ternama, Olya Al-Ahmad, yang dilakukan pada tahap awal pandemi COVID-19.
Bab yang diberi judul The Healer itu diambil dari judul lukisannya yang dibuat pada 1999. Astari menulis dalam bab ini “Kita harus selalu ingat bahwa setelah musibah, akan ada hal-hal baru yang lebih baik di dunia ini. Kita semua akan bisa melewati ini semua, dengan aman dan sehat, jika orang-orang di sekeliling kita aman dan sehat.”
Bab sembilan berjudul Cultural Diplomacy berisi pidato Astari, yang antara lain bertutur, “Saya ingin orang-orang melihat, mendengar, menyentuh, dan merasakan Indonesia. Melalui diplomasi budaya kami menghubungkan bangsa, untuk merayakan keutuhan kemanusiaan, seperti yang dikatakan orang Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika."
Begitulah kisah Astari yang terangkum dalam bukunya, yang berbicara tentang dua hal, yakni seni dan diplomasi, yang tak banyak dilakukan oleh diplomat. Latar belakang Astari, bahkan sejak sebelum Reformasi, yang sering berkiprah di Taman Ismail Marzuki bersama para seniman agaknya menjadi modal berharga dalam mengemban misinya sebagai diplomat nonkarier.
Selamat berjuang terus, Bu Dubes yang berjiwa seni!
Baca juga: Dubes ajak Gubernur Jabar promosikan kopi di Swedia
Baca juga: Ridwan Kamil beri buku investasi Jawa Barat kepada Dubes Arab Saudi