Jakarta (ANTARA) - Pandemi virus corona bukan hanya mengubah bagaimana orang menjaga kesehatan dalam kegiatan sehari-hari, namun, juga bagaimana mereka menghibur diri.
Sejak pandemi COVID-19, masyarakat diimbau untuk sebisa mungkin berkegiatan di dalam rumah, termasuk untuk bekerja. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan beberapa waktu lalu membatasi tempat-tempat publik yang boleh dibuka, termasuk tempat hiburan, pusat olahraga dan pusat perbelanjaan.
Masyarakat untuk sementara waktu mengalihkan kebutuhan hiburan mereka, yang semula datang langsung secara fisik, dengan cara menikmati konten lewat platform digital.
Operator seluler mencatat kenaikan lalu lintas data internet hingga 20 persen sejak pandemi virus corona dan banyak perusahaan yang menerapkan bekerja dari rumah atau work from home.
Telkomsel pada Mei lalu, terutama saat periode Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, mengalami kenaikan layanan berbasis data internet sebanyak 22,8 persen.
Penggunaan data internet untuk layanan streaming video di Telkomsel naik 13,8 persen, sementara game online dari ponsel naik 83,7 persen.
Pandemi ini juga melahirkan cara baru untuk menikmati hiburan, masyarakat mungkin sudah tidak asing lagi dengan menonton film lewat layanan streaming. Baru-baru ini muncul juga cara baru untuk menikmati pertunjukan musik lewat konser secara live streaming.
Pegiat media sosial Enda Nasution berpendapat pergeseran menikmati hiburan dalam versi konten digital sebenarnya sudah terasa sebelum pandemi virus corona, terutama bagi anak-anak muda.
Beberapa tahun belakangan ini generasi muda sudah terbiasa menonton konten digital baik yang gratis, seperti lewat YouTube, atau berbayar, di Netflix.
"Pilihannya lebih banyak dan pengguna bebas memilih, termasuk memilih program dan waktu menonton," kata Enda kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Pandemi ini justru memunculkan para penikmat konten digital baru, menurut Enda, misalnya mereka yang belum pernah menonton film secara streaming, akhirnya menonton karena mereka kini memiliki lebih banyak waktu luang ketika bekerja dari rumah.
Netflix secara global mendapatkan 15,8 juta pengguna selama kuartal pertama tahun ini. Per Maret, jumlah pengguna layanan streaming terbesar dunia ini menjadi 182,9 juta.
Platform digital saat ini menjadi pilihan untuk menikmati maupun menyajikan hiburan maupun karya karena bisa dilakukan dari tempat kreator berada, sementara penikmat tidak perlu keluar rumah.
Pegiat industri kreatif dan pengamat musik, Wendi Putranto, berpendapat bagi para musisi, membuat konten digital misalnya konser livestreaming adalah salah satu cara mereka mengobati kerinduan tampil di panggung sekaligus menampilkan karya mereka.
"Para musisi pasti kangen manggung secara live," kata Wendi, dihubungi secara terpisah.
Para musisi belakangan ini memanfaatkan platform digital agar mereka tetap produktif berkarya. Almarhum Didi Kempot, bersama stasiun televisi swasta menggelar konser sekaligus penggalangan dana yang disiarkan secara langsung di televisi dan platform streaming YouTube.
Pemetik bass dan pembawa acara Vincent Rompies, secara berkala membuat jamming session bersama musisi lainnya lewat Instagram.
Rossa, pada pekan lalu menayangkan secara streaming konser "Tegar 2.0 Jakarta", bekerja sama dengan Tiket.com dan SatuFest. Konser tersebut sebetulnya diadakan pada Oktober 2019 lalu di Tennis Indoor Senayan.
Seperti menonton konser betulan di Tennis Indoor, penonton diminta untuk membayar tiket mulai dari Rp75.000.
Konten berbayar
Perkara membayar untuk menikmati konten digital, masih ada orang yang beranggapan konten yang disiarkan secara digital semestinya bisa ditonton secara gratis.
Wendi pun membenarkan masih ada yang menganggap menonton konser secara livestreaming mirip dengan menonton YouTube alias bisa dinikmati secara cuma-cuma.
"Memang itu (konser virtual) sesuatu yang belum biasa di Indonesia karena berbeda pengalamannya, sensasinya," kata Wendi.
Enda menilai orang-orang yang ingin menonton konten digital secara gratis selalu ada, maka itu, penyedia platform digital seringkali membuat perbedaan antara akun gratis dan akun berbayar.
YouTube misalnya, sejak membuat versi berbayar YouTube Premium, pengguna mendapat pilihan untuk membayar biaya berlangganan untuk menyaksikan konten tanpa iklan.
Tapi, sejak muncul platform streaming berbayar, mulai tumbuh kesadaran dari para pengguna untuk membayar jika ingin menonton konten digital. Kemauan ini juga ditunjang dengan semakin banyak opsi pembayaran, dari yang semula hanya kartu kredit kini bisa membayar dengan pulsa atau dompet digital.
Para pemilik akun berbayar umumnya mau menyiapkan sejumlah dana karena merasa konten-konten tersebut sepadan dengan nilai yang dikeluarkan.
"Orang sekarang sudah mulai gampang untuk mengeluarkan uang selama konten itu oke," kata Enda.
Di masa pandemi ini, Enda berpendapat bisa jadi kesadaran orang untuk menikmati konten digital berbayar tumbuh, misalnya untuk menonton konser secara virtual. Jika dilihat dari harga, konser secara virtual umumnya dibanderol dalam harga yang lebih murah dibandingkan menonton konser panggung.
Kreativitas
Situasi terkini juga membuat para pembuat konten untuk terus bermanuver agar karya mereka menarik disimak meski pun tidak bisa disaksikan secara fisik.
Wendi, masih menyoal konser secara virtual, pergeseran kebiasaan ini membuat para pekerja kreatif harus banyak berinovasi agar pertunjukan memiliki rasa yang kurang lebih sama ketika menonton konser secara langsung, misalnya membuat konser terasa personal dan interaktif.
"Bukan seperti menonton televisi, perlu ada sentuhan yang interaktif," kata Wendi.
Dari beberapa konser yang digelar secara virtual beberapa waktu belakangan, dia mendapat masukan bahwa metode tersebut mengurangi keakraban dengan penonton sehingga orang masih enggan membayar.
Para pegiat industri kreatif sebenarnya masih mencari pola bagaimana agar kegiatan-kegiatan yang semula berlangsung secara fisik dan interaktif bisa dikonversi ke bentuk digital dan memberikan pengalaman yang kurang lebih sama.
Wendi menilai tidak semua pertunjukan musik bisa digelar secara virtual, ada aliran musik tertentu yang belum bisa memberikan pengalaman yang sama ketika diadakan secara livestreaming.
"Yang sulit itu seperti musik rock, metal atau yang memakai distorsi karena penonton berperan dalam mengapresiasi musik, misalnya dengan moshing, jadi semacam ritual (menonton konser)," kata Wendi.
Menurut Enda, situasi menjaga jarak fisik ini bisa memperkenalkan hybrid event, acara yang dilangsungkan secara virtual dan fisik, sambil tetap memenuhi protokol kesehatan, seperti membatasi kapasitas pengunjung.
Efektivitas sebuah acara online, menurut Enda, juga perlu diukur dengan cara yang baru. Misalnya, dulu, sebuah acara akan disebut sukses jika dihadiri banyak peserta atau pengunjung.
Ketika diadakan secara digital, bisa jadi sebuah acara awalnya dihadiri 200 orang kemudian di akhir acara, peserta menyusut karena perhatian mereka terbagi dengan hal lain.
Pada akhirnya, menikmati konten digital tidak bisa terjadi tanpa koneksi internet yang stabil.
Wendi menilai urusan internet ini menjadi tantangan utama mereka ketika membuat pertunjukan virtual. Penonton, apalagi jika membayar, tentu akan kecewa jika konser yang sedang mereka nikmati terputus karena masalah jaringan internet.
Baca juga: Telaah - Normal baru, peluang bagi UMKM "go digital"
Baca juga: PT PN VIII kembangkan perkebunan "go digital"
Baca juga: UGM kembangkan alat deteksi COVID-19 dengan radiografi digital