Jakarta (ANTARA) - Sejak temuan pertama kasus infeksi virus corona tipe baru pada awal Maret 2020, pasien COVID-19 di Indonesia terus bertambah dan pada Sabtu (18/4) jumlahnya total mencapai 6.248 orang, 631 sudah sembuh dan 535 meninggal dunia.
Seiring dengan bertambahnya jumlah kasus, jumlah pasien COVID-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit bertambah, kegiatan pemeriksaan pasien juga semakin banyak, limbah medis pun otomatis bertambah banyak.
Kekhawatiran pun muncul berkenaan dengan pengelolaan limbah medis. Kalau tidak dikelola dengan baik, limbah medis dari penanganan pasien dengan penyakit menular dikhawatirkan menjadi sumber penularan penyakit bagi pasien, petugas, dan masyarakat sekitar.
Apalagi virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19 menular melalui droplet atau percikan cairan dari saluran pernafasan dan menurut penelitian ahli virus dari National Institutes of Health Amerika Serikat dan Rocky Mountain Laboratorius Montana virus corona tipe baru tersebut dapat bertahan dalam droplet hingga tiga jam setelah terlepas ke udara.
Baca juga: Ilmuwan Australia sukses lacak virus corona pada air limbah
Hasil penelitian yang diterbitkan di New England Journal of Medicine itu juga menunjukkan bahwa virus corona tersebut bisa bertahan di permukaan kardus selama 24 jam dan bertahan dua sampai tiga hari di permukaan plastik dan stainless steel.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia (Indonesia Environmental Scientis Association/IESA) Dr Lina Tri Mugi Astuti memperingatkan risiko terkait penambahan limbah infeksius seperti limbah medis dari penanganan pasien COVID-19.
Studi kasus di China, negara pertama yang mengalami wabah COVID-19, memperlihatkan bahwa wabah akibat virus corona menyebabkan penambahan limbah medis dari 4.902,8 ton per hari menjadi 6.066 ton per hari.
Lina mengatakan bahwa hal yang sama bisa terjadi di Indonesia. Berdasarkan perhitungan jumlah pasien terinfeksi dan limbah medis di China, menurut dia, setiap pasien bisa menyumbang 14,3 kg limbah per hari saat wabah.
Meski limbah medis tersebut bukan sepenuhnya berasal dari pasien, tapi juga dari tenaga medis yang menangani pasien, angka itu bisa menjadi gambaran kasar potensi limbah medis selama wabah.
Baca juga: Pemprov Jabar tangani 24 ton/hari limbah medis COVID-19
"Kita bisa bayangkan bagaimana di Indonesia," kata Lina.
Menurut pemodelan kasus COVID-19 di Indonesia yang dibuat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, sekitar 600.000 orang akan membutuhkan perawatan intensif karena terserang penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu jika langkah intervensi seperti karantina wilayah dan pemeriksaan massal dilakukan untuk mengendalikan penularan.
Dengan asumsi setiap pasien rata-rata pasien menyumbang 14,3 kg limbah medis per hari, kalau ada 600.000 orang yang menjalani perawatan akibat infeksi virus corona maka akan ada penambahan hingga 8.580 ton per hari limbah medis, yang termasuk golongan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Peningkatan volume limbah medis sudah terjadi di RSPI Sulianti Suroso Jakarta, rumah sakit rujukan nasional untuk penanganan COVID-19.
Pada Januari 2020 rumah sakit itu mengolah 2.750 kg limbah medis dan alat pelindung diri menggunakan insinerator dan pada Maret 2020, saat rumah sakit mulai menangani pasien COVID-19, limbah medis yang masuk ke insinerator meningkat tajam menjadi sekitar 4.500 kg.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) selain mengkhawatirkan potensi infeksi dari limbah medis yang tidak dikelola dengan baik juga mengkhawatirkan kemungkinan adanya pihak tidak bertanggung jawab yang ingin mencari keuntungan dari peningkatan volume limbah medis.
Anggota Kompartemen Manajemen Penunjang PERSI Muhammad Nasir mengemukakan kekhawatiran berkenaan dengan pemanfaatan kembali limbah medis berupa alat pelindung diri (APD) seperti baju pelindung dan masker bedah.
"Jenis limbah APD yang dihasilkan dari pasien COVID-19 ini potensi selain infeksi, juga ada potensi dimanfaatkan kembali secara ilegal oleh orang-orang tidak bertanggung jawab," kata Nasir.
Nasir juga memperingatkan tentang potensi limbah medis dari penanganan pasien COVID-19 menjadi sumber penyebaran virus di lingkungan rumah sakit atau daerah tujuan pengangkutan limbah medis dari fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan limbah
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan surat edaran mengenai pengelolaan limbah infeksius, termasuk limbah dari penanganan pasien COVID-19 di fasilitas kesehatan.
Menurut Surat Edaran tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada 24 Maret 2020, limbah medis infeksius perlu dikelola sebagai limbah B3 sekaligus untuk mengendalikan dan memutus penularan COVID-19.
Dalam menangani limbah terkait penanganan pasien COVID-19, menurut ketentuan fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan penyimpanan limbah infeksius dalam kemasan yang tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan.
Selanjutnya limbah infeksius harus dibakar menggunakan insinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat Celsius atau diolah menggunakan autoclave yang dilengkapi pencacah. Residu hasil pengolahan itu diharus dikemas dalam kontainer khusus dengan simbol "beracun" sebelum diserahkan kepada pengelola limbah B3.
Baca juga: Musnahkan limbah medis PDP, Pemprov Jabar libatkan Jasa Medivest terkait pencegahan COVID-19
Khusus untuk limbah rumah tangga yang di dalamnya ada orang dalam pemantauan (ODP) terkait penularan COVID-19, keluarga yang bersangkutan harus mengumpulkan sampah masker, sarung tangan, dan baju pelindung diri, menempatkannya dalam wadah tertutup, dan memisahkannya dengan sampah lain. Limbah itu selanjutnya mesti diangkut untuk dimusnahkan di fasilitas pengolahan limbah B3.
Orang sehat yang memakai masker, setelah masa pakai maskernya habis harus memotong masker lalu mengemasnya dengan rapi sebelum memasukkannya ke tempat sampah.
Petugas dari dinas yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup, kebersihan, dan kesehatan harus memastikan limbah medis diangkut ke tempat pengolahan limbah B3.
Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menggarisbawahi kewajiban petugas kebersihan atau pengangkut sampah mengenakan APD seperti masker, sarung tangan, dan sepatu pengaman yang setiap hari disucihamakan.
Meski pemerintah sudah mengeluarkan peraturan mengenai penanganan limbah medis, namun kenyataannya belum semua fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki insinerator memadai untuk menangani limbah infeksius.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali pun menyarankan kerja sama antar fasilitas layanan kesehatan yang memiliki insinerator mumpuni dengan fasilitas kesehatan lain yang belum memiliki infrastruktur memadai dalam mengolah limbah B3.
"Dengan kondisi sekarang, rumah dengan insinerator berizin dan kapasitasnya masih cukup bisa menerima limbah medis dari rumah sakit lain. Itu mungkin bisa diterapkan," kata Imran.
Insinerator sebenarnya bukanlah satu-satunya opsi untuk menangani limbah medis. Apalagi penggunaan insinerator secara berlebihan juga bisa menimbulkan pencemaran lingkungan.
Proses insinerasi atau pembakaran limbah material kesehatan yang tidak sesuai akan melepaskan polutan ke udara dan pembakaran material dengan kandungan logam berat juga dapat menyebabkan penyebaran logam beracun di lingkungan.
Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Prigi Arisandi menyarankan pemerintah tidak langsung menggunakan insinerator untuk menyelesaikan semua persoalan limbah medis terkait penanganan COVID-19.
Ia mengatakan bahwa penggunaan insinerator untuk menangani limbah berpotensi meningkatkan emisi pencemar udara berupa racun dioksin dan furan yang bisa menyebabkan kanker.
Menurut dia, masih banyak pilihan lain yang bisa diterapkan untuk menangani limbah medis, termasuk di antaranya penggunaan autoclave untuk mensterilkan limbah dan mencacahnya sebelum diolah di tempat pengolahan limbah khusus B3.
Dia berharap, selain menyiapkan fasilitas kesehatan untuk menangani pasien COVID-19 pemerintah menyediakan fasilitas pengolahan limbah medis memadai mengingat tidak semua daerah memiliki fasilitas pengolahan limbah medis memadai sementara wabah akibat virus corona sudah menyebar di seluruh provinsi.
Jika hal itu tidak dilakukan, menurut dia, sampah dan limbah medis akan menumpuk dan bisa membawa dampak buruk pada lingkungan dan masyarakat, terutama petugas kebersihan rumah sakit dan petugas pengolah sampah kota.
Wabah COVID-19 meningkatkan kekhawatiran soal dampak limbah medis
Minggu, 19 April 2020 14:38 WIB