Jakarta (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa soal tenaga medis dengan alat pengaman diri (APD) yang mengurusi pasien COVID-19 boleh salat tidak berwudu karena itu dalam keadaan mendesak.
"Dalam kondisi hadas dan tidak mungkin bersuci (wudu atau tayamum), maka ia melaksanakan salat boleh dalam kondisi tidak suci dan tidak perlu mengulangi (i’adah)," demikian bunyi Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2020 yang disahkan Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin AF dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta, Kamis.
Hasanuddin mengatakan fatwa tersebut agar menjadi pedoman salat bagi tenaga kesehatan yang memakai APD saat menangani pasien COVID-19.
Baca juga: MUI serukan jika COVID-19 tak terkendali jangan Shalat Jumat di wilayah terkait
Salah satu poin penting fatwa, kata dia, tenaga kesehatan Muslim yang merawat pasien COVID-19 dengan APD tetap wajib melaksanakan salat fardhu dengan berbagai kondisinya diikuti sejumlah keringanan.
Pada kondisi tenaga medis berada dalam rentang waktu shalat dan memiliki wudu, kata dia, maka boleh melaksanakan salat dalam waktu yang ditentukan meski dengan tetap memakai APD yang ada.
Sementara dalam kondisi sulit berwudu maka dia bertayamum kemudian melaksanakan salat, kata dia.
Baca juga: Ibadah tetap jalan tapi wajib jaga keselamatan diri kata MUI
Saat kondisi APD yang dipakai terkena najis dan tidak memungkinkan untuk dilepas atau disucikan, kata Hasanuddin, maka yang bersangkutan melaksanakan salat boleh dalam kondisi tidak suci dan mengulangi salat (i’adah) usai bertugas.
Dia mengatakan ketika kondisi jam kerja tenaga medis sudah selesai atau sebelum mulai kerja masih mendapati waktu shalat maka wajib shalat fardhu sebagaimana mestinya.
Kemudian, kata dia, dalam kondisi tenaga medis bertugas mulai sebelum masuk waktu dzuhur atau maghrib dan berakhir masih berada di waktu salat ashar atau isya maka boleh melaksanakan salat dengan jamak ta'khir.
Sementara dalam kondisi bertugas mulai saat waktu dzuhur atau maghrib dan diperkirakan tidak dapat melaksanakan shalat ashar atau isya, lanjut dia, maka yang bersangkutan boleh melaksanakan shalat dengan jamak taqdim.
"Dalam kondisi ketika jam kerjanya berada dalam rentang waktu dua salat yang bisa dijamak (dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya’), maka ia boleh melaksanakan shalat dengan jamak," kata dia.
Hasanuddin mengatakan bagi penanggung jawab bidang kesehatan wajib mengatur shift bagi tenaga kesehatan Muslim yang bertugas dengan mempertimbangkan waktu shalat agar dapat menjalankan kewajiban ibadah dan menjaga keselamatan diri.
"Tenaga kesehatan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman untuk melaksanakan salat dengan tetap memperhatikan aspek keselamatan diri," katanya.
Baca juga: MUI sebut kesehatan harus dijaga, jangan menjerumuskan pada kebinasaan