Bandung (ANTARA) - Penyandang tunanetra merasakan bekerja yang menyenangkan sebagai barista di Cafe More Wyata Guna (CMWG), yang merupakan cafe pertama di Kota Bandung yang semua baristanya sebanyak empat orang berasal dari penyandang tunanetra.
Salah satu barista CMWG Febi Triyanti mengatakan dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya, menjadi barista lebih menyenangkan dan selalu dapat menambah pengetahuan tentang kopi.
"Menyenangkan menjadi barista dibandingkan menjadi terapis shiatsu (profesi sebelumnya). Di sini jadi bisa belajar menguasai bermacam-macam menu kopi," ujar Febi ditemui di Bandung, Rabu.
Febi yang masih merupakan karyawati masa percobaan itu menjelaskan bahwa penghasilannya sebagai barista bersifat tetap, sedangkan sebagai terapis shiatsu penghasilannya tidak tetap tergantung panggilan.
"Kalau di sini kita digaji Rp360.000 per minggu, untuk shiatsu itu aku tergantung panggilan. Jadi seminggu bisa satu sampai dua kali panggilan terapi maka kisaran penghasilan Rp240.000 per minggu," ujarnya.
Sejalan dengan Febi, Nur Fatimah yang sebelumnya adalah seorang atlet judo juga memutuskan untuk bekerja di cafe More dan menikmati pekerjaannya bersama tim kerjanya.
"Selama ini nyaman, yang penting kita bisa kerja tim, soalnya dari Pusat Kesejahteraan Visual Siloam dari Korea sebagai instruktur selalu menekankan ke semua barista di sini harus saling kerja sama," ujarnya.
Fatimah menceritakan cara bekerjanya selama dua bulan melayani pelanggan harus bisa mengingat pesanannya dan nama pelanggannya. "Aku kurang bisa menulis 'awas' (huruf latin) karena kita biasa menggunakan huruf braille. Tapi tidak semua tunanetra bisa braille, jadi kita langsung memberikan nota dan mengingat nama yang memesan dan pesanannya," ujarnya.
Dengan cara bekerja seperti itu, Fatimah pernah menghadapi pelanggan yang tidak mengetahui kondisi para pelayan yang difabel.
"Kita jelasin kondisi kita bahwa tidak seperti cafe pada umumnya yang bisa mengantar ke meja, saat terkadang ada pelanggan yang tidak mau tahu. Namun kita sebagai barista di sini harus menerima karena mungkin masih ada yang awam tentang kaum difabel," ujarnya.
Perasaan menyenangkan juga dirasakan karyawati lainnya, Siti Patimah Iskandar, karena pekerjaannya di cafe dilakukan bersama dan memiliki teman kerja. "Alhamdulillah di sini saya senang bekerja karena ada teman kerja. Jadi walaupun kerjanya lama menjadi tidak terasa. Berbeda kalau saya menjadi guru bimbel, saya hanya sendiri," kata perempuan yang biasa dipanggil Sipa.
Sipa menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi barista untuk kerja di luar dengan alasan tidak mengganggu jam kerja selama delapan jam.
"Di sini kita gak ada larangan untuk kerja di luar, kita di sini ada dua pergantian (shift) selama waktu buka 14 jam, dan pada jam 13.00 hingga 15.00 WIB kita bersama berempat," ujarnya.
Sipa berharap ke depannya makin banyak cafe yang juga dapat memberdayakan tenaga kerja berkebutuhan khusus lainnya.
Setelah diresmikan pada 13 Desember 2019, Cafe More Wyata Guna di Pasir Kaliki ini mendapat respon yang baik dari masyarakat.
"Alhamdulillah respon masyarakat umumnya baik, (barista dari tunanetra) sudah bisa diterima di kalangan umum," ujar Fatimah.
Menurut Armand Soleh Sandikusumah sebagai pelanggan cafe, dirinya mendapatkan pelayanan yang baik ketika pertama kali dilayani oleh para pelayan tunanetra.
"Pelayanannya ramah, meskipun aku kaget karena ada yang beda dengan disabilitas netra, tapi mungkin dengan pelatihan yang baik jadi pelayanannya juga baik," ujar pria yang kerap dipanggil Armand.
Baca juga: Ridwan Kamil tegaskan pemerintah telah berikan solusi terkait Wyata Guna
Penyandang tunanetra merasa senang jadi barista di Cafe More Wyata Guna
Rabu, 26 Februari 2020 10:10 WIB