Bandung (ANTARA) - Pakar Seismologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Andri Dian Nugraha menilai alat pemantau kegempaan untuk menunjang mitigasi bencana di Indonesia masih terbilang minim.
"Idealnya mungkin kita melihat kepada Jepang yang sudah maju, itu tiap grid atau tiap jarak stasiun (pengamatan)-nya itu sekitar 15 kilometer," kata Andri usai acara diskusi kebencanaan di Balai Kota Bandung, Jalan Wastukancana, Bandung, Sabtu.
Sedangkan di Indonesia, menurutnya, jarak antara pos-pos monitoring mencapai sekitar 100 kilometer.
Menurutnya, untuk memantau kegempaan di wilayah Indonesia yang sangat luas serta memilki aktivitas tektonik dan geologi sangat tinggi, alat-alat monitoring tersebut perlu ada penambahan.
Dia mengatakan dengan banyaknya alat monitoring yang dimiliki akan sangat berpengaruh terhadap antisipasi bencana.
Deteksi gempa, kata dia, akan lebih baik dan penentuan lokasi gempa akan lebih akurat.
"Kemudian peringatan dini gempa atau tsunami juga jadi lebih baik," kata dia.
Sementara itu, Pakar Geologi dan Gempa Bumi, Astyka Pamumpuni mengatakan gempa bumi merupakan fenomena alam yang tidak bisa dicegah. Maka perlu mempersiapkan resiko yang akan terjadi.
"Paling tidak, harus ada komunikasi sains kepada masyarakat, tetapi kita juga berupaya agar tidak menyebarkan ketakutan ke masyarakat," katanya.
Baca juga: Gempa Banten terekam seismograf Tangkuban Parahu
Baca juga: Hasil rekaman tremor seismograf Gunung Tangkuban Parahu fluktuatif menurun