Jakarta (ANTARA) - Brasil dan Argentina akan bertemu dalam partai semifinal Copa America 2019 pada Rabu (3/7) pagi WIB di Stadion Mineirao, Belo Horizonte.
Itu akan menjadi pertemuan ke-110 antara kedua tim sepanjang masa. Rivalitas keduanya kerap disebut-sebut "permusuhan" paling kental dalam sepak bola Amerika Selatan.
Berawal dari inisiatif Presiden Argentina Jenderal Julio Argentino Roca menghidupkan rivalitas olahraga dengan Brasil lewat laga rutin yang kelak dikenal sebagai Piala Roca, keduanya malah menjelma jadi musuh bebuyutan dalam arti sebenarnya.
Partai final Kejuaraan Amerika Selatan 1925 (kini Copa America) di Stadion Barracas Sportivo, Buenos Aires, Argentina, jadi pemicu permusuhan itu bahkan membuat keduanya tak mau bertanding satu sama lain selama 11 tahun kemudian.
Saat itu, Argentina butuh setidaknya hasi imbang untuk juara, tapi dua gol Arthur Friedenrich dan Nilo bersarang ke gawang mereka dalam 30 menit awal.
Hal itu direspon permainan keras berujung baku hantam, pertandingan ditunda hanya untuk dilanjutkan tanpa ada hukuman pengusiran dari wasit. Argentina lantas berhasil menyamakan kedudukan 2-2 untuk menjadi juara.
Media Brasil menyebut insiden itu sebagai Perang Barracas, titik mula permusuhan antara Selecao dan La Albiceleste.
Semua hal buruk pernah terjadi dalam pertandingan Brasil kontra Argentina. Kontak fisik kasar, penonton masuk lapangan, aksi walk-out, ejekan rasialis, dugaan sabotase meracuni lawan bahkan tindakan yang mengakhiri karier profesional mantan kapten Argentina Jason Salomon.
Jika ada yang belum terjadi, mungkin hanyalah seseorang meregang nyawa di tengah lapangan dalam pertandingan antara Argentina kontra Brasil.
Belakangan ketika kedua tim menyadari rivalitas punya nilai jual, mereka memanfaatkannya dengan mengadakan laga Superclasico de las Americas, yang mulai dimainkan di negeri-negeri jauh seperti China, Australia dan Arab Saudi.
Catatan sepanjang masa Brasil membukukan 45 kemenangan dan cuma kalah 39 kali dari Argentina dalam 109 pertemuan laga resmi sepanjang masa.
Pertandingan di Mineirao pada Rabu (3/7) WIB nanti bukan sekadar perbaikan atau penajaman rekor pertemuan, tetapi upaya membuka jalan mengakhiri dahaga juara Copa America. 12 tahun bagi Brasil dan 26 tahun di kubu Argentina.
Namun sebelum berhadapan satu sama lain, masing-masing tim harus menaklukkan tantangan dari dalam diri sendiri. Trauma Mineirazo di kubu Brasil dan penantian munculnya mukjizat Messiah bagi Argentina.
Tujuh gol itu
Tujuh gol. Gawang Brasil kebobolan tujuh gol terakhir kali Selecao bermain di Mineirao, hampir lima tahun lalu.
Tampil di semifinal sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014, Brasil --yang tak diperkuat Neymar karena cedera dan Thiago Silva akibat akumulasi kartu-- malah dipermalukan oleh Jerman di hadapan pendukungnya sendiri.
Dalam kurun waktu kurang dari 30 menit, satu gol Thomas Mueller, satu Miroslav Klose, dua Toni Kroos dan satu Sami Khedira telah bersarang ke gawang mereka.
Hasil itu bukan saja menimbulkan tribun penonton dipadati wajah bersimbah tangis, tapi juga mereka yang frustrasi dan meluapkan kemarahan hingga Polisi Militer dikirimkan untuk mengendalikan situasi baku hantam kecil di tribun penonton.
Babak kedua tak seburuh 45 menit awal, namun dua gol lagi dari Andre Schuerrle hanya bisa dibalas sebuah gol hiburan milik Oscar, menyisakan kekalahan 1-7 bagi Brasil. Menyudahi rentetan 65 pertandingan kandang tanpa kekalahan.
Silva, yang absen kala itu, mengaku ingin mencari sisi positif di luar kenangan buruk kontra Jerman yang dikenal sebagai tragedi Mineirazo itu.
"Tak seorangpun mengalami amnesia di sini, mereka juga tidak akan lupa apa yang terjadi, tapi bukankah hidup memang demikian, kita tidak boleh terpenjara dalam kenangan buruk. Kami harus berpikir tentang hal-hal baik," kata Silva sebagaimana dilansir AFP baru-baru ini.
Satu hal positif yang sudah dibukukan Brasil adalah, mereka lolos ke semifinal Copa America 2019 dengan menumbangkan satu trauma lain, yakni adu penalti kontra Paraguay yang menyingkirkan mereka dalam dua edisi sebelumnya.
Kemenangan 4-3 dalam adu penalti memastikan kelolosan Brasil ke semifinal menghadapi Argentina.
Di sisi lain, meski Mineirao menyimpan kenangan buruk ada memori menyenangkan di sana bagi Brasil, yakni kemenangan kandang terakhir kontra Argentina pada 2016 dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018 zona CONMEBOL.
"Kami bermain sangat baik di pertandingan terakhir melawan Argentina di sini dan itu adalah salah satu aspek positif yang harus menjadi fokus kami untuk laga semifinal," kata Silva.
Tiga gol yang dicetak Philippe Coutinho, Neymar dan Paulinho mengantarkan Brasil memetik kemenangan 3-0 atas Argentina kala itu.
Modal positif yang harus bisa dijadikan suntikan semangat bagi Tim Samba.
Terlebih, Argentina juga masih menantikan sentuhan magis Lionel Messi yang tak kunjung muncul di Copa America 2019.
Bukan soal usia
Messi baru saja merayakan ulang tahun ke-32 pada 24 Juni 2019, sehari setelah Argentina berhasil lolos dari fase penyisihan grup Copa America 2019 dengan menundukkan Qatar 2-0.
Meski memasuki usia kepala tiga, Messi tetaplah Messi. Sosok yang menjadi nyawa permainan Argentina. Ketika Messi tampil baik maka Argentina juga, demikian sebaliknya.
Sayangnya, Messi selalu dibebani dengan perbandingan dengan Tuhan Sepak Bola Argentina, Diego Maradona, dalam hal prestasinya di La Albiceleste.
Maradona selalu dikenang karena memikul beban Argentina sendirian ketika menjuarai Piala Dunia 1986, sedangkan Messi meski memikul beban yang sama tapi selalu berakhir tanpa gelar.
Messi membawa Argentina ke empat final, Piala Dunia 2014 serta Copa America 2007, 2015 dan 2016, namun adegan purnalaga selalu sama, menyaksikan lawan mengangkat trofi.
Di Brasil, Messi juga belum memperlihatkan kualitas yang membuat lima trofi Ballon d'Or terpajang di kabinetnya. Melawan Brasil, Messi diharapkan bisa segera menciptakan mukjizatnya.
"Ini saatnya Messi untuk muncul," demikian tulis harian Ole selepas Argentina dipastikan bakal bertemu Brasil di semifinal.
Peran Messi memang tak lagi sekrusial itu di Argentina, namun sang pelatih Lionel Scaloni bahkan bek Brasil Thiago Silva tak menganggap demikian.
Silva tetap tak ragu menyebut Messi sebagai pemain terbaik di dunia meski negaranya sendiri menghasilkan talenta sekaliber Pele, Garincha, Socrates, Ronaldo maupun Ronaldinho.
Sedangkan Scaloni melihat peran Messi tak lagi cuma terbatas yang terlihat di permukaan sebagaimana ditunjukkan di atas lapangan.
"Bagi saya, ia memberikan kontribusi esensial di lapangan, dan yang tak Anda sekalian lihat adalah perannya di ruang ganti," kata Scaloni.
"Messi adalah Messi, ia yang terbaik," ujarnya menegaskan.
Tentu saja, Scaloni maupun publik Argentina pada umumnya tidak menolak jika akhirnya laga semifinal bakal ditentukan oleh sentuhan magis bak mukjizat dari Sang Messiah.
Catatan lima pertemuan terakhir:
11 Oktober 2014 Brasil 2 - Argentina 0
13 November 2015 Argentina 1 - Brasil 1
10 November 2016 Brasil 3 - Argentina 0
9 Juni 2017 Argentina 1 - Brasil 0
16 Oktober 2018 Brasil 1 - Argentina 0
Prakiraan susunan pemain:
Brasil (4-2-3-1): Alisson Becker; Dani Alves, Marquinhos, Thiago Silva, Filipe Luis; Arthur Melo, Casemiro; Gabriel Jesus, Philippe Coutinho, Everton; Roberto Firmino
Argentina (4-3-3): Franco Armani; Juan Foyth, German Pezzella, Nicolas Otamendi, Nicolas Tagliafico; Rodrigo de Paul, Leandro Paredes, Marcos Acuna; Lionel Messi, Sergio Aguero, Lautaro Martinez