antarajabar.com - Serikat pekerja Cianjur, Jawa Barat, mengharapkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2018 dapat setingkat atau mendekati besaran upah kabupaten/kota tetangga karena tahun depan diperkirakan terjadi kenaikan upah.

"Tapi kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 78/2015, Cianjur masih tertinggal jauh dari wilayah sekitarnya," kata Ketua DPC Serikat Buruh Muslimin Seluruh Indonesia (Sarbumusi) Nahdlatul Ulama (NU) Cianjur, Nurul Yatim di Cianjur, Selasa.

Dia menjelaskan, UMK Cianjur paling rendah dibandingkan Karawang, Purwakarta, Bandung Barat, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi, meskipun saat ini Cianjur menjadi kawasan industri.

Berdasarkan informasi, saat ini UMK yang berlaku di Cianjur sebesar Rp 1.989.115 dan kemungkinan naik menjadi Rp 2,1 juta tahun depan. Angka tersebut diperkirakan menjadi angka maksimal yang diajukan pemerintah setempat ke provinsi.

Namun mengacu kebutuhan buruh berdasarkan survey kebutuhan hidup layak (KHL), besaran UMK 2018 dapat berada di angka Rp 2,4 juta sampai Rp 2,55 juta, angka tersebut sudah cukup mendekati UMK daerah yang berbatasan dengan Cianjur, sehingga tidak ada kesenjangan.

"Wilayah lain yang berdekatan dengan Cianjur, dengan harga kebutuhan sehari-hari hampir sama dengan Cianjur, UMK-nya sudah Rp 2 juta ke atas, kalau ada kenaikan mungkin lebih dari Rp 3 juta. Sedangkan Cianjur masih dibawah Rp2 juta," katanya.

Pihaknya berharap Pemkab Cianjur, mengupayakan penyesuaian UMK 2018 dengan berbagai pertimbangan karena pengupahan mempertimbangkan KHL dianggap lebih sesuai, terlebih jika mengacu pada KHL, pengupahan dapat lebih ril.

Pimpinan Cabang Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPTSK-SPSI) Cianjur, Hendra Malik mengharapkan, Pemkab Cianjur dapat menuntaskan permasalahan dan menjadi penyambung lidah ke perusahaan.

"Jika UMK 2018 masih jauh dari usulan, maka sebaiknya ada subsidi silang. Kalau upah masih dibawah KHL, setidaknya perusahaan bisa melihat skala upah untuk menambah pendapatan pekerja," katanya.

Dia menilai menerapkan skala upah berdasarkan pendidikan, masa kerja, atau jabatan, setidaknya dapat menambah pendapatan meskipun tidak senilai dengan besaran survey KHL.

"Pemkab harus terjun langsung dan mengawasi perusahaan untuk memberikan hak normatif pekerja. Jangankan penerapan PP 78/2015, sejauh ini masih banyak perusahaan yang mengabaikan hak normatif pekerja," katanya.

Pewarta: Ahmad Fikri

Editor : Ajat Sudrajat


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2017