Dokter spesialis anak konsultan respirologi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dr. Tjatur Kuat Sagoro Sp.A(K) mengatakan pencegahan penularan tuberkolosis atau TBC dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya pengendalian faktor risiko. 

“Melihat siapa saja yang berisiko TBC, vaksinasi BCG yang dilakukan umur 0-2 bulan, pemberian TPT, mengurangi penularan risiko droplet-droplet kalau misalnya sedang sakit, kemudian kelompok usia remaja. Sekarang ini banyak usia remaja itu gejalanya sudah mirip dengan dewasa, batuk darah,” kata Tjatur dalam webinar Hari Tuberkolosis Sedunia yang diikuti secara daring, Selasa.

Ia mengatakan, anak balita hingga di bawah 10 tahun memang cenderung rendah penularannya karena kumannya masih sedikit, namun jika TCM (Tes Cepat Molekuler) TB menunjukkan positif maka anak juga bisa menularkan pada dewasa dan menyebabkan TB aktif.

Begitu juga bagi penderita TBC dewasa juga disarankan Tjatur tidak berada satu lingkungan atau satu ruangan dengan bayi sehat atau yang mengikuti imunisasi.

Ia mengatakan, imunisasi lengkap ditujukan sebagai perlindungan untuk mencegah jangan sampai anak yang terinfeksi TBC jatuh pada kondisi berat.

“Jadi ada beberapa pertanyaan, kalau misalnya anak saya sudah diimunisasi, tapi kok masih kena TBC ya? Jadi ini tidak bisa menimbulkan perlindungan 100 persen, tapi bisa mengurangi risiko untuk sakit TBC yang berat,” katanya.

Tjatur mengatakan, pencegahan TBC juga dilakukan dengan cara Terapi Pencegahan Tuberkolosis (TPT) untuk mencegah TBC laten pada kelompok usia muda terutama balita.

TBC laten pada anak bisa berbahaya dan berisiko menjadi sakit jika tidak segera dilakukan TPT karena gejala pada anak tidak tampak meski sudah dilakukan uji tuberkulin positif. Anak yang terinfeksi namun belum sakit tidak menimbulkan gejala seperti anak aktif, berat badan naik, tidak batuk atau demam.

TPT dilakukan dengan pemberian obat untuk mencegah anak yang sudah terinfeksi agar tidak jadi sakit berat.


“Masalahnya adalah 5-10 persen yang ILTB (infeksi latent TB) ini akan menjadi sakit nantinya, terutama dalam 5 tahun pertama sejak dia terinfeksi. Nah pengobatan TB laten ini dapat mengurangi risiko reaktivasi timbul berulang 10-190 persen. Jadi WHO menetapkan ini sejak tahun 2018, ini bukan hanya di Indonesia, ini di seluruh dunia,” katanya.​​​​​​​

Tjatur mengatakan cakupan terapi TPT masih sangat rendah sehingga anak yang tidak terlihat sehat bisa berpotensi terjadi sakit TBC berat.​​​​​​​

TPT bisa dilakukan pada anak di bawah lima tahun yang tidak sakit TBC, termasuk risiko tinggi, dan tidak ada kontra indikasi dengan obat mulai seminggu sekali, tiga bulan atau enam bulan.

“Setiap bulan kita monitor, anak ini kan sudah terinfeksi. Kita akan cegah, jangan sampai sakit, kalau tiba-tiba nanti dalam perjalanan yang dilakukan profilaktis, dia misalnya jadi batuk-batuk, jadi demam seperti pada gejala klinis TB, nah itu saatnya kita mengobservasi lagi, apakah itu gejala dia batuk-bilak biasa, atau merupakan gejala TB,” kata Tjatur.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengendalian faktor risiko jadi cara cegah penularan TBC

Pewarta: Fitra Ashari

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2025