Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat Herman Suryatman meminta para pelaku usaha pariwisata untuk bisa mengelola sampahnya secara mandiri terutama sampah makanan.
Menurut Herman, sampah makanan sangat dominan di hotel, kafe resto, atau tempat wisata yang memiliki fasilitas kuliner yang bersumber dari sisa makanan konsumen, bisa juga dari proses produksi di area dapur.
"Saya melakukan pengamatan ke beberapa restoran, hampir semua piring pengunjung ada sisa makanan. Jarang sekali ada piring yang bersih. Ini menunjukkan adanya potensi besar sampah makanan," ujar Herman Suryatman dalam keterangan di Bandung, Sabtu.
Herman dalam pertemuan dengan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Jawa Barat di Graha PHRI Jabar, Bandung, Jumat (15/11), juga mencatat bahwa pengolahan sampah mandiri sangat krusial terutama di daerah pariwisata seperti Bandung Raya, Pangandaran, Garut, Bogor, serta daerah lain yang punya bentang alam indah.
Ia mencontohkan sampah di Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, setelah berbagai pengetatan, seperti pelarangan sampah organik per 1 Januari 2024, maupun pengurangan ritase truk sampah, produksi sampah Bandung Raya yang dikirim ke TPA Sarimukti bisa ditekan menjadi 1.750 ton per hari.
Namun, Bandung menjadi lautan sampah, berpotensi terjadi karena TPA Sarimukti kondisinya sudah kelebihan daya tampung, sedangkan TPPAS Legoknangka saat ini masih berproses.
Di satu sisi, sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti boleh jadi berkurang, tetapi belum tentu kondisi nyata sampah di empat daerah juga berkurang.
Menurut Herman, pengelolaan sampah mandiri pada industri pariwisata bisa dilakukan dengan membuat infrastruktur sampah seperti mesin pencacah plastik, magotisasi, kompostisasi.
Langkah lain, lanjut Herman, mengurangi sampah makanan, misalnya dengan mengedukasi dan memberi imbauan pengunjung agar menghabiskan makanannya, pesan makanan secukupnya, atau bawa pulang sisa makanan untuk dimakan di rumah atau diberikan kepada yang membutuhkan.
Imbauan bisa dipasang misalnya di stiker agar bisa dibaca pengunjung, atau bisa melalui suara pengumuman, yang barang tentu dengan cara komunikasi yang positif dan menginspirasi, bukan menyinggung pengunjung.
"Setiap hari hotel-hotel menyediakan sarapan bagi tamu. Jika ada makanan yang tidak habis, ke mana perginya? Apakah dibuang? Kami ingin makanan ini bisa dimanfaatkan untuk membantu masyarakat miskin atau yang membutuhkan. Langkah ini tidak hanya membantu masyarakat yang membutuhkan, tetapi juga mengurangi jumlah sampah secara signifikan," tuturnya.
Agar gerakan pengelolaan sampah mandiri di sektor pariwisata ini berjalan secara masif, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membentuk tim khusus.
"Kami akan menyiapkan tim khusus dan menggelar rapat lebih lanjut untuk menyempurnakan konsep ini. Targetnya, di satu sisi sampah menjadi nol, di sisi lain ada manfaat besar bagi masyarakat," tutur Herman.
Menurut Herman, sampah makanan sangat dominan di hotel, kafe resto, atau tempat wisata yang memiliki fasilitas kuliner yang bersumber dari sisa makanan konsumen, bisa juga dari proses produksi di area dapur.
"Saya melakukan pengamatan ke beberapa restoran, hampir semua piring pengunjung ada sisa makanan. Jarang sekali ada piring yang bersih. Ini menunjukkan adanya potensi besar sampah makanan," ujar Herman Suryatman dalam keterangan di Bandung, Sabtu.
Herman dalam pertemuan dengan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Jawa Barat di Graha PHRI Jabar, Bandung, Jumat (15/11), juga mencatat bahwa pengolahan sampah mandiri sangat krusial terutama di daerah pariwisata seperti Bandung Raya, Pangandaran, Garut, Bogor, serta daerah lain yang punya bentang alam indah.
Ia mencontohkan sampah di Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat, setelah berbagai pengetatan, seperti pelarangan sampah organik per 1 Januari 2024, maupun pengurangan ritase truk sampah, produksi sampah Bandung Raya yang dikirim ke TPA Sarimukti bisa ditekan menjadi 1.750 ton per hari.
Namun, Bandung menjadi lautan sampah, berpotensi terjadi karena TPA Sarimukti kondisinya sudah kelebihan daya tampung, sedangkan TPPAS Legoknangka saat ini masih berproses.
Di satu sisi, sampah yang dikirim ke TPA Sarimukti boleh jadi berkurang, tetapi belum tentu kondisi nyata sampah di empat daerah juga berkurang.
Menurut Herman, pengelolaan sampah mandiri pada industri pariwisata bisa dilakukan dengan membuat infrastruktur sampah seperti mesin pencacah plastik, magotisasi, kompostisasi.
Langkah lain, lanjut Herman, mengurangi sampah makanan, misalnya dengan mengedukasi dan memberi imbauan pengunjung agar menghabiskan makanannya, pesan makanan secukupnya, atau bawa pulang sisa makanan untuk dimakan di rumah atau diberikan kepada yang membutuhkan.
Imbauan bisa dipasang misalnya di stiker agar bisa dibaca pengunjung, atau bisa melalui suara pengumuman, yang barang tentu dengan cara komunikasi yang positif dan menginspirasi, bukan menyinggung pengunjung.
"Setiap hari hotel-hotel menyediakan sarapan bagi tamu. Jika ada makanan yang tidak habis, ke mana perginya? Apakah dibuang? Kami ingin makanan ini bisa dimanfaatkan untuk membantu masyarakat miskin atau yang membutuhkan. Langkah ini tidak hanya membantu masyarakat yang membutuhkan, tetapi juga mengurangi jumlah sampah secara signifikan," tuturnya.
Agar gerakan pengelolaan sampah mandiri di sektor pariwisata ini berjalan secara masif, Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membentuk tim khusus.
"Kami akan menyiapkan tim khusus dan menggelar rapat lebih lanjut untuk menyempurnakan konsep ini. Targetnya, di satu sisi sampah menjadi nol, di sisi lain ada manfaat besar bagi masyarakat," tutur Herman.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024