Hari ini, 69 tahun silam, sebuah peristiwa global besar terjadi di Bandung, Jawa Barat, ketika negara-negara dua benua bertemu dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18 April 1955.
Pertemuan besar pertama antara bangsa-bangsa korban kolonialisme itu terjadi 10 tahun setelah Perang Dunia II berakhir dan juga 10 tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Bangsa-bangsa baru merdeka itu meneguhkan sikapnya di tengah Perang Dingin yang acap memaksa mereka harus memilih antara Uni Soviet dengan Blok Timur-nya atau Amerika Serikat bersama Blok Barat.
Konferensi yang kemudian hanya diadakan sekali dalam seumur hidup itu juga diadakan ketika banyak negara di dua benua itu masih dijajah dan mengalami diskriminasi, ketika bagian dunia yang menjadi pelaku kolonialisme malah mengklaim kolonialisme sudah berakhir.
Padahal, mengutip Bung Karno yang menjadi salah seorang penggagas konferensi itu, kolonialisme masih hidup dalam wajah lain.
"Kita kerap diberi tahu bahwa kolonialisme itu sudah mati. Kita tak boleh tertipu atau terlena oleh itu. Saya katakan kepada Anda semua, kolonialisme belumlah mati. Kolonialisme juga memiliki baju modern, dalam bentuk pengendalian ekonomi, kendali intelektual, kendali fisik oleh sebuah komunitas kecil nan asing di dalam sebuah negara," kata Presiden Soekarno dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung itu.
Faktanya, waktu itu, memang banyak negara-negara Asia dan Afrika yang masih belum lepas dari penjajahan.
Di lain pihak, kendati sudah kehilangan beberapa negara jajahannya, para penguasa kolonial kenyataannya masih melanggengkan pengaruhnya dengan cara lain, termasuk lewat korporasi-korporasi dan modal mereka.
Bung Karno berusaha merengkuh kawasan-kawasan lain di luar Asia dan Afrika, khususnya Amerika Latin yang sudah merdeka ratusan tahun sebelum Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia-Afrika merdeka, tapi tetap terjajah oleh kekuatan modal dan korporasi asing.
Bung Karno berusaha menggugah bahwa kolonialisme masih hidup lewat korporasi-korporasi asing dan sejenisnya, yang di Amerika Latin memang sangat mempengaruhi lahir dan matinya satu rezim.
Pesan tegas
Resminya, 29 negara menghadiri Konferensi Asia Afrika, tapi sejumlah utusan dari Amerika Latin, juga hadir di sana. Amerika Serikat dan Uni Soviet sendiri sama-sama menyaksikan dengan cermat konferensi itu untuk memastikan tidak menjadi arena menggalang keberpihakan kepada salah satu di antara mereka.
Kenyataannya tidak demikian, Bung Karno dan para pemimpin Asia-Afrika lainnya justru menyampaikan pesan tegas bahwa Asia-Afrika tak ingin ditarik ke sana ke mari, oleh, baik Soviet maupun AS.
Konferensi itu tak saja menginspirasi ke-26 negara, tapi juga negara-negara, yang oleh Bung Karno disebut "new emerging forces", untuk membangun solidaritas, kolaborasi dan kerja sama lintas benua.
Konferensi itu menghasilkan piagam yang menjadi rujukan moral dan kebijakan negara-negara baru, yang intinya merepresentasikan kemandirian mereka dan sikap mereka yang anti-imperialisme serta anti-kolonialisme.
Piagam itu disebut dengan Dasasila Bandung, yang di antaranya memuat komitmen Asia-Afrika dalam menjunjung hak asasi manusia, penyelesaian damai untuk segala konflik, dan penghormatan atas kedaulatan serta integritas teritorial sebuah negara.
Konferensi Asia Afrika 1955 itu juga mengeluarkan komunike yang mengecam rasisme dan kolonialisme, termasuk dukungan kepada rakyat Palestina dalam mendapatkan kembali hak di tanah airnya sendiri.
Komunike dan 10 prinsip itu mewujudkan independensi Asia-Afrika yang bagi Indonesia sendiri, sejalan dengan amanat politik luar negeri bebas dan aktif.
Mereka tak ingin dipaksa memilih antara Soviet atau AS yang pada dasarnya sama-sama merepresentasikan kolonialisme dan imperialisme. Soviet di mata negara-negara Eropa timur, Asia Tengah dan Trans-Kaukasia, adalah sama imperialis dan kolonialisnya dengan Barat.
Keduanya justru berusaha menghambat hak menentukan nasib sendiri di banyak wilayah dunia, yang sejak Perang Dunia II berakhir, diperjuangkan oleh negara-negara baru dan calon-calon negara baru di Asia-Afrika.
Menolak tunduk
Negara-negara Asia dan Afrika berusaha keras memasukkan hak menentukan sendiri dalam prinsip PBB, yang terus ditentang negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, yang meminta klausul kolonial dicabut dalam setiap resolusi PBB.
Pada 1952, AS, bahkan memveto resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan hak menentukan nasib sendiri adalah bagian dari hak asasi manusia. AS juga menolak kewajiban negara-negara kolonial melaporkan kemajuan wilayah jajahannya dalam membentuk pemerintahan sendiri.
Tapi, beberapa bulan setelah Deklarasi Bandung pada November 1955, PBB menyepakati formulasi hak menentukan nasib sendiri yang kemudian diadopsi dalam Resolusi PBB 1960 dan Kovenan PBB 1966.
Semangat Bandung yang dihasilkan Konferensi Asia Afrika juga menjadi fondasi untuk solidaritas dan aliansi antara negara-negara di Asia dan Afrika dalam menentang imperialisme atau kebijakan-kebijakan imperialis sejumlah negara yang umumnya menjadi eks penjajah mereka.
Aliansi itu, bahkan kemudian mengkristal menjadi gerakan global besar yang independen dari kekuatan-kekuatan global, yakni Gerakan Non Blok pada 1 September 1961, yang salah seorang penggagasnya adalah juga Bung Karno.
Dari konferensi itu juga lahir terminologi-terminologi global yang merepresentasikan sikap, posisi dan independensi negara-negara baru, termasuk istilah "Dunia Ketiga".
Istilah itu merujuk kepada negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak berpihak selama Perang Dingin, selain melukiskan masyarakat negara berkembang yang sama-sama mengalami pahitnya kolonialisme.
Gerakan ini semakin jauh melangkah, dengan cara menolak tunduk kepada arsitektur politik dan ekonomi global yang diciptakan oleh bekas-bekas penjajah mereka, yang pada dasarnya bisa melanggengkan diktasi mereka terhadap negara-negara yang pernah dijajah, persis disinggung Bung Karno pada Konferensi Asia Afrika 1955 itu.
Pada 1974, negara-negara baru merdeka yang jumlahnya semakin banyak itu kemudian mengadopsi sebuah piagam yang mengakui pentingnya restrukturisasi perekonomian global, yang memberi ruang partisipasi lebih luas kepada negara-negara berkembang.
Jadi fondasi
Hal itu kemudian menjadi fondasi untuk sistem baru di antara negara-negara berkembang yang disebut dengan Kerjasama Selatan-Selatan.
Kerjasama antar-"Global South" ini diupayakan untuk memastikan negara-negara berkembang lepas dari ketergantungan kepada hubungan ekonomi Utara-Selatan yang tidak seimbang.
Banyak hal yang belum tercapai dari Semangat Bandung 1955, tapi ide-ide besar mengenai perjuangan melawan eksploitasi dari mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah, tetap hidup sampai kini.
Ambruknya Uni Soviet dan kemudian berakhirnya Perang Dingin memang membuat gerakan Asia-Afrika agak kehilangan konteks dan relevansinya, seperti juga yang dihadapi oleh Gerakan Non Blok.
Hanya saja, jika dicerna dan diamati lebih dalam lagi, semangat anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang dihidupkan dalam Konferensi Asia Afrika, tetap menyala, bahkan dalam bentuk yang lebih kritis dan kuat.
Salah satu contohnya adalah prakarsa berani nan revolusioner dari Dunia Ketiga, yang diwakili Afrika Selatan, dalam memperkarakan Israel di Mahkamah Internasional atas genosida di Jalur Gaza.
Mahkamah Internasional menjadi salah satu lambang dari sistem yang di antaranya dibentuk oleh bagian dunia yang pernah menjajah Dunia Ketiga. Dan bagian dunia itu pula yang paling gigih membela Israel, ketika Asia-Afrika pada 1955 sudah menyatakan dukungan penuhnya kepada Palestina atas tanah airnya yang diduduki Israel.
Dunia Ketiga juga menjadi sponsor untuk aksi global lebih keras terhadap Israel, di berbagai forum global, termasuk PBB.
Itu hanya salah satu contoh bahwa komunikasi dan kerja sama antara negara-negara Dunia Ketiga tetap kuat.
Tahun depan, tepat 70 tahun usia KAA 1955, Indonesia dan Dunia Ketiga, perlu bertemu lagi guna memberi pesan kepada semesta bahwa Semangat Bandung abadi terawat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Semangat Bandung (KAA) yang tetap relevan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024
Pertemuan besar pertama antara bangsa-bangsa korban kolonialisme itu terjadi 10 tahun setelah Perang Dunia II berakhir dan juga 10 tahun setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Bangsa-bangsa baru merdeka itu meneguhkan sikapnya di tengah Perang Dingin yang acap memaksa mereka harus memilih antara Uni Soviet dengan Blok Timur-nya atau Amerika Serikat bersama Blok Barat.
Konferensi yang kemudian hanya diadakan sekali dalam seumur hidup itu juga diadakan ketika banyak negara di dua benua itu masih dijajah dan mengalami diskriminasi, ketika bagian dunia yang menjadi pelaku kolonialisme malah mengklaim kolonialisme sudah berakhir.
Padahal, mengutip Bung Karno yang menjadi salah seorang penggagas konferensi itu, kolonialisme masih hidup dalam wajah lain.
"Kita kerap diberi tahu bahwa kolonialisme itu sudah mati. Kita tak boleh tertipu atau terlena oleh itu. Saya katakan kepada Anda semua, kolonialisme belumlah mati. Kolonialisme juga memiliki baju modern, dalam bentuk pengendalian ekonomi, kendali intelektual, kendali fisik oleh sebuah komunitas kecil nan asing di dalam sebuah negara," kata Presiden Soekarno dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika di Bandung itu.
Faktanya, waktu itu, memang banyak negara-negara Asia dan Afrika yang masih belum lepas dari penjajahan.
Di lain pihak, kendati sudah kehilangan beberapa negara jajahannya, para penguasa kolonial kenyataannya masih melanggengkan pengaruhnya dengan cara lain, termasuk lewat korporasi-korporasi dan modal mereka.
Bung Karno berusaha merengkuh kawasan-kawasan lain di luar Asia dan Afrika, khususnya Amerika Latin yang sudah merdeka ratusan tahun sebelum Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia-Afrika merdeka, tapi tetap terjajah oleh kekuatan modal dan korporasi asing.
Bung Karno berusaha menggugah bahwa kolonialisme masih hidup lewat korporasi-korporasi asing dan sejenisnya, yang di Amerika Latin memang sangat mempengaruhi lahir dan matinya satu rezim.
Pesan tegas
Resminya, 29 negara menghadiri Konferensi Asia Afrika, tapi sejumlah utusan dari Amerika Latin, juga hadir di sana. Amerika Serikat dan Uni Soviet sendiri sama-sama menyaksikan dengan cermat konferensi itu untuk memastikan tidak menjadi arena menggalang keberpihakan kepada salah satu di antara mereka.
Kenyataannya tidak demikian, Bung Karno dan para pemimpin Asia-Afrika lainnya justru menyampaikan pesan tegas bahwa Asia-Afrika tak ingin ditarik ke sana ke mari, oleh, baik Soviet maupun AS.
Konferensi itu tak saja menginspirasi ke-26 negara, tapi juga negara-negara, yang oleh Bung Karno disebut "new emerging forces", untuk membangun solidaritas, kolaborasi dan kerja sama lintas benua.
Konferensi itu menghasilkan piagam yang menjadi rujukan moral dan kebijakan negara-negara baru, yang intinya merepresentasikan kemandirian mereka dan sikap mereka yang anti-imperialisme serta anti-kolonialisme.
Piagam itu disebut dengan Dasasila Bandung, yang di antaranya memuat komitmen Asia-Afrika dalam menjunjung hak asasi manusia, penyelesaian damai untuk segala konflik, dan penghormatan atas kedaulatan serta integritas teritorial sebuah negara.
Konferensi Asia Afrika 1955 itu juga mengeluarkan komunike yang mengecam rasisme dan kolonialisme, termasuk dukungan kepada rakyat Palestina dalam mendapatkan kembali hak di tanah airnya sendiri.
Komunike dan 10 prinsip itu mewujudkan independensi Asia-Afrika yang bagi Indonesia sendiri, sejalan dengan amanat politik luar negeri bebas dan aktif.
Mereka tak ingin dipaksa memilih antara Soviet atau AS yang pada dasarnya sama-sama merepresentasikan kolonialisme dan imperialisme. Soviet di mata negara-negara Eropa timur, Asia Tengah dan Trans-Kaukasia, adalah sama imperialis dan kolonialisnya dengan Barat.
Keduanya justru berusaha menghambat hak menentukan nasib sendiri di banyak wilayah dunia, yang sejak Perang Dunia II berakhir, diperjuangkan oleh negara-negara baru dan calon-calon negara baru di Asia-Afrika.
Menolak tunduk
Negara-negara Asia dan Afrika berusaha keras memasukkan hak menentukan sendiri dalam prinsip PBB, yang terus ditentang negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, yang meminta klausul kolonial dicabut dalam setiap resolusi PBB.
Pada 1952, AS, bahkan memveto resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan hak menentukan nasib sendiri adalah bagian dari hak asasi manusia. AS juga menolak kewajiban negara-negara kolonial melaporkan kemajuan wilayah jajahannya dalam membentuk pemerintahan sendiri.
Tapi, beberapa bulan setelah Deklarasi Bandung pada November 1955, PBB menyepakati formulasi hak menentukan nasib sendiri yang kemudian diadopsi dalam Resolusi PBB 1960 dan Kovenan PBB 1966.
Semangat Bandung yang dihasilkan Konferensi Asia Afrika juga menjadi fondasi untuk solidaritas dan aliansi antara negara-negara di Asia dan Afrika dalam menentang imperialisme atau kebijakan-kebijakan imperialis sejumlah negara yang umumnya menjadi eks penjajah mereka.
Aliansi itu, bahkan kemudian mengkristal menjadi gerakan global besar yang independen dari kekuatan-kekuatan global, yakni Gerakan Non Blok pada 1 September 1961, yang salah seorang penggagasnya adalah juga Bung Karno.
Dari konferensi itu juga lahir terminologi-terminologi global yang merepresentasikan sikap, posisi dan independensi negara-negara baru, termasuk istilah "Dunia Ketiga".
Istilah itu merujuk kepada negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak berpihak selama Perang Dingin, selain melukiskan masyarakat negara berkembang yang sama-sama mengalami pahitnya kolonialisme.
Gerakan ini semakin jauh melangkah, dengan cara menolak tunduk kepada arsitektur politik dan ekonomi global yang diciptakan oleh bekas-bekas penjajah mereka, yang pada dasarnya bisa melanggengkan diktasi mereka terhadap negara-negara yang pernah dijajah, persis disinggung Bung Karno pada Konferensi Asia Afrika 1955 itu.
Pada 1974, negara-negara baru merdeka yang jumlahnya semakin banyak itu kemudian mengadopsi sebuah piagam yang mengakui pentingnya restrukturisasi perekonomian global, yang memberi ruang partisipasi lebih luas kepada negara-negara berkembang.
Jadi fondasi
Hal itu kemudian menjadi fondasi untuk sistem baru di antara negara-negara berkembang yang disebut dengan Kerjasama Selatan-Selatan.
Kerjasama antar-"Global South" ini diupayakan untuk memastikan negara-negara berkembang lepas dari ketergantungan kepada hubungan ekonomi Utara-Selatan yang tidak seimbang.
Banyak hal yang belum tercapai dari Semangat Bandung 1955, tapi ide-ide besar mengenai perjuangan melawan eksploitasi dari mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah, tetap hidup sampai kini.
Ambruknya Uni Soviet dan kemudian berakhirnya Perang Dingin memang membuat gerakan Asia-Afrika agak kehilangan konteks dan relevansinya, seperti juga yang dihadapi oleh Gerakan Non Blok.
Hanya saja, jika dicerna dan diamati lebih dalam lagi, semangat anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang dihidupkan dalam Konferensi Asia Afrika, tetap menyala, bahkan dalam bentuk yang lebih kritis dan kuat.
Salah satu contohnya adalah prakarsa berani nan revolusioner dari Dunia Ketiga, yang diwakili Afrika Selatan, dalam memperkarakan Israel di Mahkamah Internasional atas genosida di Jalur Gaza.
Mahkamah Internasional menjadi salah satu lambang dari sistem yang di antaranya dibentuk oleh bagian dunia yang pernah menjajah Dunia Ketiga. Dan bagian dunia itu pula yang paling gigih membela Israel, ketika Asia-Afrika pada 1955 sudah menyatakan dukungan penuhnya kepada Palestina atas tanah airnya yang diduduki Israel.
Dunia Ketiga juga menjadi sponsor untuk aksi global lebih keras terhadap Israel, di berbagai forum global, termasuk PBB.
Itu hanya salah satu contoh bahwa komunikasi dan kerja sama antara negara-negara Dunia Ketiga tetap kuat.
Tahun depan, tepat 70 tahun usia KAA 1955, Indonesia dan Dunia Ketiga, perlu bertemu lagi guna memberi pesan kepada semesta bahwa Semangat Bandung abadi terawat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Semangat Bandung (KAA) yang tetap relevan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024