Dinas Pertanian (Dispertan) Kabupaten Garut Jawa Barat selama kurun 2021 sampai 2023 telah membangun dan merehabilitasi 12 embung, tersebar di sejumlah kecamatan yang dinilai mampu mengatasi sebagian lahan pertanian tadah hujan menjadi produktif saat musim kemarau.
"Embung ini bisa mengairi sawah, bisa palawija di lahan tadah hujan," kata Kepala Bidang Prasarana Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan pada Dispertan Kabupaten Garut Rakmat Jatnika di Garut, Sabtu.
Baca juga: Pemkab Garut butuh anggaran Rp100 miliar untuk bangun 30 embung antisipasi banjir
Ia menjelaskan, Dispertan Garut sejak tahun 2021 sampai 2023 sudah membangun 12 embung yang keberadaannya berfungsi untuk mengatasi wilayah pertanian dengan kondisi lahan tadah hujan.
Setiap satu embung, katanya, mampu mengairi areal pertanian seluas 20 sampai 25 hektare, dan saat ini di Garut memiliki 12 embung dengan luas layanan pengairan lahan tadah hujan seluas 240 hektare.
"Embung itu dibangun di lahan tadah hujan yang sekali tanam agar bisa ditingkatkan menjadi dua sampai tiga kali tanam," katanya.
Ia menyampaikan, pembangunan embung di Garut dibangun dengan cara ditembok, ada juga geomembran atau menggunakan plastik tebal dengan luas ideal embung 25x25 meter dan besaran anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp120 jutaan.
Pembangunan embung itu, katanya, lokasinya di sekitar lahan tadah hujan yang memiliki sumber air untuk mengisi embung tersebut yang selanjutnya dilakukan pengaturan aliran air ke lahan pertanian.
"Embung itu fungsinya untuk menampung sementara dari sumber air, kemudian untuk waktu hujan ditampung, setelah kemarau disalurkan," katanya.
Ia menyampaikan keberadaan embung tersebut cukup efektif untuk mengatasi lahan pertanian tadah hujan, sehingga setiap tahunnya terus diajukan untuk pembangunan embung.
Namun untuk tahun anggaran 2024, katanya, sementara tidak ada pembangunan embung karena keterbatasan anggaran, meski begitu tahun depan diharapkan bisa kembali membangun embung untuk mengatasi lahan tadah hujan.
"Tahun 2024 sudah diusulkan, tapi karena keterbatasan anggaran jadi belum ada pembangunan, setiap tahun terus diusulkan," katanya.
Pembangunan embung buatan tersebut diakui sejumlah petani bermanfaat untuk mengairi areal pertanian saat musim kemarau tiba, seperti yang dialami petani di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang yang menerima manfaat program pembangunan embung.
Ketua Kelompok Tani Berkah Jaya Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Alo Hidayat (45) mengatakan, keberadaan embung geomembran seluas 25x15 meter persegi dengan kedalaman 2,5 meter itu telah memberikan banyak manfaat bagi pertanian di lahan tadah hujan.
Embung yang dibangun bertepatan saat musim kemarau tahun 2023 itu, katanya, disambut baik oleh para petani karena lahan pertaniannya yang tadinya kering akibat kemarau bisa kembali menanam jenis palawija.
"Embung ini sangat bermanfaat saat musim kemarau karena dipakai untuk menyiram pertanian palawija," katanya.
Ia menyebutkan, areal lahan pertanian tadah hujan di daerahnya tercatat seluas 25 hektare, sementara keberadaan embung baru memenuhi kebutuhan lahan pertanian seluas 10 hektare.
Ia berharap ke depan bisa dibuatkan kembali embung, setidaknya ada tiga embung agar seluruh lahan pertanian tadah hujan di desa itu dapat terpenuhi kebutuhan airnya saat kemarau, sehingga petani tetap produktif dan berpenghasilan.
"Kalau tiga embung lagi dibangun bakal kejangkau semuanya, terutama waktu kemarau sangat kekurangan air," katanya.
Selain petani di Mekarjaya, keberadaan embung untuk pertanian juga dinilai bermanfaat bagi petani di Desa Wanajaya, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, yang selama ini mengandalkan pasokan air dari embung.
Baca juga: Pemkab OKU Timur Sumsel belajar pemanfaatan embung ke Garut
Kepala Desa Wanajaya Iif Firman Nurdin mengatakan, di wilayahnya memiliki dua embung yakni Embung Cipadung, dan Embung Cigalumpit yang sudah ada sejak zaman penjajahan, dan keberadaannya seperti Embung Cigalumpit mendapatkan perhatian dari pemerintah berupa bantuan rehabilitasi agar tetap berfungsi baik untuk mengairi areal pertanian.
Areal pertanian di desanya itu, katanya sebagian besar mengandalkan pasokan air dari embung tersebut, apabila embung itu tidak dijaga dengan baik, kemungkinan lahan pertanian akan dilanda kekeringan saat musim kemarau.
"Pertanian di kita itu jauh dari irigasi, jadi mengandalkan air dari embung dan hujan, kalau tidak ada embung saya kira pertanian di daerah kami ini akan kesulitan air saat kemarau," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024
"Embung ini bisa mengairi sawah, bisa palawija di lahan tadah hujan," kata Kepala Bidang Prasarana Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan pada Dispertan Kabupaten Garut Rakmat Jatnika di Garut, Sabtu.
Baca juga: Pemkab Garut butuh anggaran Rp100 miliar untuk bangun 30 embung antisipasi banjir
Ia menjelaskan, Dispertan Garut sejak tahun 2021 sampai 2023 sudah membangun 12 embung yang keberadaannya berfungsi untuk mengatasi wilayah pertanian dengan kondisi lahan tadah hujan.
Setiap satu embung, katanya, mampu mengairi areal pertanian seluas 20 sampai 25 hektare, dan saat ini di Garut memiliki 12 embung dengan luas layanan pengairan lahan tadah hujan seluas 240 hektare.
"Embung itu dibangun di lahan tadah hujan yang sekali tanam agar bisa ditingkatkan menjadi dua sampai tiga kali tanam," katanya.
Ia menyampaikan, pembangunan embung di Garut dibangun dengan cara ditembok, ada juga geomembran atau menggunakan plastik tebal dengan luas ideal embung 25x25 meter dan besaran anggaran yang dibutuhkan sebesar Rp120 jutaan.
Pembangunan embung itu, katanya, lokasinya di sekitar lahan tadah hujan yang memiliki sumber air untuk mengisi embung tersebut yang selanjutnya dilakukan pengaturan aliran air ke lahan pertanian.
"Embung itu fungsinya untuk menampung sementara dari sumber air, kemudian untuk waktu hujan ditampung, setelah kemarau disalurkan," katanya.
Ia menyampaikan keberadaan embung tersebut cukup efektif untuk mengatasi lahan pertanian tadah hujan, sehingga setiap tahunnya terus diajukan untuk pembangunan embung.
Namun untuk tahun anggaran 2024, katanya, sementara tidak ada pembangunan embung karena keterbatasan anggaran, meski begitu tahun depan diharapkan bisa kembali membangun embung untuk mengatasi lahan tadah hujan.
"Tahun 2024 sudah diusulkan, tapi karena keterbatasan anggaran jadi belum ada pembangunan, setiap tahun terus diusulkan," katanya.
Pembangunan embung buatan tersebut diakui sejumlah petani bermanfaat untuk mengairi areal pertanian saat musim kemarau tiba, seperti yang dialami petani di Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang yang menerima manfaat program pembangunan embung.
Ketua Kelompok Tani Berkah Jaya Desa Mekarjaya, Kecamatan Cikajang, Alo Hidayat (45) mengatakan, keberadaan embung geomembran seluas 25x15 meter persegi dengan kedalaman 2,5 meter itu telah memberikan banyak manfaat bagi pertanian di lahan tadah hujan.
Embung yang dibangun bertepatan saat musim kemarau tahun 2023 itu, katanya, disambut baik oleh para petani karena lahan pertaniannya yang tadinya kering akibat kemarau bisa kembali menanam jenis palawija.
"Embung ini sangat bermanfaat saat musim kemarau karena dipakai untuk menyiram pertanian palawija," katanya.
Ia menyebutkan, areal lahan pertanian tadah hujan di daerahnya tercatat seluas 25 hektare, sementara keberadaan embung baru memenuhi kebutuhan lahan pertanian seluas 10 hektare.
Ia berharap ke depan bisa dibuatkan kembali embung, setidaknya ada tiga embung agar seluruh lahan pertanian tadah hujan di desa itu dapat terpenuhi kebutuhan airnya saat kemarau, sehingga petani tetap produktif dan berpenghasilan.
"Kalau tiga embung lagi dibangun bakal kejangkau semuanya, terutama waktu kemarau sangat kekurangan air," katanya.
Selain petani di Mekarjaya, keberadaan embung untuk pertanian juga dinilai bermanfaat bagi petani di Desa Wanajaya, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, yang selama ini mengandalkan pasokan air dari embung.
Baca juga: Pemkab OKU Timur Sumsel belajar pemanfaatan embung ke Garut
Kepala Desa Wanajaya Iif Firman Nurdin mengatakan, di wilayahnya memiliki dua embung yakni Embung Cipadung, dan Embung Cigalumpit yang sudah ada sejak zaman penjajahan, dan keberadaannya seperti Embung Cigalumpit mendapatkan perhatian dari pemerintah berupa bantuan rehabilitasi agar tetap berfungsi baik untuk mengairi areal pertanian.
Areal pertanian di desanya itu, katanya sebagian besar mengandalkan pasokan air dari embung tersebut, apabila embung itu tidak dijaga dengan baik, kemungkinan lahan pertanian akan dilanda kekeringan saat musim kemarau.
"Pertanian di kita itu jauh dari irigasi, jadi mengandalkan air dari embung dan hujan, kalau tidak ada embung saya kira pertanian di daerah kami ini akan kesulitan air saat kemarau," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024