Antarajawabarat.com, 29/6 - Satu teleskop kecil Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) diluncurkan ke orbit pada Kamis (27/6) untuk mengetahui bagaimana matahari memanaskan atmosfernya hingga jutaan derajat dan mengalirkan partikel-partikel yang menentukan batas tata surya.
"Kita hidup dalam masyarakat yang sangat kompleks dan matahari punya peran di dalamnya," kata ahli fisika Alan Title dari Lockheed Martin Space Systems Advanced Technology Center di Palo Alto, California, yang merancang dan membangun teleskop itu.
Aktivitas matahari berdampak langsung terhadap iklim Bumi dan lingkungan antariksa melampaui atmosfer planet-planet.
Badai matahari bisa mematikan pembangkit energi, mengganggu sinyal radio, serta mempengaruhi satelit komunikasi, navigasi dan satelit lain di orbit.
Para ilmuwan telah mencoba mengungkap mekanisme yang menggerakkan matahari selama beberapa dekade tapi satu misteri fundamental bertahan: bagaimana dia melepaskan energi dari permukaan dengan suhu 5.500 derajat Celsius ke atmosfer yang bisa mencapai 2,8 juta Celsius suhunya.
Pada intinya, matahari adalah fusi energi raksasa yang memadukan atom-atom hidrogen menjadi helium.
Seperti yang diharapkan, suhu dingin ketika energi melakukan perjalanan keluar melalui lapisan-lapisan. Namun dalam atmosfer yang lebih rendah yang disebut kromosfer, suhu memanas lagi.
Gambar dan data dari teleskop Interface Region Imaging Spectrograph (IRIS) mungkin akhirnya akan memberikan jawaban tentang bagaimana semua itu terjadi.
Observatorium sepanjang 1,2 meter dan berat 204 kilogram tersebut akan mengamati matahari dari jarak sekitar 400 mil di atas Bumi.
Perangkat itu dirancang untuk menangkap gambar detil pergerakan cahaya dari permukaan matahari yang disebut fotosfer ke kromosfer.
Suhu memuncak di atmosfer luar matahari, korona.
Semua energi itu menjadi bahan bakar bagi pelepasan partikel secara berlanjut dari matahari ke apa yang disebut sebagai angin surya, gelembung tekanan yang mengisi dan menentukan batas tata surya.
"Setiap kali kita melihat ke matahari dengan lebih rinci, ini akan membuka jendela baru bagi kita," kata Jeffrey Newmark, ilmuwan program IRIS di markas NASA di Washington, D.C.
Antara
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2013
"Kita hidup dalam masyarakat yang sangat kompleks dan matahari punya peran di dalamnya," kata ahli fisika Alan Title dari Lockheed Martin Space Systems Advanced Technology Center di Palo Alto, California, yang merancang dan membangun teleskop itu.
Aktivitas matahari berdampak langsung terhadap iklim Bumi dan lingkungan antariksa melampaui atmosfer planet-planet.
Badai matahari bisa mematikan pembangkit energi, mengganggu sinyal radio, serta mempengaruhi satelit komunikasi, navigasi dan satelit lain di orbit.
Para ilmuwan telah mencoba mengungkap mekanisme yang menggerakkan matahari selama beberapa dekade tapi satu misteri fundamental bertahan: bagaimana dia melepaskan energi dari permukaan dengan suhu 5.500 derajat Celsius ke atmosfer yang bisa mencapai 2,8 juta Celsius suhunya.
Pada intinya, matahari adalah fusi energi raksasa yang memadukan atom-atom hidrogen menjadi helium.
Seperti yang diharapkan, suhu dingin ketika energi melakukan perjalanan keluar melalui lapisan-lapisan. Namun dalam atmosfer yang lebih rendah yang disebut kromosfer, suhu memanas lagi.
Gambar dan data dari teleskop Interface Region Imaging Spectrograph (IRIS) mungkin akhirnya akan memberikan jawaban tentang bagaimana semua itu terjadi.
Observatorium sepanjang 1,2 meter dan berat 204 kilogram tersebut akan mengamati matahari dari jarak sekitar 400 mil di atas Bumi.
Perangkat itu dirancang untuk menangkap gambar detil pergerakan cahaya dari permukaan matahari yang disebut fotosfer ke kromosfer.
Suhu memuncak di atmosfer luar matahari, korona.
Semua energi itu menjadi bahan bakar bagi pelepasan partikel secara berlanjut dari matahari ke apa yang disebut sebagai angin surya, gelembung tekanan yang mengisi dan menentukan batas tata surya.
"Setiap kali kita melihat ke matahari dengan lebih rinci, ini akan membuka jendela baru bagi kita," kata Jeffrey Newmark, ilmuwan program IRIS di markas NASA di Washington, D.C.
Antara
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2013