ANTARAJAWABARAT.com,3/4 - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat dari 3.896 anak yang terpaksa terpisah dari pengasuhan salah satu orang tuanya karena kasus perceraian, diantaranya terdapat 249 anak yang tidak diakui oleh ayahnya.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam seminar nasional "Kedudukan Anak Luar Kawin Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)" di Kampus Universitas Padjajaran, Bandung, Selasa, menyebutkan pada 2011 Komnas PA menerima pengaduan 2.518 kasus perceraian.
Dari kasus itu yang menyebabkan 3.896 anak terpaksa terpisah dari pengasuhan salah satu orang tuanya dengan sebagian besar penggugat perceraian datang dari pihak perempuan.
"Angka itu jauh lebih tinggi dari 2010 yang tercatat hanya 1.634 kasus," ujarnya.
Dari 2.518 kasus perceraian yang dilaporkan pada 2011, sebanyak 2.113 kasus perceraian berpisah dari perkawinan tercatat, 225 dari perkawinan menurut ketentuan agama, 24 dari perkawinan menurut ketentuan adat, dan sebanyak 156 kasus dari perkawinan tidak tercatat.
Karena itu, menurut Arist, kasus perceraian pada 2011 yang dilaporkan kepada Komnas PA telah menyebabkan sebanyak 249 anak tidak mendapatkan hak perdata dari pihak ayahnya.
"Sebanyak 159 anak bahkan tidak mendapatkan akta lahir," ujarnya.
Akibatnya, lanjut dia, anak-anak tersebut harus mendapatkan stigma sebagai "anak luar kawin" dan menderita perlakukan tidak adil dari masyarakat. Selain itu, anak-anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak-hak konstitusionalnya karena tidak bisa memperoleh fasilitas pendidikan akibat tidak memiliki akta kelahiran.
Padahal, lanjut Arist, Undang-undang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa setiap anak berhak atas identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran.
Untuk itu Arist mengapresiasi Keputusan MK dalam uji materil pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai wujud keadilan dalam perlindungan hak-hak anak.
"Karena tidak ada seorang anak pun berkeinginan lahir dari hasil luar kawin dan perzinahan dan tidak ada seorang anak pun lahir atas kehendaknya sendiri," ujarnya.
Arist berpendapat bahwa keputusan MK yang dinilai kontroversial itu tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan pengakuan terhadap hubungan yang tidak bisa diterima menurut agama maupun norma sosial atau pun memicu praktik pemerasan.
Menurut dia, pasal yang mengakui hubungan anak luar kawin dengan ayahnya tidak akan berjalan apabila pihak ayah tidak bersedia menjalani tes biologis guna membuktikan hubungan darah karena tidak ada pasal lanjutan yang memaksa pihak ayah untuk melakukan tes tersebut.
Untuk menampung kekhawatiran atau aspirasi lain dari masyarakat dalam merespon putusan MK tersebut, Arist berpendapat, Mahkamah Agung (MA) sebaiknya mengeluarkan peraturan guna mengatur praktik pembuktian hubungan anak luar kawin dan ayahnya di pengadilan.***3***
Diah
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2012
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam seminar nasional "Kedudukan Anak Luar Kawin Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)" di Kampus Universitas Padjajaran, Bandung, Selasa, menyebutkan pada 2011 Komnas PA menerima pengaduan 2.518 kasus perceraian.
Dari kasus itu yang menyebabkan 3.896 anak terpaksa terpisah dari pengasuhan salah satu orang tuanya dengan sebagian besar penggugat perceraian datang dari pihak perempuan.
"Angka itu jauh lebih tinggi dari 2010 yang tercatat hanya 1.634 kasus," ujarnya.
Dari 2.518 kasus perceraian yang dilaporkan pada 2011, sebanyak 2.113 kasus perceraian berpisah dari perkawinan tercatat, 225 dari perkawinan menurut ketentuan agama, 24 dari perkawinan menurut ketentuan adat, dan sebanyak 156 kasus dari perkawinan tidak tercatat.
Karena itu, menurut Arist, kasus perceraian pada 2011 yang dilaporkan kepada Komnas PA telah menyebabkan sebanyak 249 anak tidak mendapatkan hak perdata dari pihak ayahnya.
"Sebanyak 159 anak bahkan tidak mendapatkan akta lahir," ujarnya.
Akibatnya, lanjut dia, anak-anak tersebut harus mendapatkan stigma sebagai "anak luar kawin" dan menderita perlakukan tidak adil dari masyarakat. Selain itu, anak-anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak-hak konstitusionalnya karena tidak bisa memperoleh fasilitas pendidikan akibat tidak memiliki akta kelahiran.
Padahal, lanjut Arist, Undang-undang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa setiap anak berhak atas identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran.
Untuk itu Arist mengapresiasi Keputusan MK dalam uji materil pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai wujud keadilan dalam perlindungan hak-hak anak.
"Karena tidak ada seorang anak pun berkeinginan lahir dari hasil luar kawin dan perzinahan dan tidak ada seorang anak pun lahir atas kehendaknya sendiri," ujarnya.
Arist berpendapat bahwa keputusan MK yang dinilai kontroversial itu tidak perlu dikhawatirkan akan menimbulkan pengakuan terhadap hubungan yang tidak bisa diterima menurut agama maupun norma sosial atau pun memicu praktik pemerasan.
Menurut dia, pasal yang mengakui hubungan anak luar kawin dengan ayahnya tidak akan berjalan apabila pihak ayah tidak bersedia menjalani tes biologis guna membuktikan hubungan darah karena tidak ada pasal lanjutan yang memaksa pihak ayah untuk melakukan tes tersebut.
Untuk menampung kekhawatiran atau aspirasi lain dari masyarakat dalam merespon putusan MK tersebut, Arist berpendapat, Mahkamah Agung (MA) sebaiknya mengeluarkan peraturan guna mengatur praktik pembuktian hubungan anak luar kawin dan ayahnya di pengadilan.***3***
Diah
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2012