Peneliti dan Akademisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) DR Ima Mayasari mendorong pemerintah mengambil langkah untuk menyusun regulasi yang mampu mengharmonisasikan regulasi terkait kemasan pangan.
"Baik hulu oleh Badan POM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Bappenas/Kementerian PPN, dan hilir melalui UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, dan UU No 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No 35 tahun 2014 yang memberikan penekanan pada aspek kemanfaatan untuk melindungi Kesehatan masyarakat," kata Ima Mayasari dalam keterangannya, Kamis.
Pandangan itu mengemuka dalam Dialog Publik yang diselenggarakan secara virtual dengan tema "Urgensi Regulasi pelabelan BPA dalam Kemasan Pangan" yang digelar oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI).
Menurut dia, pemerintah harus mampu melihat perkembangan kebutuhan masyarakat dan referensi kebijakan yang ada di tataran internasional dengan melakukan benchmark pengaturan kemasan pangan untuk perlindungan Kesehatan masyarakat,” ujar Ima menjelaskan lebih jauh.
Ima juga merekomendasikan Badan POM untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Berikutnya, Ima mendorong pemerintah melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24.M-IND/PER/2/2010 tentang pencantuman Logo Tara Pangan, dan Kode Daur Ulang pada Kemasan dari Plastik dan Peraturan lainnya serta Standar nasional Indonesia (SNI) agar selaras dengan peraturan yang dibuat oleh Kementerian/Lembaga lainnya.
"Pemerintah dan BPOM melakukan edukasi dan sosialisasi sebagai bentuk penyadaran masyarakat terhadap bahaya BPA diiringi dengan kegiatan monitoring evaluasi secara berkala sehingga penyimpangannya dapat segera diiketahui dan diatasi," tuturnya.
Sementara itu Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan POM, Dra. Rita Endang, mengatakan Badan POM saat ini masih terus melakukan review standar dan peraturan bersama dengan pakar air, pakar polimer plastik, dan pakar keamanan pangan dan Kementerian/lembaga terkait, termasuk standar kemasan dan label AMDK.
Menurut Rita Endang, Badan POM juga sedang menyusun policy brief pengkajian risiko BPA dalam AMDK yang meliputi, batas migrasi BPA pada Kemasan Galon Polikarbonat tetap 0,6 bpj.
"BPOM dalam menetapkan kebijakan dan regulasi mengedepankan perlindungan kesehatan masyarakat, dinamika regulasi negara lain dan mempertimbangkan Regulatory Impact Assesment (RIA) seperti kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," ujar Rita.
Wakil Ketua Komisi Kerjasama & Pengkajian Kelembagaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Republik Indonesia, Dr. Ermanto Fahamsyah, berpendapat penerapan regulasi Pelabelan BPA dalam kemasan pangan dipandang perlu untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha atas pentingnya informasi yang akurat dan lengkap dari suatu produk pangan serta untuk memproduksi pangan yang berkualitas, aman dikonsumsi dan mengikuti standar yang berlaku.
Ermanto Fahamsyah menilai, perlunya peningkatan pengawasan terhadap keamanan kemasan pangan, namun juga perlu adanya pembinaan terhadap pelaku usaha yang memproduksi pangan/kemasan pangan yang aman bagi konsumen, termasuk juga kepada pelaku usaha skala mikro dan kecil.
"Penerapan regulasi Pelabelan BPA perlu disertai edukasi kepada konsumen tentang bahaya kandungan BPA pada kemasan pangan serta dalam memilih pangan kemasan yang aman untuk dikonsumsi," katanya.
Managing Director Centre for Public Policy Studies (CPPS), Carry Nadeak, berpandangan sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus melibatkan publik sehingga produk kebijakan yang akan dihasilkan mencerminkan kepentingan publik.
Carry Nadeak berpendapat, ada nilai-nilai tertentu yang muncul dalam masyarakat dan keinginan-keinginan masyarakat yang harus diperhatikan atau dipenuhi oleh pemerintah.
Hal itu seiring dengan cepatnya perubahan informasi dan teknologi yang berdampak pada mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai saluran informasi yang ada, baik melalui media sosial dan media mainstream.
"Dalam konteks rencana regulasi Pelabelan BPA, nilai-nilai publik harus dilihat oleh para regulator untuk meninjau kembali apakah regulasi yang dibuat masih relevan saat ini, sehingga akan menjadi salah satu pertimbangan BPOM," kata Carry Nadeak.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar mengajak semua pihak terlibat dalam sosialisasi tentang resiko BPA. Pihaknya mendukung rekomendasi yang disampaikan tim pengkaji FIA UI agar ada regulasi Pelabelan BPA.
"Harapan kami, pemerintah tegas mengatur dan mengedepankan kesehatan masyarakat di atas kepentingan industri," ujar Nia Umar.
Baca juga: Waspada bahaya zat BPA pada kemasan makanan dan minuman
Baca juga: Kemasan galon produk air minum sesuai aturan dan aman, kata Kemenperin
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"Baik hulu oleh Badan POM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, Bappenas/Kementerian PPN, dan hilir melalui UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, dan UU No 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan UU No 35 tahun 2014 yang memberikan penekanan pada aspek kemanfaatan untuk melindungi Kesehatan masyarakat," kata Ima Mayasari dalam keterangannya, Kamis.
Pandangan itu mengemuka dalam Dialog Publik yang diselenggarakan secara virtual dengan tema "Urgensi Regulasi pelabelan BPA dalam Kemasan Pangan" yang digelar oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI).
Menurut dia, pemerintah harus mampu melihat perkembangan kebutuhan masyarakat dan referensi kebijakan yang ada di tataran internasional dengan melakukan benchmark pengaturan kemasan pangan untuk perlindungan Kesehatan masyarakat,” ujar Ima menjelaskan lebih jauh.
Ima juga merekomendasikan Badan POM untuk melakukan perubahan terhadap Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Berikutnya, Ima mendorong pemerintah melakukan penyesuaian dan perubahan terhadap Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24.M-IND/PER/2/2010 tentang pencantuman Logo Tara Pangan, dan Kode Daur Ulang pada Kemasan dari Plastik dan Peraturan lainnya serta Standar nasional Indonesia (SNI) agar selaras dengan peraturan yang dibuat oleh Kementerian/Lembaga lainnya.
"Pemerintah dan BPOM melakukan edukasi dan sosialisasi sebagai bentuk penyadaran masyarakat terhadap bahaya BPA diiringi dengan kegiatan monitoring evaluasi secara berkala sehingga penyimpangannya dapat segera diiketahui dan diatasi," tuturnya.
Sementara itu Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan POM, Dra. Rita Endang, mengatakan Badan POM saat ini masih terus melakukan review standar dan peraturan bersama dengan pakar air, pakar polimer plastik, dan pakar keamanan pangan dan Kementerian/lembaga terkait, termasuk standar kemasan dan label AMDK.
Menurut Rita Endang, Badan POM juga sedang menyusun policy brief pengkajian risiko BPA dalam AMDK yang meliputi, batas migrasi BPA pada Kemasan Galon Polikarbonat tetap 0,6 bpj.
"BPOM dalam menetapkan kebijakan dan regulasi mengedepankan perlindungan kesehatan masyarakat, dinamika regulasi negara lain dan mempertimbangkan Regulatory Impact Assesment (RIA) seperti kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," ujar Rita.
Wakil Ketua Komisi Kerjasama & Pengkajian Kelembagaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Republik Indonesia, Dr. Ermanto Fahamsyah, berpendapat penerapan regulasi Pelabelan BPA dalam kemasan pangan dipandang perlu untuk meningkatkan kesadaran pelaku usaha atas pentingnya informasi yang akurat dan lengkap dari suatu produk pangan serta untuk memproduksi pangan yang berkualitas, aman dikonsumsi dan mengikuti standar yang berlaku.
Ermanto Fahamsyah menilai, perlunya peningkatan pengawasan terhadap keamanan kemasan pangan, namun juga perlu adanya pembinaan terhadap pelaku usaha yang memproduksi pangan/kemasan pangan yang aman bagi konsumen, termasuk juga kepada pelaku usaha skala mikro dan kecil.
"Penerapan regulasi Pelabelan BPA perlu disertai edukasi kepada konsumen tentang bahaya kandungan BPA pada kemasan pangan serta dalam memilih pangan kemasan yang aman untuk dikonsumsi," katanya.
Managing Director Centre for Public Policy Studies (CPPS), Carry Nadeak, berpandangan sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus melibatkan publik sehingga produk kebijakan yang akan dihasilkan mencerminkan kepentingan publik.
Carry Nadeak berpendapat, ada nilai-nilai tertentu yang muncul dalam masyarakat dan keinginan-keinginan masyarakat yang harus diperhatikan atau dipenuhi oleh pemerintah.
Hal itu seiring dengan cepatnya perubahan informasi dan teknologi yang berdampak pada mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai saluran informasi yang ada, baik melalui media sosial dan media mainstream.
"Dalam konteks rencana regulasi Pelabelan BPA, nilai-nilai publik harus dilihat oleh para regulator untuk meninjau kembali apakah regulasi yang dibuat masih relevan saat ini, sehingga akan menjadi salah satu pertimbangan BPOM," kata Carry Nadeak.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Nia Umar mengajak semua pihak terlibat dalam sosialisasi tentang resiko BPA. Pihaknya mendukung rekomendasi yang disampaikan tim pengkaji FIA UI agar ada regulasi Pelabelan BPA.
"Harapan kami, pemerintah tegas mengatur dan mengedepankan kesehatan masyarakat di atas kepentingan industri," ujar Nia Umar.
Baca juga: Waspada bahaya zat BPA pada kemasan makanan dan minuman
Baca juga: Kemasan galon produk air minum sesuai aturan dan aman, kata Kemenperin
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021