Rektor IPB University Prof Arif Satria menyampaikan pentingnya pengaruh ekosistem laut sebagai penunjang berbagai sektor industri dalam proses pembangunan di Indonesia.
"Jarang sekali laut dilihat sebagai sumber biomaterial, yakni sebagai salah satu sumber untuk aktivitas industri," kata Arif Satria dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Pernyataan itu dikemukakan Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB University itu dalam kegiatan virtual Estuary Speaks yang diselenggarakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, Sabtu (19/6).
Arif menekankan bahwa tujuan dari kegiatan itu adalah menjadikan sektor kelautan sebagai sektor yang berkelanjutan di Tanah Air.
Alasannya, laut merupakan sumberdaya esensial yang dapat memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu laut juga merupakan sektor yang krusial bagi pemenuhan kebutuhan energi dan biomaterial.
Arif mengenang diskusinya dengan mendiang BJ Habibie terkait kandungan rumput laut yang bermanfaat dalam menstabilkan badan pesawat saat mengalami tekanan di ketinggian.
Begitu juga dengan chitosan bisa dijadikan pelapis dalam pembuatan badan pesawat tempur agar tak terdeteksi radar. Menurutnya, ini bisa menjadi sumbangan yang besar bagi kemajuan industri pertahanan.
Arif juga menyinggung terkait peran rumput laut dalam pembuatan kosmetik, sandang, dan farmasi di Indonesia.
Arif mengatakan ekosistem laut tidak lepas dari peran budidaya ikan. Terdapat tiga komponen penting, yakni indukan, pakan, serta teknik budidaya ikan.
Ia mengatakan komponen impor yang besar dalam aktivitas berbagai industri merupakan permasalahan yang membuat budidaya perikanan Indonesia rentan.
Seperti pada pemenuhan kebutuhan tepung ikan yang merupakan bahan baku pakan. Indonesia masih bergantung kepada impor dari negara-negara Amerika Latin dalam pemenuhannya.
Begitupun soal indukan, Arif mengatakan Indonesia masih bergantung pada indukan udang vaname impor yang berasal dari Florida Amerika Serikat.
“Penelitian dalam mengembangkan indukan merupakan penelitian yang panjang. Hasilnya tidak langsung terlihat, oleh karenanya jarang dilirik. Padahal riset dalam bidang ini adalah harapan masa depan perikanan dan kelautan kita,” kata pakar Ekologi Politik IPB University ini.
Mantan Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB University itu mengatakan terdapat dua sistem pengaturan penangkapan ikan yakni 'input control' dan 'output control'.
Pada sistem input control maka yang diatur adalah jumlah kapal, ukuran kapal, serta alat tangkap yang digunakan. Sedangkan output control yang diatur adalah kuantitas hasil tangkap.
“Misalnya yang terjadi pada suku Aborigin Australia. Australia menggunakan sistem output control. Pihak yang mendapatkan kuota adalah pihak yang mampu menangkap minimal lima ton per tahun. Suku Aborigin tidak mampu mencapai itu, maka mereka tidak mendapat kuota dan ini tidak adil,” katanya.
Pada akhir acara, Arif menyampaikan bahwa meningkatkan fisheries management tidak semata aspek teknis, tetapi juga ekologis, sosial kelembagaan dan ekonomi.
Pengelolaan sumberdaya harus berpadu dengan kepentingan politik demi kesejahteraan masyarakat serta kepentingan ekologis atau aspek keberlanjutan.
"Jika hanya bertumpu pada 'hard science' maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Dan jika bertumpu pada politik maka akan menimbulkan ketidakakuratan dan kehancuran sumberdaya, " katanya.
Baca juga: Alumnus IPB sukses kembangkan pertanian berbasis air laut
Baca juga: Dosen IPB ciptakan inovasi garam sehat berbahan rumput laut
Baca juga: Mahasiswa IPB raih dana hibah penelitian dari APRI
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"Jarang sekali laut dilihat sebagai sumber biomaterial, yakni sebagai salah satu sumber untuk aktivitas industri," kata Arif Satria dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin.
Pernyataan itu dikemukakan Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB University itu dalam kegiatan virtual Estuary Speaks yang diselenggarakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University, Sabtu (19/6).
Arif menekankan bahwa tujuan dari kegiatan itu adalah menjadikan sektor kelautan sebagai sektor yang berkelanjutan di Tanah Air.
Alasannya, laut merupakan sumberdaya esensial yang dapat memenuhi kebutuhan pangan. Selain itu laut juga merupakan sektor yang krusial bagi pemenuhan kebutuhan energi dan biomaterial.
Arif mengenang diskusinya dengan mendiang BJ Habibie terkait kandungan rumput laut yang bermanfaat dalam menstabilkan badan pesawat saat mengalami tekanan di ketinggian.
Begitu juga dengan chitosan bisa dijadikan pelapis dalam pembuatan badan pesawat tempur agar tak terdeteksi radar. Menurutnya, ini bisa menjadi sumbangan yang besar bagi kemajuan industri pertahanan.
Arif juga menyinggung terkait peran rumput laut dalam pembuatan kosmetik, sandang, dan farmasi di Indonesia.
Arif mengatakan ekosistem laut tidak lepas dari peran budidaya ikan. Terdapat tiga komponen penting, yakni indukan, pakan, serta teknik budidaya ikan.
Ia mengatakan komponen impor yang besar dalam aktivitas berbagai industri merupakan permasalahan yang membuat budidaya perikanan Indonesia rentan.
Seperti pada pemenuhan kebutuhan tepung ikan yang merupakan bahan baku pakan. Indonesia masih bergantung kepada impor dari negara-negara Amerika Latin dalam pemenuhannya.
Begitupun soal indukan, Arif mengatakan Indonesia masih bergantung pada indukan udang vaname impor yang berasal dari Florida Amerika Serikat.
“Penelitian dalam mengembangkan indukan merupakan penelitian yang panjang. Hasilnya tidak langsung terlihat, oleh karenanya jarang dilirik. Padahal riset dalam bidang ini adalah harapan masa depan perikanan dan kelautan kita,” kata pakar Ekologi Politik IPB University ini.
Mantan Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB University itu mengatakan terdapat dua sistem pengaturan penangkapan ikan yakni 'input control' dan 'output control'.
Pada sistem input control maka yang diatur adalah jumlah kapal, ukuran kapal, serta alat tangkap yang digunakan. Sedangkan output control yang diatur adalah kuantitas hasil tangkap.
“Misalnya yang terjadi pada suku Aborigin Australia. Australia menggunakan sistem output control. Pihak yang mendapatkan kuota adalah pihak yang mampu menangkap minimal lima ton per tahun. Suku Aborigin tidak mampu mencapai itu, maka mereka tidak mendapat kuota dan ini tidak adil,” katanya.
Pada akhir acara, Arif menyampaikan bahwa meningkatkan fisheries management tidak semata aspek teknis, tetapi juga ekologis, sosial kelembagaan dan ekonomi.
Pengelolaan sumberdaya harus berpadu dengan kepentingan politik demi kesejahteraan masyarakat serta kepentingan ekologis atau aspek keberlanjutan.
"Jika hanya bertumpu pada 'hard science' maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Dan jika bertumpu pada politik maka akan menimbulkan ketidakakuratan dan kehancuran sumberdaya, " katanya.
Baca juga: Alumnus IPB sukses kembangkan pertanian berbasis air laut
Baca juga: Dosen IPB ciptakan inovasi garam sehat berbahan rumput laut
Baca juga: Mahasiswa IPB raih dana hibah penelitian dari APRI
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021