Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University Arief Sabdo Yuwono berhasil mengembangkan proses pengolahan sampah tanpa bau yang diberi nama Bak Komposting Metode SABDO (BakPo SABDO).
Menurut Arief dalam keterangan resmi IPB University yang diterima di Jakarta, Kamis, teknologi itu ditujukan untuk mempercepat proses pengomposan sampah organik tanpa bau.
"Bedanya bak komposting yang ada pada umumnya dengan BakPo SABDO terletak pada agen biodegradasinya. Bak komposting pada umumnya menggunakan agen biodegradasi berupa konsorsium bakteri, sedangkan pada BakPo SABDO ini agen biodegradasinya adalah larva BSF (Black Soldier Fly)," jelas akademisi di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan itu.
Keunggulan dari inovasi itu adalah biodegradasi berlangsung dengan skala kebauan sangat rendah, yaitu -0,1. Sebagai informasi, skala kebauan berkisar dalam rentang -4 hingga +4. Minus 4 bermakna bau sangat tidak nyaman sedangkan plus 4 bermakna sangat menyenangkan alias bau yang sangat disukai.
Jadi dengan skor -0,1 maka proses biodegradasi limbah organik dalam BakPo SABDO hampir tidak menimbulkan kesan bau, sedangkan proses biodegradasi dalam bak pengomposan yang ada di pasaran menimbulkan bau tidak sedap dengan intensitas kuat.
Tidak hanya itu, larva BSF yang ada dalam bak pengomposan itu dapat juga dipanen dan menjadi sumber protein dalam pembuatan ransum unggas, ikan atau ternak lainnya.
"Larva BSF mengandung protein sebesar 30-40 persen. Jadi, larva BSF sangat potensial sebagai pilihan sumber protein pakan yang selama ini sebagian besar masih diimpor," jelasnya.
Proses biodegradasi limbah organik di inovasi itu bisa langsung berjalan pada hari yang sama, tidak perlu menunggu kedatangan lalat BSF untuk bertelur. Hal itu karena BakPo SABDO diaplikasikan sekaligus dengan larva aktif BSF di dalamnya.
Jumlah BakPo SABDO sendiri dibuat baru sekitar 30 unit karena masih merupakan inovasi baru. Namun demikian, pada tahun 2021 akan dilakukan sosialisasi yang lebih masif dan luas.
"Diharapkan akan terjadi peningkatan jumlah pemakai secara signifikan dan diperkirakan akan mencapai jumlah hingga seratus unit yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia," demikian Arief.
Baca juga: Belatung dari Indonesia laku diekspor ke Belanda
Baca juga: Lalat Bisa Menebak Aroma Manis Berdasarkan Waktu
Baca juga: Lalat buah jadi kendala mangga gedong gincu Cirebon tembus pasar Jepang
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Menurut Arief dalam keterangan resmi IPB University yang diterima di Jakarta, Kamis, teknologi itu ditujukan untuk mempercepat proses pengomposan sampah organik tanpa bau.
"Bedanya bak komposting yang ada pada umumnya dengan BakPo SABDO terletak pada agen biodegradasinya. Bak komposting pada umumnya menggunakan agen biodegradasi berupa konsorsium bakteri, sedangkan pada BakPo SABDO ini agen biodegradasinya adalah larva BSF (Black Soldier Fly)," jelas akademisi di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan itu.
Keunggulan dari inovasi itu adalah biodegradasi berlangsung dengan skala kebauan sangat rendah, yaitu -0,1. Sebagai informasi, skala kebauan berkisar dalam rentang -4 hingga +4. Minus 4 bermakna bau sangat tidak nyaman sedangkan plus 4 bermakna sangat menyenangkan alias bau yang sangat disukai.
Jadi dengan skor -0,1 maka proses biodegradasi limbah organik dalam BakPo SABDO hampir tidak menimbulkan kesan bau, sedangkan proses biodegradasi dalam bak pengomposan yang ada di pasaran menimbulkan bau tidak sedap dengan intensitas kuat.
Tidak hanya itu, larva BSF yang ada dalam bak pengomposan itu dapat juga dipanen dan menjadi sumber protein dalam pembuatan ransum unggas, ikan atau ternak lainnya.
"Larva BSF mengandung protein sebesar 30-40 persen. Jadi, larva BSF sangat potensial sebagai pilihan sumber protein pakan yang selama ini sebagian besar masih diimpor," jelasnya.
Proses biodegradasi limbah organik di inovasi itu bisa langsung berjalan pada hari yang sama, tidak perlu menunggu kedatangan lalat BSF untuk bertelur. Hal itu karena BakPo SABDO diaplikasikan sekaligus dengan larva aktif BSF di dalamnya.
Jumlah BakPo SABDO sendiri dibuat baru sekitar 30 unit karena masih merupakan inovasi baru. Namun demikian, pada tahun 2021 akan dilakukan sosialisasi yang lebih masif dan luas.
"Diharapkan akan terjadi peningkatan jumlah pemakai secara signifikan dan diperkirakan akan mencapai jumlah hingga seratus unit yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia," demikian Arief.
Baca juga: Belatung dari Indonesia laku diekspor ke Belanda
Baca juga: Lalat Bisa Menebak Aroma Manis Berdasarkan Waktu
Baca juga: Lalat buah jadi kendala mangga gedong gincu Cirebon tembus pasar Jepang
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021