Akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Adrian E Rompis menyebut perizinan lembaga penyiaran melalui internet diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara daring di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, Adrian E Rompis mengatakan hal yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Telekomunikasi berada dalam klaster yang berbeda.
"Layanan internet masuk di dalam penyelenggara telekomunikasi untuk kegiatan jasa, sementara kalau untuk penyiaran itu adalah penyelenggara telekomunikasi khusus," ujar Adrian E Rompis yang dihadirkan sebagai ahli oleh pemerintah.
Selain itu, Undang-Undang Penyiaran mengatur pengawasan konten yang ketat, misalnya sejak awal mengharuskan lembaga siaran untuk menyampaikan konten yang akan disiarkan hingga dinyatakan memenuhi syarat untuk disiarkan secara tetap.
Sementara untuk penyelenggara siaran melalui internet, kata dia, hanya menyalurkan konten dari pihak lain kepada penggunanya.
"Sehingga saya berkesimpulan bahwa penambahan frasa kata penyelenggara internet itu saya katakan tidak mungkin untuk diterima dalam konstruksi Undang-Undang Penyiaran dengan batang-batang tubuh, ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh," kata dia.
Adapun pemohon PT Visi Citra Mulia (INEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) mempersoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Para pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.
Baca juga: Tak mengatur Netflix dan Youtube, RCTI gugat UU Penyiaran ke MK
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran secara daring di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa, Adrian E Rompis mengatakan hal yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Telekomunikasi berada dalam klaster yang berbeda.
"Layanan internet masuk di dalam penyelenggara telekomunikasi untuk kegiatan jasa, sementara kalau untuk penyiaran itu adalah penyelenggara telekomunikasi khusus," ujar Adrian E Rompis yang dihadirkan sebagai ahli oleh pemerintah.
Selain itu, Undang-Undang Penyiaran mengatur pengawasan konten yang ketat, misalnya sejak awal mengharuskan lembaga siaran untuk menyampaikan konten yang akan disiarkan hingga dinyatakan memenuhi syarat untuk disiarkan secara tetap.
Sementara untuk penyelenggara siaran melalui internet, kata dia, hanya menyalurkan konten dari pihak lain kepada penggunanya.
"Sehingga saya berkesimpulan bahwa penambahan frasa kata penyelenggara internet itu saya katakan tidak mungkin untuk diterima dalam konstruksi Undang-Undang Penyiaran dengan batang-batang tubuh, ketentuan-ketentuan dalam batang tubuh," kata dia.
Adapun pemohon PT Visi Citra Mulia (INEWS TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) mempersoalkan pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Para pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam UU Penyiaran.
Baca juga: Tak mengatur Netflix dan Youtube, RCTI gugat UU Penyiaran ke MK
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020