Antarajabar.com - Gempita peringatan hari jadi ke-50 Singapura pada tahun ini menunjukkan bahwa negeri itu berhasil berubah dari miskin menjadi kaya raya.
Dengan pertumbuhan ekonomi sangat pesat dan pemerintahan relatif stabil, Singapura menjadi pusat nadi ekonomi kawasan, bukan hanya Asia Tenggara tapi juga dunia.
Di balik keberhasilan Singapura, sepenggal kisah tentang pekerja rantau menjadi salah satu masalah peka, bukan hanya buat pemerintah, tapi juga warga Singapura, yang mempunyai pandangan terbelah atas pertanyaan mengapa pekerja dari luar negeri semakin banyak di negara mereka.
Buruh rantau terbagi menjadi dua jenis, yakni yang bekerja di bidang kerja bergaji kecil dengan tingkat keahlian rendah, dan yang bekerja sebagai pegawai kantoran sebagai bankir atau pekerja IT.
Di Singapura, pekerja kerah putih selalu menyuarakan pendapat mereka yang sangat positif soal pengalaman bekerja di negara yang dibangun oleh Lee Kuan Yew itu. Paul D Souza misalnya, seorang bankir yang telah malang melintang bekerja di industri finansial di Inggris dan India menjelaskan bahwa Singapura menawarkan lingkungan kerja yang paling menarik.
"Singapura adalah negeri yang sangat internasional, dengan sistem pendidikan salah satu terbaik di dunia, membuat para pekerja professional merasa Singapura tempat yang sangat pas untuk berkarir sembari membesarkan anak-anak mereka," kata Paul, Kamis.
Selain gaji sangat menggiurkan, Eliana Yu Jia --seorang perempuan asal Tiongkok yang membangun karir di bidang IT-- juga mengakui bahwa Singapura menawarkan kualitas hidup yang sangat baik dan rasa aman. Alasan ini pula yang membuatnya mendapat restu dari keluarga untuk meninggalkan Beijing meskipun masih lajang.
Fredrick Haren, pria asal Swedia yang bukunya masuk ke dalam daftar "100 Buku Bisnis Paling Hebat Sepanjang Masa", mengungkapkan Singapura adalah kota sekaligus negara yang memiliki akses sangat luas. Pria yang tahun lalu memberikan ceramah bisnis ke 32 negara itu menilai konektifitas yang sangat tinggi dengan hidup di Singapura adalah poin paling penting baginya.
Tapi, kisah manis pengalaman bekerja di Singapura adalah minoritas ketika disandingkan dengan fakta bahwa mayoritas pekerja pendatang justru membawa pulang kisah nan tragis.
Singapura adalah negeri impian buat para pekerja kasar dari banyak negara Asia. Impian karena mayoritas harapan-harapan mereka berujung getir, bahkan tak jarang nyawa taruhannya.
Seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia bernama Supinah bekerja mulai 5 pagi hingga tengah malam. Perempuan malang ini sangat sedikit mendapat makanan sehingga berat badannya menyusut drastis dari 62 kilogram menjadi 42 kilogram hanya dalam waktu lima bulan--tanpa sehari pun libur--bekerja di Singapura. Dengan bantuan LSM bernama "Transient Workers Matter Too" (TWM2), Supinah akhirnya berhasil mendapatkan haknya berupa gaji, namun siapa yang memberi kompensasi atas kondisi kerja yang demikian buruk?
Ada juga Wahyuni. Perempuan Indonesia yang mengadu nasib menjadi PRT di Singapura dan terpaksa pulang dengan kegetiran luar biasa. Majikan mengurungnya di rumah dan semua akses komunikasi dirampas. Saat berhasil kabur dan mengadu ke TWM2, majikan akhirnya bersedia membayarkan gaji tapi dipotong berbagai kuitansi barang-barang mahal yang katanya dibelikan untuk Wahyuni.
Berbagai kisah buruk juga dialami oleh pekerja pria yang mayoritas bekerja sebagai buruh kapal atau tukang di proyek bangunan.
Kebanyakan dari mereka datang dari Malaysia, Bangladesh, Tiongkok, dan India. Kondisi akomodasi mereka sangat jauh dari kata "layak". Di dalam satu unit kecil, terdapat 12 pria berbagi tempat tidur dengan ventilasi sangat terbatas, dan dua toilet.
Hukum Singapura mewajibkan perusahaan menyediakan tempat tinggal buat pekerja. Ini adalah nasib yang harus diterima buruh pendatang, bila ternyata mereka hanya mendapatkan akomodasi "ala kadarnya" dan tak jarang terletak jauh dari tempat bekerja.
Semua kondisi ini terdengar sangat sering terjadi. Bila ini soal buruh migran yang tergolong pekerja kasar, hak-hak mereka oleh majikan sangat dikerdilkan. Tentang hari libur buat PRT misalnya, Singapura mewajibkan adanya hari libur. Akan tetapi, dengan alasan para majikan "khawatir nanti PRT punya pacar dan hamil", banyak PRT tidak mendapatkan hak hari libur.
"Para majikan itu tidak berkenan memberikan libur karena takut orang lain akan mengetahui betapa buruknya perlakuan mereka terhadap PRT yang mereka pekerjakan. Tak jarang majikan menganggap PRT sebagai sesuatu yang menjadi 'kepunyaan' mereka. Dan bila ini adalah cara berpikir para majikan, maka jangan kaget bila perlakuan mereka bisa sangat semena-mena," ujar John Gee, pegiat TWM2 kepada Antara.
Paradoks yang terjadi di Singapura sangat tegas terjadi di kasus-kasus buruh migran. Singapura selalu menyandingkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lain di dunia untuk urusan sistem pendidikan, kualitas hidup, rendahnya korupsi, dan daya saing bisnis. Namun di isu buruh migran, Singapura membandingkan diri dengan negara-negara asal pekerja dan Timur Tengah.
Sistem pengaturan PRT di Singapura, menurut John, sangat mirip dengan kafala--sistem sponsor yang diterapkan di kawasan Timur Tengah, yang membuat pekerja migran sangat rentan terhadap gaji yang tidak dibayarkan, kekerasan fisik, jam kerja yang berlebihan, dan mereka tidak bisa mengadukan keluhan mereka sebab majikan kerap mengancam akan memulangkan mereka. Selain aspek sistem yang memposisikan pekerja secara lemah, sentiment anti-buruh migran yang kian menggeliat di Singapura menambah kondisi pekerja kasar non-Singapura kian tertekan.
Singapura pertama kali membuka pintu untuk pekerja asing pada tahun 1980-an. Pemerintah menyadari ada kekurangan tenaga kerja sebagai PRT, dan ini membuat perempuan-perempuan Singapura yang telah mengenyam pendidikan tinggi sulit untuk bergabung dalam angkatan kerja. Mereka terpaksa mengurus anak dan keluarga di rumah, dan hal ini berubah setelah kran buruh migran PRT dibuka.
Saat ini terdapat sekitar 220.000 orang perempuan yang berasal dari berbagai negara di Asia bekerja sebagai PRT di Singapura. Secara statistik, setiap satu dari lima rumah di Singapura mempekerjakan satu PRT buruh migran. Gaji seorang PRT sekitar 360--450 dolar sebulan, dan mayoritas mereka datang dari Indonesia dan Filipina. Sementara itu terdapat 780.000 orang buruh asing yang bekerja di sektor konstruksi, sanitasi, taman, pabrik, makanan, ritail, dan pariwisata. Secara nasional, 30 persen angkatan kerja diisi oleh pekerja asing.
TWM2 mencatat dalam setiap tahun muncul 3.000 aduan terkait buruknya sistem pengaturan buruh migran. Kasusnya beragam mulai dari kecelakaan kerja, gaji yang tidak dibayarkan, hingga pemecatan dan deportasi.
Untuk bekerja di Singapura, seorang calon PRT harus terdaftar lewat agen yang tercatat. Sebagian besar dari mereka berutang 2.200 dolar untuk membayar biaya penempatan dan tiket pesawat. Utang ini dibayarkan secara dicicil dari 7 hingga 9 bulan gaji pertama.
Lalu apakah mimpi mendapat uang banyak dengan bekerja di Singapura sering menjadi kenyataan?
Debbie Fordyce dari TWM2 yang sejak 11 tahun lalu terlibat dengan advokasi hak-hak buruh migran India dan Bangladesh menjelaskan bahwa ilusi remitansi tak jarang hanya tinggal pepesan kosong.
"Kebanyakan pekerja buruh bangunan asal Bangladesh dan India adalah penduduk desa di negerinya. Mereka diiming-imingi pekerjaan bergaji dolar dan gengsi bagi keluarga mereka di kampung bila ada anggotanya bekerja di Singapura," kata Debbie.
Dengan bekerja di Singapura, mahar menikah saudara perempuannya di kampung akan naik. Keluarga si buruh migran juga dipandang secara lebih terhormat, kata dia.
Meski demikian, bila dilihat dari kenyataan di lapangan, gaji per bulan berkisar antara 400--1.200 dolar. Mereka harus membayar biaya pelatihan di negara asal sekitar 10.000 dolar, biaya penempatan 3.000--4.000 dolar, dan biaya pelatihan di 3.000¿4.000 yang harus dibayar di muka.
Dengan semua biaya ini, biasanya dibutuhkan 9 bulan gaji pertama untuk melunasi. Selama di Singapura, mereka tidak boleh membawa keluarga, tidak pula diizinkan mengganti perusahaan tempat bekerja, dan bila mengeluhkan kondisi kerja maka mereka terancam PHK sepihak tanpa bisa banding dan langsung dipulangkan ke negaranya.
Kenyataan ini demikian buram dan pelik, tapi ribuan orang selalu berusaha mencoba bisa mengadu nasib di Singapura. Sama seperti Pemerintah Singapura yang telah mengeluarkan berbagai aturan hukum, berusaha "memanusiakan" buruh kasar, namun selalu saja ada celah untuk majikan mengeksploitasi pekerja.