Putin, yang memenangi pemilihan presiden kelimanya, telah berkuasa sejak pertama kali menjadi presiden Rusia pada tahun 2000, termasuk periode 2008 hingga 2012 ketika ia menjabat sebagai perdana menteri.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih seperti dikutip Reuters mengatakan pemilu tersebut jelas "tidak bebas dan tidak adil," mengingat Putin telah "memenjarakan lawan politik dan mencegah pihak lain mencalonkan diri melawannya."
Di Tokyo pada Senin, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menolak mengomentari hasil pemilihan presiden Rusia, namun ia mengatakan Tokyo berkeinginan untuk menyelesaikan sengketa wilayah dan "menandatangani perjanjian damai" dengan Moskow.
Sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengkritik "diktator Rusia" itu karena "meniru" pemilu, dan menambahkan bahwa pemilu tersebut "tidak sah.”
Eropa kecam
Sejumlah negara Eropa pada Senin (18/3) mengecam pelaksanaan pemilihan presiden Rusia di daerah Ukraina yang diduduki negara tersebut sebagai bentuk tindakan pelanggaran kedaulatan.
"Prancis mengecam Rusia yang melaksanakan apa yang mereka sebut 'pemilu' di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia: Republik Otonom Krimea, Kota Sevastopol, dan juga sebagian daerah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Prancis.
Krimea dan Sevastopol diduduki Rusia sejak 2014, dan empat kawasan Ukraina lainnya dicaplok Rusia secara ilegal pada September 2022 setelah negara tersebut melancarkan serangannya ke Ukraina pada Februari di tahun yang sama.