Selain ngamen di bawah Jembatan Layang Pasupati, KML juga sering manggung di kafe Bandung. “Di komunitas kita itu bukan grup band, cuma komunitas aja yang mengiringi dan yang ngejalaninnya ya komunitas itu sendiri. Kami juga memiliki uang kas untuk kebutuhan alat band-nya karena suka ada job di kafe-kafe,” ucap Gilang.
Sebagian masyarakat memang belum menerima keberadaan musisi masyarakat. Namun, sebagian orang juga menghormati haknya. Itu adalah cara mereka untuk mencari sesuap nasi dengan cara yang halal.
Menggeluti alat musik selama empat tahun, bagi Gilang bukan menjadi pekerjaan tetapnya. Ia juga mencari pekerjaan yang layak untuk masa depan.
“Memilih jadi musisi jalanan sebenernya ya sambil mengisi kekosongan waktu kan daripada diem cari kerjaan susah udah lama pengangguran ya sementara disini aja,” ucap Gilang.
Setiap hari Gilang dan rekannya menghasilkan pendapatan sebesar Rp50 ribu sampai ratusan ribu. “Pendapatan biasanya sehari per orang paling rendah Rp50 ribu, paling banyak Rp100 ribu lebih,” ucap Gilang.
Suguhan musik jalanan itu sering juga menarik pelintas untuk menghampirinya. Saat itu ada seorang mahasiswa menghampiri Gilang dan rekannya sambil memberi selembar uang tip. Mahasiswa itu bernama Laisya (19). Ia menganggap musisi jalanan adalah aset kota Bandung.
“Saya suka musik dan kebetulan saya merantau ke Bandung. Ngeliat banyak musisi jalanan di Bandung, saya tertarik dan ini harus dipertahankan sih,” ucap Laisya.
“Iya banyak sih seniman musik yang asalnya dari musisi jalanan di Bandung, jadi ya kenapa harus menganggap rendah mereka,” kata Laisya sambil menikmati lagu yang dibawakan Gilang dan rekannya.
Musisi jalanan menghiasi kota Bandung
Jumat, 29 September 2023 14:47 WIB