New York (ANTARA) - Harga minyak mentah berjangka terus melemah pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), di tengah kekhawatiran atas permintaan minyak menyusul data yang lemah dari importir minyak utama China dan meningkatnya peluang kenaikan suku bunga Federal Reserve pada Juni.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juli turun 1,37 dolar AS, atau 1,97 persen, menjadi menetap pada 68,09 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juli yang berakhir Rabu (31/5/2023) turun 88 sen atau 1,20 persen, menjadi menetap di 72,66 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange. Sementara Brent untuk pengiriman Agustus turun 1,11 dolar AS menjadi 72,60 dolar AS per barel.
Harga minyak jatuh setelah data China menunjukkan aktivitas manufaktur berkontraksi lebih cepat dari yang diharapkan pada Mei, karena melemahnya permintaan memangkas indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur resmi turun menjadi 48,8 dari 49,2 pada April, tertinggal dari perkiraan 49,4.
Indeks dolar, yang mengukur unit AS terhadap enam mata uang utama saingannya, mendapat dukungan dari pendinginan inflasi Eropa dan kemajuan pada RUU plafon utang bipartisan AS, yang akan diajukan ke DPR untuk diperdebatkan.
"Kami memiliki data China yang lebih lemah dari perkiraan, situasi batas utang, pengeluaran datar selama dua tahun, dan kemungkinan kenaikan suku bunga bulan depan membebani pasar," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Harga minyak perpanjang kerugian di tengah kekhawatiran permintaan