Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana hidrometeorologi basah yang terjadi di Indonesia pada akhir-akhir ini terjadi dengan maupun tanpa hujan.
Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam disaster briefing yang diikuti daring di Jakarta, Selasa, mengatakan hal itu menjadi pertanda musim peralihan dengan adanya cuaca ekstrem, sehingga faktor tersebut mempengaruhi frekuensi kejadian bencana mingguan yang sudah mulai tampak surut pada 20-27 Maret 2023.
"Sebenarnya dari awal Maret lalu frekuensi kejadian bencana mingguan kita sudah agak turun. Jadi kalau misalkan di puncak musim hujan di Januari, Februari itu frekuensi kejadian bencana kita ada di 60-70 kejadian per minggu, dan sekarang kita udah di 47 kejadian," kata Abdul.
Abdul menyebut dominasi bencana hidrometeorologi basah kali ini memiliki karakteristik berbeda dengan puncak musim hujan pada Januari - Februari lalu, dimana durasi genangan terjadi sangat lama.
Misalnya yang terjadi di Jawa Tengah beberapa waktu lalu, kata dia, terjadi genangan yang cukup lama surut sehingga mengganggu alur pengiriman barang dari Jawa Timur ke DKI Jakarta.
"Tapi saat ini cenderung curah hujan sangat tinggi tapi waktunya singkat, sehingga ini kadang-kadang membuat bahaya ikutan yang lain yaitu tanah longsor," kata Abdul.
Seperti yang terjadi di Kota Bogor, Jawa Barat, banjir dan tanah longsor di kawasan tersebut menyebabkan empat meninggal dan cukup banyak penduduk yang terdampak.
Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, mencatat sebanyak 100 kepala keluarga di lima desa di Kecamatan Sukanagara mengungsi ke tempat aman karena permukiman mereka tergenang banjir akibat sungai meluap, Minggu.
Sekretaris BPBD Cianjur Rudi Wibowo saat dihubungi Minggu, mengatakan lima desa yang tergenang banjir setinggi 80 centimeter hingga 1 meter akibat meluapnya Sungai Cibala, yakni Desa Sukanagara, Sukalaksana, Gunungsari, Sukakarya, dan Sukarame.