ANTARAJAWABARAT.com - Jumat (25/5) siang, cuaca mendung menyelimuti Wuhan, ibu kota Propinsi Hubei, China.
Dalam beberapa hari terakhir kota berpenduduk sekitar sembilan juta itu selalu diguyur hujan.
Tidak gampang mencari mesjid saat rombongan wartawan Indonesia berniat melaksanakan sholat Jumat karena hanya ada lima mesjid di kota yang dibagi dalam tiga distrik itu, yaitu Hanyang, Hankou dan Wuchang.
Meski telah dipandu oleh seorang pemuda lokal pemilik rumah makan yang juga beragama Islam, tetap saja harus bertanya berkali-kali sebelum sampai di tempat yang dituju, yaitu Mesjid Hanyang.
Setelah berputar-putar sekitar 20 menit mengelilingi sebuah perkampungan di wilayah Hanyang, tanda-tanda bahwa bahwa disekitar daerah itu ada mesjid pun mulai tampak setelah melihat beberapa pria menggunakan topi warna putih, serta serombongan wanita berkerudung.
Pada awalnya, tidak terlihat tanda-tanda adanya mesjid karena yang tampak hanyalah sebuah bangunan biasa seperti ruangan sekolah tanpa kubah.
Saat memasuki komplek mesjid, terdapat sekitar 30 orang pria dan 15 wanita yang rata-rata sudah berusia 50 tahun keatas dan mereka tampak terkejut bercampur gembira dengan kedatangan rombongan tamu asing dari jauh.
Untuk beberapa saat, suasana terasa seperti berada di sebuah perkampungan padat Ibukota Jakarta, ketika ibu-ibu berkerudung terlihat sedang memasak di dapur terbuka, sementara pria-pria bersorban duduk-duduk sambil mengobrol.
"Wassalamualaikum.....," jawab mereka nyaris serentak untuk membalas sapaan.
Yang kemudian menyadarkan bahwa rombongan dari Indonesia tersebut berada di China adalah ketika mulai terjadi percakapan, karena tidak ada yang saling mengerti akibat kendala bahasa.
Kendala bahasa akhirnya sedikit terpecahkan ketika datang Wei Shang Ju, imam mesjid yang bisa berbahasa Inggris, meski tidak lancar.
Pria berusia 46 tahun itu, yang mempunyai nama Islam Muhammad Ishaq, mengaku pernah belajar Fiqih Islam di Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun, sehingga lebih lancar berbahasa Arab dibanding Inggris.
Wei Shang Ju, yang memelihara jenggot cukup panjang itu mengatakan bahwa Mesjid Hanyang tersebut baru didirikan sejak sebulan lalu, tapi tergusur karena pemerintah akan membangun pusat perbelanjaan.
"Kami tidak tahu harus pindah kemana jika mesjid ini digusur, padahal mesjid ini baru sebulan dibangun dan sekarang kami sedang membuat kubahnya," kata Shang Ju dalam bahasa Inggris terbata-bata.
"Kuburan-kuburan ini juga akan digusur," katanya sambil menunjuk sebidang tahan di depan mesjid yang dijadikan kuburan para pendahulu mereka yang sudah lebih dulu memeluk Islam.
Setelah berbicara sekitar setengah jam dan sebelum memasuki waktu sholat Jumat Shang Ju kemudian mempersilahkan para tamu dari Indonesia tersebut menuju sebuah ruang terbuka yang dijadikan sebagai ruang makan.
Di atas meja, sudah terhidang sop kaki kambing dan bakpao, lengkap dengan teh hijau.
"No money.... no money," kata Jang Shu untuk menegaskan bahwa mereka tidak memungut bayaran atas makanan tersebut.
Suhu udara yang sedikit dingin akibat hujan gerimis, terasa lebih hangat ketika satu persatu hidangan disantap dengan lahap tanpa ada lagi kekhawatiran bercampur makanan tidak halal.
Prihatin
Dari sekitar 50 orang yang berada di komplek Mesjid Hanyang tersebut, hanya ada dua orang pemuda yang ikut berkumpul untuk menjalankan sholat Jumat, selebihnya adalah orang tua yang rata-rata berusia 50 tahun sampai 60 tahun.
"Saya prihatin dengan anak-anak muda kami sekarang karena mereka lebih tertarik dengan komputer dan internet dibanding ke mesjid," kata An Qing Guan, wanita berumur 60 tahun yang lebih lancar bahasa Inggris.
Sebagai minoritas karena umat Islam di China hanya sekitar dua persen dari total 1,2 miliar penduduk, Qing Guan mengaku bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menjaga keislaman anak-anak remaja mereka.
Apalagi tidak ada pelajaran agama di sekolah karena di Cina sistem pendidikan dipisahkan dari ajaran agama.
Selain itu, pendidikan keluarga sering tidak dipelihara, sehingga anak-anak secara bertahap kehilangan hubungan dengan agama mereka dan akhirnya banyak yang tidak puasa dan melakukan shalat.
Meski demikian, Qing Guan yang sehari-hari mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak itu mengatakan bahwa ia tetap berusaha mendidik anak-anaknya secara Islam dalam kehidupan sehari-hari.
"Saya selalu memasak sendiri dan hampir tidak pernah makan diluar karena sangat sulit untuk menemukan makanan halal," kata An Qing yang tahun ini akan menjalankan ibadah haji bersama suaminya.
Untuk menjalankan ibadah haji, Qing Guan mengaku harus mengeluarkan biaya sebesar 40.000 yuan atau sekitar Rp56 juta dan biaya tersebut sangat mahal buat kebanyakan warga Muslim China.
Tapi Qing Guan yang tidak harus lama-lama menunggu naik haji karena bisa berangkat tahun ini juga, tampak kaget karena orang Indonesia harus menunggu sampai lima tahun.
Menurut wanita berkacamata itu, dari Kota Wuhan, terdapat sekitar 30-an orang yang akan naik haji dari sekitar 2000-an umat Islam di wilayah Hanyang.
Di Wuhan, terdapat sekitar 30.000 umat Islam yang sebagian besar berasal dari etnis Han.
"Ya, itu mungkin karena Indonesia negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Saya baca di majalah kalau Islam di negeri Anda sangat kuat. Apakah mahal biaya kesana? Saya juga ingin merasakan suasana masyarakat Islam di Indonesia," katanya.
Selama masa bergolak di China, sangat sedikit jamaah haji yang diizinkan untuk melakukan perjalanan ke tanah suci, tapi pemerintah China mulai memperlonggar kebijakan terhadap Umat Islam sejak 1978.
Pada 2007, jumlah umat Islam yang menuaikan ibadah haji melebihi angka 10.000 orang untuk pertama kalinya dan mencapai 12.700 orang pada 2011 lalu.
"Ya, sekarang kehidupan orang Islam di China jauh lebih baik dari sebelumnya. Kami juga dengan leluasa sudah boleh memakai jilbab atau menggunakan huruf Arab di restoran," katanya menambahkan.
ANTARA
MERASAKAN KEHANGATAN UMAT ISLAM DI WUHAN Oleh Atman Ahdiat
Jumat, 25 Mei 2012 23:43 WIB