“Tokoh dalam cerpen-cerpen Sirikit Syah pada antologi ini ( Lelaki dari Masa Lalu) adalah perempuan-perempuan yang kompleks. Berpendidikan tinggi, mobilitas internasional, kadang berfungsi sebagai kepala keluarga atau sosok lajang mandiri, namun selalu menempati posisi subordinasi dalam relasi interpersonal dengan lelaki-lelaki yang mereka cintai. Sebuah kritik halus terhadap dunia patriarki.”
Sedang Dee Lestari memberikan testimoni, “Cerita-cerita Sirikit Syah mengungkap dunia perempuan dewasa dan segala permasalahannya dengan intim serta personal. Pergelutan antara keinginan vs kebutuhan, identitas serta aktualitas diri. Reflektif dan menghibur.”
Menjelang masuk Ramadhan, di salah satu WAG yang kami ikuti bersama Mbak Ikit sempat mengisahkan kehidupan masa remaja dan dewasa yang tidak dekat dengan agama Islam karena sejak kecil dididik dan dibesarkan dalam bingkai agama yang longgar oleh orang tua. “Saya baru mulai bisa mengaji di umur 50-51, belajar serius sampai bisa khatam. Alhamdulillah setelah bisa khatam yang pertama kali setelah itu mencoba konsisten mengaji dan khatam lagi dan lagi,” katanya.
Sungguh satu episode kehidupan yang menyentuh, bagaimana dalam sepuluh terakhir hidupnya yang penuh dinamika tinggi dan fluktuasi, Mbak Ikit kembali dengan suka cita menekuni kalam ilahi dalam kitab suci.
Dengan kepulangan Mbak Ikit ke Negeri Keabadian di bulan suci Ramadhan, in syaa Allah beliau termasuk nafsul muthmainnah (jiwa yang tenang) seperti Allah firmankan, “Wahai jiwa-jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89: 27-30).
*Penulis adalah sosiolog