Oleh Miqdad Husein *)
Saat Ramadhan memasuki sepuluh hari kedua dan ketiga, biasanya berlontaran sindiran para ulama, penceramah, dai dan orang-orang lainnya.
“Taraweh, makin lama, makin ke depan,” menyindir shaff sholat taraweh di masjid, yang makin berkurang.
“Jumlah jamaah di masjid, seperti ekor tikus. Makin ke belakang, makin kecil,” bunyi sindiran bermuatan sama dengan bahasa berbeda.
Yang terasa agak ekstrem, sindiran yang menyebut sholat taraweh, memasuki tahap-tahap akhir Ramadhan, biasanya pindah ke mall. Masjid, makin sepi, sementara mall mall makin ramai.
Kalimat bernada filsafat namun bernuansa menyindir juga kerap terdengar. ”Memasuki hari-hari menjelang akhir Ramadhan, proses penyaringan mencari yang terbaik mulai terlihat. Mulai ketahuan siapa yang memiliki stamina spiritual hebat dan yang hanya sekedar menjadi penggembira. Mendekati perjalanan akhir, semakin banyak yang berguguran keluar dari barisan.”
Sekali pun deretan sindiran beraneka kata dan kalimat; secara nuansa tertangkap, semua menggambarkan pola pikir dan sikap masyarakat, yang secara ironis menekankan aspek materiil saat-saat menjelang akhir Ramadhan. Ketika awal Ramadhan, gairah membuncah, menjelang akhir Ramadhan, semangat spiritual menurun dan mengalami metamorfose berganti menjadi gairah bernuansa material walau tetap dikemas dalam bungkus aroma Ramadhan.
Tak sulit merasakan dan melihat fakta-fakta dari sindiran itu, di tengah-tengah msyarakat.. Bahkan secara obyektif, sebagian besar masjid mengalami nasib sama: makin ke akhir Ramadhan, makin sepi. Inilah ironi terbesar Ramadhan, yang selalu datang setiap tahun. Ironi, karena bertolak belakang dengan tradisi Ramadhan yang dibangun sejak awal datangnya Islam.
Di zaman Rasul dan para sahabat, memasuki akhir-akhir Ramadhan, gairah beribadah justru meningkat luar biasa. Merasa bulan Ramadhan akan berakhir, kegairahan beribadah makin intens, khawatir tidak maksimal memanfaatkan bulan penuh berokah itu. Mereka berlomba seakan takut tidak kebagian rahmat, maghfirah dan ampunan Allah.
Bukan hal luar biasa, bila persoalan materi, seperti persiapan menghadapi hari raya idul fitri, seperti terabaikan. Yang tersisa hanya konsentrasi. Seperti pertandingan sepak bola di menit-menit akhir, seluruh konsentrasi dicurahkan, tenaga dikeluarkan habis, berbagai upaya dimaksimalkan untuk memenangkan pertandingan.
Sudah menjadi rahasia umum, Nabi dan para sahabat, tabiin, menjelang akhir Ramadhan, mereka seringkali cemas, risau persis seperti seorang pemuda yang akan kehilangan pujannya, yang akan pergi merantau. Ada kerinduan yang tak puas; cemas tak pasti, dan taburan harapan akan dapat bertemu pada Ramadhan mendatang.
Di saat berbuka terakhir, di penghujung Ramadhan, tangis haru, cucuran air mata membasahi pipi Rasulullah dan para sahabat, termasuk di masa-masa para tabiin. Mereka sedih, ketika merasa bulan yang begitu banyak memberi peluang rahmat, maghfirah dan ampunan, akan berlalu. Mereka khawatir tidak mendapat kesempatan lagi di tahun-tahun mendatang.
Melihat tradisi Ramadhan di masa Rasulullah, para sahabat dan tabiin, terasa sekali, bertolak belakang dengan tradisi yang berkembang saat ini. Menjelang akhir Ramadhan, bahkan kadang kita berlebihan mengumbar kegembiraan. Bermewah-mewah, bermegah ria, seakan sebagai puncak pembebasan dari penderitaan.
Ada kesalahan persepsi tentang Idul Ftri, yang bermakna kembali ke fitrih dan dianggap baru mencapai kemenangan. Pemaknaannya sangat bersifat fisik, seakan bebas dari siksa lapar dan haus. Padahal, makna kemenangan sejatinya lebih merupakan pencapaian pembenahan diri melalui ibadah shaum Ramadhan. Subtansi atau intinya adalah spiritual, moral, mental, jiwa, bukan fisik atau material.
Perayaan pencapaian kemenangan yang memang dibolehkan, dengan demikian selayaknya mengarahkan pada pengembangan kualitas moral dan mental pribadi, bukan mengedepankan pernik-pernik bernuansa materiil.
Tak ada larangan merayakan hari kemenangan idul fitri. Tetapi, sekali lagi, jangan sampai pemaknaan kemenangan melenceng jauh dari nilai-nilai khaket dari Idul Fitri. Perlu ada revolusi tradisi sikap dalam mengisi hari-hari bulan Ramadhan, pada ummat saat ini, agar momentum yang datang setahun sekali itu, tidak berlalu sia-sia. Kalau saat menyambut Ramadhan berkeluh kesah –karena merasa ada beban materi, harus dirobah dengan kegembiraan. Saat berakhir, yang biasanya berhura-hura gembira, dirobah dengan kegairahan beribadah yang diwarnai rasa kehilangan sebagai wujud kesadaran spritual mengemuka dan terus meningkat dinamis.
Rasanya, masih ada waktu, kita berbenah, bersiap-siap menyambut hari-hari menjelang akhir Ramadhan dengan kegairan spiritual yang makin tinggi, dan bukan dengan meramaikan mall-mall atau pusat-pusat perbelanjaan. Insya Allah. ***
*) Cendekiawan di Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
REVOLUSI TRADISI RAMADHAN
Kamis, 2 September 2010 10:36 WIB