Bandung, 23/6 (ANTARA) - Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menilai pemerintah lamban menangani impor sapi ilegal dan tidak tegas mengambil keputusan terhadap dampak praktik perdagangan tidak sehat itu.
"Pemerintah lamban dan tidak tegas mengatasi impor sapi ilegal, persoalan ini akan menjadi masalah serius dalam menuju suksesnya swasembada daging nasional 2014," kata Sekjen DPP Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Thawaf, di Bandung, Rabu.
Selain itu, peredaran impor daging ilegal juga masih deras merembes ke pasar-pasar di dalam negeri. Indikasinya, kata Rochadi, terdapat perbedaan data Ditjen Kementerian Pertanian dengan data BPS.
Data Ditjen Kementerian Pertanian pada 2009 impor daging dan jeroan hanya 70.000 ton namun menurut BPS sebanyak 110.000 ton.
"Perbedaan yang sangat signifikan ini merupakan indikasi kuatnya terjadi impor daging sapi ilegal di pasaran," katanya.
Alasan makin beraninya para importir melakukan impor ilegal sapi potong dan daging sapi itu karena tingkat keuntungan yang menggiurkan serta lemahnya pengawasan dalam pemasukan daging itu ke dalam negeri.
Akibatnya, kata Rochadi Thawaf, para peternak sapi lokal menjerit karena harga jual sapi potong menjadi rendah. Salah satunya anggota Asosiasi Pedagang Ternak Sapi Sumedang (Aptis) yang berharap kepada pemerintah agar penurunan harga sapi di pasaran dapat dikendalikan dengan menghentikan sapi impor.
"Mereka salah alamat, karena faktor utamanya adalah banjirnya daging sapi ilegal sehingga membuat daya beli para jagal dan konsumen rendah. Padahal kelebihan suplai yang tidak terdeteksi dalam bentuk daging dan sapi siap potong," katanya.
Selain itu, PPSKI mensinyalir adanya penyalah gunaan sertifikat halal yang disematkan terhadap daging-daging ilegal itu, meski disinyalir prosesnya tidak sesuai dengan kriteria halal.
"Hasil pengecekan ke pasar-pasar ditemukan daging-daging kualitas rendah seperti daging pipi impor yang masuk ke pasaran. Daging harga murah dijual dengan harga normal, jelas itu tidak bisa dibiarkan karena merugikan bagi pasar sapi lokal," katanya.
Lebih lajut, PPSKI mengingatkan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan menghentikan impor sapi dan daging sapi ilegal. Bila kasus ini dibiarkan, kata dia, berdampak bagi konsumen terhadap daging sapi, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia, Ahmad Setiadi, yang menyebutkan rembesan sapi impor ilegal dan daging sapi impor ilegal sangat merugikan peternak sapi lokal dimana pasarnya terambil oleh impor sapi ilegal.
"Harga jual sapi yang rendah membuat peternak sapi lokal tak lagi bergairah, tidak menutup kemungkinan beralih profesi ke sektor lain, dan itu sangat mengancam upaya swasembada daging ahun 2014," kata Ahmad Setiadi.
Kerugian bagi peternak lokal juga berlaku di sentra peternakan sapi seperti Jatim dan Jateng, bahkan dampak impor sapi ilegal di daerah itu sangat besar.
Menurut Ahmad Setiadi, yang mantan Kepala Dinas Peternakan Jawa Barat itu mencontohkan di Jawa Barat kebutuhan sapi potong per tahunnya mendapai 300.000 ekor sedangkan populasi sapi di Jabar sendiri sekitar 300.000 ekor. Jelas untuk pemenuhannya harus dilakukan dari luar daerah.
"Pasar daging sapi di Jabar begitu besar karena penduduk Jabar terbesar di Indonesia. Namun para peternak lokal hanya mampu memasok 14 persennya saja dari permintaan pasar, 46 persen dipasok dari Jatim dan Jateng, sisanya terpaksa dipenuhi dari impor," kata Ahmad Setiadi.
Sementara itu, harga sapi hidup saat ini sapi lokal Rp22.500 per kilogram dan sapi impor 21.000 per kilogram. Sedangkan harga eceran daging sapi berkisar Rp40.000 hingga Rp60.000 per kilogram.
"Dari 13 importir sapi yang ada di Indonesia saat ini tinggal tiga perusahaan yang bisa melakukan impor. Dikhawatirkan, dalam beberapa bulan ke depan terdapat kekurangan pasokan, sehingga bisa jadi celah masuknya sapi maupun daging sapi ilegal. Pemerintah harus bertindak cepat sejak sekarang," kata Sekjen DPP PPSKI, Rohcadi Thawaf menambahkan. ***2***
Syarif A