Semarang (ANTARA) - Warga di lokasi penyelenggaraan Kongres Sampah 2019, di Desa Kesongo, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mempunyai kebiasaan hidup bersih dengan mengelola sampah sesuai dengan jenisnya.
"Sejak di dalam rumah warga Kesongo telah memilah sampah antara organik dan non-organik di kantong yang berbeda," kata Mareta, warga Dusun Sejambu, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jumat.
Proses pemilahan sampah oleh warga itu telah dilakukan sejak dalam rumah melalui kantong-kantong sampah, yang kemudian setiap pagi dimasukkan ke keranjang terpisah.
"Keranjangnya beda, ada dua keranjang, keranjang 'iso bosok' dan keranjang 'ora iso bosok'," ujarnya.
Istilah yang digunakan memang sangat sederhana dan mudah dipahami siapapun sehingga memudahkan masyarakat untuk turut serta dalam gerakan itu.
Keranjang "iso bosok" berarti dikhususkan untuk sampah-sampah yang bisa membusuk (organik), sedangkan keranjang "ora iso bosok" untuk sampah yang tidak bisa membusuk atau terurai (non-organik).
Kendati demikian, Mareta mengatakan bahwa tidak semua sampah non-organik dibuang ke tempat sampah.
"Kami berikan ke tetangga yang membuat kerajinan dari sampah plastik. Ada yang dibuat kostum, bunga, topi dan lain-lain," katanya.
Kepala Desa Kesongo Supriyadi menjelaskan bahwa untuk sampah yang di keranjang kemudian diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) oleh petugas dari desa.
Petugas pengangkut sampah tersebut juga melanjutkan pemisahan sampah, yang organik langsung masuk ke mobil bak terbuka, sedangkan sampah yang non-organik dimasukkan ke keranjang plastik.
"Di TPS petugas tersebut kembali memilah, sampah yang bisa dimanfaatkan dikumpulkan sementara yang tidak bisa diangkut truk ke TPA," ujarnya.
Ia menjelaskan apa yang dilakukan warga Desa Kesongo tersebut bukan karena embel-embel isu bahaya sampah atau semacamnya, melainkan hanya ingin lingkungannya bersih dan sekadar membantu tetangga yang membuat kerajinan berbahan plastik.
Meskipun pada mulanya belum ada dua jenis keranjang sampah pembeda tersebut, katanya.
"Mulanya hanya dilakukan satu orang yang membuat kerajinan itu. Dia membuat kerajinan dari plastik itupun karena mulanya jengkel got depan rumahnya banyak tersumbat sampah plastik. Akhirnya warga sini saling getok tular, saking memberi tahu kalau ada sampah plastik jangan dibuang tapi diberikan ke perajin plastik itu," katanya.
Setelah pihak desa membentuk satgas sampah yang dipimpin langsung oleh babinsa setempat, lanjut Supriyadi, pengelolaan sampah di Desa Kesongo semakin tertata dan mesti dilanjutkan apa yang telah dilakukan warganya itu dengan gerakan yang lebih besar.
"Kami bertekad kalau bisa desa ini tidak lagi mengirim sampah ke TPA. Semua harus bisa kami manfaatkan di sini, makanya kami bercita-cita membuat Taman Pendidikan Pengelolaan Sampah. Selain taman, juga ada Pendidikan Anak Usia Dini agar bisa menanamkan pengelolaan sampah dari dini. 'Master plan' telah kami susun dengan tim KKN Undip," ujarnya.
Saat ini total ada 200 kepala keluarga di Desa Kesongo telah memiliki keranjang "iso bosok" dan keranjang "ora iso bosok", serta ditargetkan pada 2021 seluruh warganya yang mencapai 2.800 kepala keluarga itu bakal memiliki dua keranjang tersebut di depan rumahnya masing-masing.
"Yang bisa membuat gerakan ini hanya punya sedikit hambatan adalah karena ini gerakan non-komersial dan swadaya. Jadi PR kami di pemerintahan desa adalah membuat manfaat lebih besar dari sampah yang dikumpulkan oleh masyarakat," katanya.
Terkait dengan Kongres Sampah yang akan diselenggarakan pada 12-13 Oktober 2019, akan diikuti ratusan peserta dari berbagai kalangan, seperti pengusaha, pemerintah, masyarakat, akademisi, aktivis hingga pemulung.
Tujuan Kongres Sampah adalah melahirkan sistematika persampahan hulu hingga hilir, dari produksi sampah hingga pemanfaatannya.
Baca juga: Garut jajaki perusahaan Korsel kerja sama kelola sampah
Baca juga: Pertamina kelola sampah jadi barang bernilai ekonomis
Baca juga: Paragita Ingin Kelola Sampah Garut Seperti Jerman