Jakarta (ANTARA) - Agus Prayogo melahap lagi putaran kesekiannya di atas lintasan lari Lapangan Babakan, Pangalengan, Jawa Barat. Pelari nasional itu didampingi salah satu pelatihnya, Agung Mulyawan, yang memastikan catatan waktu putarannya tetap terjaga.
Di luar kesadaran Agus maupun Agung, ada bocah laki-laki yang menjadi penonton setiap kali ada atlet pemusatan latihan nasional (pelatnas) berlatih di dataran berketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut tersebut.
Tiap kali lintasan lari milik Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) di Lapangan Babakan tak berisi, bocah itu menghabiskan putaran demi putaran meniru apa-apa yang dilakukan para atlet pelatnas di sana.
Hingga suatu hari, bocah itu berlari di dalam Lapangan Babakan berdampingan dengan Agus, tentunya dengan kecepatan yang belum menyamai, namun keberadaannya menarik perhatian pemegang tiga rekor nasional untuk lari jarak menengah dan jauh tersebut.
Agus urun usul kepada Agung agar menawarkan si bocah dilatih tangan profesional, tantangan yang kemudian diterima oleh pelatih pelatnas itu.
"Saya waktu itu belum kenal pelari-pelari elit. Saya mah lari di lintasan luar, enggak kenal Mas Agus itu siapa. Lari saja, ngikutin," kata bocah itu, Tazi Ahmad Dhani, saat ditemui di Pangalengan, Sabtu (10/8).
"Terus pas hari Rabu, jam delapan pagi, sekolah lagi libur, di toilet Lapangan Babakan, Coach Agung nyamperin saya sambil tanya 'kamu punya pelatih nggak? mau nggak dilatih sama saya?," ujarnya menambahkan, mengenang kejadian yang disebutnya berlangsung medio Desember 2017 itu.
Sebuah kertas berisikan nomor ponsel disodorkan Agung kepada Tazi, pesannya agar menyampaikan kepada orang tua si bocah mengenai tawaran untuk pelatihan lebih profesional.
Setelah persetujuan dari orang tua Tazi didapat, Agung mulai bergerak mencari anak-anak lain di sekolah-sekolah lain di sekitar Pangalengan demi mencari teman latihan bagi Tazi.
Medio Januari 2018, Agung Mulyawan Track Club (AMTC) resmi didirikan oleh Agung demi menampung, melatih dan membina putra putri Pangalengan yang "iri" dengan prestasi para atlet nasional yang kerap unjuk tampil di Lapangan Babakan, lapangan desa mereka.
Candradimuka kini punya representasi
Agung tak banyak mendapat kesulitan untuk mencari anak-anak yang berminat mendapatkan bimbingan darinya, sebab Tazi rupanya bukan satu-satunya anak Pangalengan yang punya minat untuk mengikuti jejak para atlet nasional yang kerap "menumpang" berlatih di tanah kelahiran mereka.
Pangalengan, sejak medio 1980-an memang dijadikan lokasi pemusatan latihan bagi para atlet nasional untuk nomor lari jarak jauh dan menengah.
Menurut Agung secara topografi, area Pangalengan memang memiliki keunggulan bukan saja karena ketinggiannya, tapi keberadaan banyaknya wilayah perkebunan teh yang bisa dijadikan rute lari tanpa harus mengubah apapun.
"Secara ilmiahnya, dengan ketinggian di sini, cadangan oksigen tipis sehingga mereka yang berlatih di Pangalengan bisa meningkatkan optimalisasi volume darah," kata Agung.
"Ketika mereka berlomba di dataran umum ataupun arena lomba perkotaan, di mana oksigennya banyak, volume darah sudah tinggi, maka kemungkinan kemampuan mereka keluar lebih optimal," ujarnya menambahkan.
Hanya saja, Agung mengaku menyayangkan bahwa Pangalengan yang dikenal sebagai Kawah Candradimuka untuk atlet lari jarak jauh dan menengah justru tak punya representasi dari putra putri lokalnya sendiri.
Hal itu pula yang menjadi dasar keputusannya untuk mendirikan AMTC. Ia sempat bernazar jika suatu hari atlet yang didampinginya bisa meraih emas ia akan mendirikan wadah berlatih lari bagi anak Pangalengan dan siapa sangka pertemuannya dengan Tazi menjadi muara dari berdirinya AMTC.
Agung tak memungut biaya bagi anak-anak yang dibinanya. Pada awalnya, ia memilih tiga putra dan tiga putri untuk dilatih secara intensif di rumahnya yang berada di Pangalengan. Bukan sekadar latihan teknik tetapi juga meliputi pengaturan pola konsumsi demi menjaga asupan makanan yang sehat.
Dari enam anak pada Januari 2018, AMTC tumbuh berkembang semakin besar dan kini telah mewadahi 60 atlet binaan, yang 80 persen di antaranya merupakan putra putri Pangalengan sendiri. Agung punya aturan ketat, untuk nomor junior ia cuma mau menerima anak Pangalengan.
Perkembangan AMTC menarik minat bakat-bakat di luar Pangalengan, tak sedikit atlet di usia 20-an tahun rela jauh-jauh pergi ke pelosok Kabupaten Bandung itu demi bisa mendapat sentuhan pelatih nasional sekelas Agung tanpa harus meloloskan diri ke pelatnas.
Sementara AMTC terus berkembang, Tazi yang merupakan bocah cikal bakal klub itu membuktikan ia bukan cuma anak Pangalengan yang "iri" atas keberadaan atlet nasional di tanah kelahirannya.
"Sekitar satu tahun saya tinggal di rumah Coach Agung, sekarang sudah direkomendasikan masuk ke PPOP," aku Tazi, merujuk pada Pusat Pelatihan Olahraga Pelajar (PPOP) Ragunan, Jakarta.
Baru-baru ini, pada 30 Juli hingga 8 Agustus 2019, Tazi turut menjadi salah satu kontingen Indonesia dalam ajang multi event antar sekolah khusus olahragawan (SKO) yakni 22nd Thailand Sports School Khon Kaen Games 2019.
Menyambangi provinsi Khon Kaen, Thailand, Tazi berhasil menyabet medali perunggu untuk nomor lari 3.000 meter.
Tazi dan AMTC perlahan mematahkan stigma bahwa anak Pangalengan tidak bisa menjadi atlet lari nasional. Kawah Candradimuka itu kini punya representasi.
Mimpi dan prestasi itu "penyakit" menular
Tazi jelas tak sendirian mengusung kebanggaan putra putri daerah Pangalengan di dunia lari. Di antara hampir 60 rekan-rekannya, ada Ai Kusmiati.
Perempuan berusia 19 tahun itu mengenal AMTC sekira satu tahun silam. Meski baru bergabung pada Juni 2018, Ai laiknya Tazi dan mungkin banyak anak-anak Pangalengan lainnya, punya kebiasaan menyaksikan tiap kali ada atlet lari nasional berlatih di daerahnya.
Karena terbiasa melihat, tak sedikit dari anak Pangalengan yang "ikut-ikutan" berlari di lintasan Lapangan Babakan ataupun di antara perkebunan teh di sana.
"Sebetulnya dari kecil sudah suka lari, cuma nggak ada yang melatih, nggak ada yang ngarahin," kata Ai yang hampir pasti mewakili suara anak-anak Pangalengan lain, atau setidaknya mereka yang kini bergabung di AMTC.
Ai mungkin belum terdengar di skala nasional, namun ia kerap ambil bagian dalam ajang lari marathon terbuka atau "tarkam" dalam istilah para atlet profesional.
Ia kerap naik podium, di antaranya ajang RunID 2019, BNI UI Half-Marathon 2019 hingga baru-baru ini Pocari Sweat Run 2019 di Bandung. Dalam Pocari Sweat Run 2019, Ai menempati podium ketiga untuk kelas half marathon dengan catatan waktu 1 jam 35 menit dan 49 detik.
Sementara Ai berprestasi di ajang tarkam, AMTC juga turut mengirimkan enam atlet binaannya dalam Kejuaraan Nasional Atletik U-18, U-20 dan Senior 2019 di Pakansari, Bogor, 1-7 Agustus, mewakili daerah masing-masing.
Tiga dari enam atlet AMTC berhasil membawa pulang medali, yakni Mahdang meraih perunggu nomor 1.500 meter putra senior mewakili Gorontalo, Novia Nur Nirwani (DKI Jakarta) mengantongi perak 800 meter dan perak 1.500 meter putri senior serta Veronica Aileen memperoleh perunggu nomor halang rintang 2.000 meter putri U-18.
Prestasi-prestasi itu tentu saja menjadi titik cerah bagi masa depan lari jarak jauh dan menengah Indonesia. Sebab, laiknya "penyakit" prestasi dan mimpi adalah sesuatu yang menular.
Kini, Agung membina sekira 60 atlet lari jarak jauh dan menengah di Pangalengan dalam AMTC yang telah menggandeng Athletica Talent, yang membantu Agung memberdayakan atlet-atlet binaan dengan hal-hal di luar keolahragaan seperti kemampuan berkomunikasi maupun entrepreneurship.
Agung, AMTC dan Athletica Talent tentu tak boleh sendirian merawat bakat-bakat masa depan lari dari Pangalengan. Mengingat Agung sebagian besar merogoh koceknya sendiri untuk keperluan operasional AMTC, kini pihaknya juga membuka penggalangan dana lewat laman kitabisa.com/amtcpangalengan.
Sebab bermimpi untuk berprestasi di dunia lari jarak jauh dan menengah adalah hak tiap anak bangsa Indonesia, termasuk putra putri asli Pangalengan.