Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat mengusulkan rancangan peraturan daerah inisiatif terkait dengan kedaruratan baik pakan maupun bibit ayam (indukan) petelur yang belum terpenuhi dengan baik.
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat, Didi Sukardi, Selasa, mengatakan usulan perda inisiatif tersebut digagas seusai pihaknya melakukan Paguyuban Peternak Ayam Petelur Ciamis, di Kabupaten Ciamis, Senin (8/4).
Didi mengatakan pihaknya juga mendorong Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat untukm mengelola kebutuhan peternakan di Jawa Barat.
Pasalnya, saat ini Peternak Ayam Petelur mengeluhkan produktivitas ayam petelur yang baru mencapai 50 persen hingga 60 persen.
"Bahkan untuk memenuhi kekuranganya harus mendatangkan dari luar provinsi sebagai dampak dari ketergantungan peternak terhadap jagung impor yang ketersediaannya pun masih minim," kata dia.
Selain itu, lanjut Didi, Kabupaten Ciamis berpotensi menjadi penghasil peternak/unggas.
"Kita dari komisi II akan segera menindaklanjuti masalah ini dengan cara akan mengumpulkan tiga element yaitu dinas peternakan, dinas kesehatan, Himpunan Peternak Unggas, biar semua keluar tuh unek-unek nya nanti hasilnya kita bisa rekomendasikan," ujar Didi.
Dia mengatakan Provinsi Jawa Barat, khususnya Ciamis terkenal sebagai salah satu sentra penghasil jagung.
Kondisi ini juga diperparah dengan menurunnya harga ayam afkir yang hingga saat ini menyentuh kisaran Rp6.000/kg atau turun 40 persen dari sebelumnya.
"Kedepannya jangan sampai apabila sektor ini lumpuh karena melonjaknya harga jagung yang permanen. Bisa diperkirakan para peternak skala kecil lebih memilih untuk mengosongkan kandangnya dan mencari alternatif usaha lain," kata dia.
Didi menambahkan, dalam kondisi seperti itu bisa diprediksi akan meningkatkan angka pengangguran. Padahal populasi peternak kecil yang mencapai 70 persen itu, justru memiliki kontribusi besar pada produksi telur.
Dari peran mereka pula Ciamis ini berperan sebagai pemasok 30 persen kebutuhan telur nasional.
"Bila tidak ada instansi atau pihak terkait yang memberikan solusi ataupun kebijakan dengan segera maka dapat saja terjadi klimaks, di mana komoditi telur menjadi langka karena penurunan populasi yang signifikan," katanya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Peternak Ayam Petelur Ciamis (P2APC) Ade Kusnadi menyebutkan, kenaikan harga telur dipicu melonjaknya harga pakan yang dipengaruhi nilai tukar rupiah.
Selain itu, kata Ade, adanya kebijakan pemerintah pembatasan bibit ayam atau DOC.
"Faktor yang memengaruhi tingginya harga telur cukup banyak. Jadi penawaran dengan permintaan tidak seimbang. Kebijakan pengurangan 9,5 persen DOC beberapa waktu lalu. Populasi ayam petelur berkurang," kata dia.
Baca juga: Ketua DPRD Jabar singgung masalah lingkungan hidup di Musrembang
Baca juga: Legislator: BPSK kurang dilihat oleh masyarakat
Baca juga: DPRD Jabar: Kota Depok kekurangan ruang kelas baru
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Jawa Barat, Didi Sukardi, Selasa, mengatakan usulan perda inisiatif tersebut digagas seusai pihaknya melakukan Paguyuban Peternak Ayam Petelur Ciamis, di Kabupaten Ciamis, Senin (8/4).
Didi mengatakan pihaknya juga mendorong Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat untukm mengelola kebutuhan peternakan di Jawa Barat.
Pasalnya, saat ini Peternak Ayam Petelur mengeluhkan produktivitas ayam petelur yang baru mencapai 50 persen hingga 60 persen.
"Bahkan untuk memenuhi kekuranganya harus mendatangkan dari luar provinsi sebagai dampak dari ketergantungan peternak terhadap jagung impor yang ketersediaannya pun masih minim," kata dia.
Selain itu, lanjut Didi, Kabupaten Ciamis berpotensi menjadi penghasil peternak/unggas.
"Kita dari komisi II akan segera menindaklanjuti masalah ini dengan cara akan mengumpulkan tiga element yaitu dinas peternakan, dinas kesehatan, Himpunan Peternak Unggas, biar semua keluar tuh unek-unek nya nanti hasilnya kita bisa rekomendasikan," ujar Didi.
Dia mengatakan Provinsi Jawa Barat, khususnya Ciamis terkenal sebagai salah satu sentra penghasil jagung.
Kondisi ini juga diperparah dengan menurunnya harga ayam afkir yang hingga saat ini menyentuh kisaran Rp6.000/kg atau turun 40 persen dari sebelumnya.
"Kedepannya jangan sampai apabila sektor ini lumpuh karena melonjaknya harga jagung yang permanen. Bisa diperkirakan para peternak skala kecil lebih memilih untuk mengosongkan kandangnya dan mencari alternatif usaha lain," kata dia.
Didi menambahkan, dalam kondisi seperti itu bisa diprediksi akan meningkatkan angka pengangguran. Padahal populasi peternak kecil yang mencapai 70 persen itu, justru memiliki kontribusi besar pada produksi telur.
Dari peran mereka pula Ciamis ini berperan sebagai pemasok 30 persen kebutuhan telur nasional.
"Bila tidak ada instansi atau pihak terkait yang memberikan solusi ataupun kebijakan dengan segera maka dapat saja terjadi klimaks, di mana komoditi telur menjadi langka karena penurunan populasi yang signifikan," katanya.
Sementara itu, Ketua Paguyuban Peternak Ayam Petelur Ciamis (P2APC) Ade Kusnadi menyebutkan, kenaikan harga telur dipicu melonjaknya harga pakan yang dipengaruhi nilai tukar rupiah.
Selain itu, kata Ade, adanya kebijakan pemerintah pembatasan bibit ayam atau DOC.
"Faktor yang memengaruhi tingginya harga telur cukup banyak. Jadi penawaran dengan permintaan tidak seimbang. Kebijakan pengurangan 9,5 persen DOC beberapa waktu lalu. Populasi ayam petelur berkurang," kata dia.
Baca juga: Ketua DPRD Jabar singgung masalah lingkungan hidup di Musrembang
Baca juga: Legislator: BPSK kurang dilihat oleh masyarakat
Baca juga: DPRD Jabar: Kota Depok kekurangan ruang kelas baru
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019