Bandung (Antaranews Jabar) - Ketua Program Manajemen Keuangan Mikro Terpadu (MKmT) Universitas Padjadjaran Arief Helmi mengatakan bahwa konteks sosial perlu diperhatikan sebelum teknologi keuangan seperti fintech diterapkan pada transaksi keuangan mikro.
"Jadi pemanfaatan teknologi untuk ?transaksi keuangan mikro seperti fintech tidak hanya fokus pada efisiensi teknis dan operasional sebagaimana yang seringkali dijadikan andalan namun juga dalam konteks sosial saat teknologi akan dipergunakan," kata Arief Helmi, di Bandung, Rabu.
Dia mengatakan institusi keuangan mikro, yang menjadi salah satu ujung tombak pembangunan dan pengentasan kemiskinan, diharapkan kembali fokus pada penanggulangan kemiskinan dengan tanpa mengabaikan pemberdayaan komunitas dan pengetahuan lokal.
"Termasuk mempertimbangkan karakteristik masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemanfaatan kemajuan teknologi untuk efisiensi transaksi keuangan mikro seperti fintech diharapkan tidak hanya fokus pada efisiensi teknis dan operasional sebagaimana yang seringkali dijadikan andalan.
Arief mengatakan pemanfaatan teknologi di dalam setiap lini kehidupan pada era Revolusi Industri 4.0 menjadi suatu keniscayaan, terutama pada sektor keuangan, bisnis, dan pembangunan.
Akan tetapi, lanjut untuk dapat meningkatkan inklusi keuangan masyarakat, khususnya pada masyarakat miskin, penggunaan teknologi perlu mempertimbangkan kondisi kultural yang melingkupinya.
Dia menambahkan semua hal yang diutarakan tersebut juga menjadi pembahasan dalam Seminar Intertional Integrated Microfinance Management (IMM) yang mengambil tema "IMM on 4.0 Industrial Revolution" yang diadakam oleh Program Manajemen Keuangan Mikro Terpadu (MKmT), Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Universitiet Leiden, Belanda, di Unpad beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan kegiatan yang merupakan inisiatif dari mahasiswa tersebut merupakan salah satu cara untuk meyakinkan agar jangan sampai ada masyarakat yang tertinggal pada era Revolusi Industri 4.0.
Pasalnya hanya sedikit masyarakat miskin yang tersentuh dengan teknologi informasi, sedangkan pada era Revolusi Industri 4.0 aspek teknologi informasi menjadi tumpuan utama.
"Sehingga kita mencoba mendiskusikan bagaimana agar kemajuan teknologi tidak meninggalkan masyarakat miskin menjadi tidak tertolong sema sekali," ujarnya.
Pada acara tersebut hadir juga pembicara Direktur Leiden Ethnosystem And Development (LEAD) Programme LJ Slikkerveer, CEO Kuelap, perusahaan konsultan IT microfinance institution berbasis di Seattle, Craig Chelius, Director Innovation and Partnership Kuelap Luisa Martinez serta Ketua Pengurus Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) Slamet Riyadi.
Ketua Pengurus Komida Slamet Riyadi mengatakan Komida fokus pada pemberdayaan perempuan miskin.
Untuk itu, kata dia, Komida tidak hanya sebatas membagikan uang tetapi juga meningkatkan kapasitas dari peminjam dan meningkatkan pendidikan dari anggotanya.
Di dalam menyalurkan pinjaman, pihaknya tidak mensyaratkan collateral, tanpa fotokopi KTP, dan tidak pula menggunakan kontrak tertulis meski tidak mensyaratkan jaminan, angka NPL hampir nol persen dan hanya 0,3 persen nasabah yang terlambat melakukan pembayaran.
"Di dalam operasionalnya, kami masih mengandalkan transaksi tunai dan pertemuan tatap muka. Alasannya, mayoritas perempuan miskin yang menjadi fokus Komida tidak memiliki ponsel pintar," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018
"Jadi pemanfaatan teknologi untuk ?transaksi keuangan mikro seperti fintech tidak hanya fokus pada efisiensi teknis dan operasional sebagaimana yang seringkali dijadikan andalan namun juga dalam konteks sosial saat teknologi akan dipergunakan," kata Arief Helmi, di Bandung, Rabu.
Dia mengatakan institusi keuangan mikro, yang menjadi salah satu ujung tombak pembangunan dan pengentasan kemiskinan, diharapkan kembali fokus pada penanggulangan kemiskinan dengan tanpa mengabaikan pemberdayaan komunitas dan pengetahuan lokal.
"Termasuk mempertimbangkan karakteristik masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan," kata dia.
Oleh karena itu, lanjut dia, pemanfaatan kemajuan teknologi untuk efisiensi transaksi keuangan mikro seperti fintech diharapkan tidak hanya fokus pada efisiensi teknis dan operasional sebagaimana yang seringkali dijadikan andalan.
Arief mengatakan pemanfaatan teknologi di dalam setiap lini kehidupan pada era Revolusi Industri 4.0 menjadi suatu keniscayaan, terutama pada sektor keuangan, bisnis, dan pembangunan.
Akan tetapi, lanjut untuk dapat meningkatkan inklusi keuangan masyarakat, khususnya pada masyarakat miskin, penggunaan teknologi perlu mempertimbangkan kondisi kultural yang melingkupinya.
Dia menambahkan semua hal yang diutarakan tersebut juga menjadi pembahasan dalam Seminar Intertional Integrated Microfinance Management (IMM) yang mengambil tema "IMM on 4.0 Industrial Revolution" yang diadakam oleh Program Manajemen Keuangan Mikro Terpadu (MKmT), Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Universitiet Leiden, Belanda, di Unpad beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan kegiatan yang merupakan inisiatif dari mahasiswa tersebut merupakan salah satu cara untuk meyakinkan agar jangan sampai ada masyarakat yang tertinggal pada era Revolusi Industri 4.0.
Pasalnya hanya sedikit masyarakat miskin yang tersentuh dengan teknologi informasi, sedangkan pada era Revolusi Industri 4.0 aspek teknologi informasi menjadi tumpuan utama.
"Sehingga kita mencoba mendiskusikan bagaimana agar kemajuan teknologi tidak meninggalkan masyarakat miskin menjadi tidak tertolong sema sekali," ujarnya.
Pada acara tersebut hadir juga pembicara Direktur Leiden Ethnosystem And Development (LEAD) Programme LJ Slikkerveer, CEO Kuelap, perusahaan konsultan IT microfinance institution berbasis di Seattle, Craig Chelius, Director Innovation and Partnership Kuelap Luisa Martinez serta Ketua Pengurus Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) Slamet Riyadi.
Ketua Pengurus Komida Slamet Riyadi mengatakan Komida fokus pada pemberdayaan perempuan miskin.
Untuk itu, kata dia, Komida tidak hanya sebatas membagikan uang tetapi juga meningkatkan kapasitas dari peminjam dan meningkatkan pendidikan dari anggotanya.
Di dalam menyalurkan pinjaman, pihaknya tidak mensyaratkan collateral, tanpa fotokopi KTP, dan tidak pula menggunakan kontrak tertulis meski tidak mensyaratkan jaminan, angka NPL hampir nol persen dan hanya 0,3 persen nasabah yang terlambat melakukan pembayaran.
"Di dalam operasionalnya, kami masih mengandalkan transaksi tunai dan pertemuan tatap muka. Alasannya, mayoritas perempuan miskin yang menjadi fokus Komida tidak memiliki ponsel pintar," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018