Bandung (Antaranews Jabar) - Kelurahan Sukaasih, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, memanfaatkan belatung dari lalat tentara hitam (Hermetia illucens atau black soldier flies) untuk mengurai sampah organik.
"Kami mengembangkan metode ini baru tiga bulan berjalan. Tujuan utamanya untuk bisa mengurai sampah rumah tangga khususnya sampah organik," ujar Lurah Sukaasih, Ade Rahayu, Jumat.
Ade mengatakan, pemanfaatan belatung ini sangat efektif dalam menekan jumlah produksi sampah rumah tangga di kawasan Sukaasih. Belatung bisa mengurai sampah organik 80 sampai 150 kilogram per hari.
Sampah-sampah yang telah diurai akan menjadi residu. Residu tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang memiliki tingkat penyuburan tinggi bagi tanah.
Tak hanya itu, belatung yang memasuki usia dewasa atau 18 hari bisa dijadikan sebagai pakan ternak dengan protein tinggi.
"Manfaatnya banyak, selain mengurangi sampah bisa juga jadi pupuk. Sampah-sampah yang dimakan magot juga jadi pakan. Kita `jadiin` pakan lele," kata dia.
Ia menjelaskan, pengembangan pengurai sampai dengan lalat tentara hitam ini dimulai pada Maret lalu dengan menggunakan dana Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan Kewilayahan (PIPPK) Kota Bandung.
Namun pada Agustus pemanfaatan belatung mulai serius ditekuni di Sukaasih setelah bekerja sama dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Kalau tiap kelurahan di Kota Bandung berpikir seperti kami, Insya Allah masalah sampah di Kota Bandung akan teratasi," kata dia.
Pemanfaatan belatung ini pertama kali digagas warga bernama Agus Hermawan yang juga menjabat sebagai Bendahara Peguyuban Pegiat Magot (PPM) Jawa Barat.
Agus memiliki konsep tersebut ketika ia bekerja di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung. Perjalanan pengembangan lalat hitam ini bukan tanpa mengalami hambatan.
Ia menceritakan, pada 2013 ingin mencoba menyelesaikan masalah sampah organik melalui belatung. Namun, masyarakat masih menganggap motede itu menjijikan sehingga ia harus bekerja keras untuk meyakinkan mereka.
Pada 2018, ia kemudian menawarkan konsepnya kepada Lurah Sukaasih dan mendapat respons baik. Barulah pada Agustus pemanfaatan belatung mulai berjalan.
"Jijiknya itu yang saya pikirkan, tapi kata Pak Rahmat (peneliti ITB) belatung jenis serangga ini `ga` (tidak) jijik `ga` bau, justru menghasilkan disinfektan. Saya beranikan diri dan akhirnya seperti inilah," kata dia.
Iapun menjelaskan fase hidup dan pemanfaatan belatung dari lalat tentara hitam ini. Jenis lalat tersebut merupakan spesies yang sulit ditemukan terutama di wilayah perkotaan.
Agus menyebutnya dengan istilah mancing. Ia memasang kaleng bekas cat yang disimpan di atas pohon yang diisi sampah organik. Butuh waktu seminggu untuk bisa menangkap lalat tersebut.
Setelah lalat berkembang biak, telur disimpan ke dalam wadah khusus agar bisa menetas menjadi larva/belatung. Ketika menetas, belatung tersebut disimpan ke rak panjang yang diisi berbagai sampah organik.
"Fase hidup belatung hanya bertahan 18 hari untuk bermetamorfosis menjadi lalat. Nah sebagian belatung yang berusia 18 hari atau pupa bisa dijadiin pakan atau kembangin ke lalat, jadi fasenya terus berputar," kata dia.
Setelah jadi lalat, waktu hidupnya relatif singkat. Kurang lebih 10 hari. Seusai perkawinan, lalat jantan akan mati.
"Lalat ini berbeda dengan lalat rumah (lalat buah) dan lalat hijau. Manfaatnya banyak, `cuman` banyak yang tidak tahu karena merasa jijik," kata dia.
Hasil dari usaha ini kini mulai mendapat respons positif dari masyarakat. Setiap pagi dan sore hari mereka selalu membawa sampah organik ke PPM yang memafaatkan sebuah gang kecil yang biasa dijadikan pembuangan bekas bangunan.
Ia berharap apa yang sudah dilakukannya, dapat diikuti oleh kelurahan-kelurahan lainnya.
Menurutnya, pengembangan ini bisa dimanfaatkan sebagai bisnis. Bahkan saat ini banyak para peternak yang memesan pupa untuk dijadikan pakan.
"Sudah banyak yang minta tapi fokus saya bagaimana Sukaasih nol sampah," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018
"Kami mengembangkan metode ini baru tiga bulan berjalan. Tujuan utamanya untuk bisa mengurai sampah rumah tangga khususnya sampah organik," ujar Lurah Sukaasih, Ade Rahayu, Jumat.
Ade mengatakan, pemanfaatan belatung ini sangat efektif dalam menekan jumlah produksi sampah rumah tangga di kawasan Sukaasih. Belatung bisa mengurai sampah organik 80 sampai 150 kilogram per hari.
Sampah-sampah yang telah diurai akan menjadi residu. Residu tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang memiliki tingkat penyuburan tinggi bagi tanah.
Tak hanya itu, belatung yang memasuki usia dewasa atau 18 hari bisa dijadikan sebagai pakan ternak dengan protein tinggi.
"Manfaatnya banyak, selain mengurangi sampah bisa juga jadi pupuk. Sampah-sampah yang dimakan magot juga jadi pakan. Kita `jadiin` pakan lele," kata dia.
Ia menjelaskan, pengembangan pengurai sampai dengan lalat tentara hitam ini dimulai pada Maret lalu dengan menggunakan dana Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Program Inovasi Pembangunan dan Pemberdayaan Kewilayahan (PIPPK) Kota Bandung.
Namun pada Agustus pemanfaatan belatung mulai serius ditekuni di Sukaasih setelah bekerja sama dengan peneliti di Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Kalau tiap kelurahan di Kota Bandung berpikir seperti kami, Insya Allah masalah sampah di Kota Bandung akan teratasi," kata dia.
Pemanfaatan belatung ini pertama kali digagas warga bernama Agus Hermawan yang juga menjabat sebagai Bendahara Peguyuban Pegiat Magot (PPM) Jawa Barat.
Agus memiliki konsep tersebut ketika ia bekerja di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung. Perjalanan pengembangan lalat hitam ini bukan tanpa mengalami hambatan.
Ia menceritakan, pada 2013 ingin mencoba menyelesaikan masalah sampah organik melalui belatung. Namun, masyarakat masih menganggap motede itu menjijikan sehingga ia harus bekerja keras untuk meyakinkan mereka.
Pada 2018, ia kemudian menawarkan konsepnya kepada Lurah Sukaasih dan mendapat respons baik. Barulah pada Agustus pemanfaatan belatung mulai berjalan.
"Jijiknya itu yang saya pikirkan, tapi kata Pak Rahmat (peneliti ITB) belatung jenis serangga ini `ga` (tidak) jijik `ga` bau, justru menghasilkan disinfektan. Saya beranikan diri dan akhirnya seperti inilah," kata dia.
Iapun menjelaskan fase hidup dan pemanfaatan belatung dari lalat tentara hitam ini. Jenis lalat tersebut merupakan spesies yang sulit ditemukan terutama di wilayah perkotaan.
Agus menyebutnya dengan istilah mancing. Ia memasang kaleng bekas cat yang disimpan di atas pohon yang diisi sampah organik. Butuh waktu seminggu untuk bisa menangkap lalat tersebut.
Setelah lalat berkembang biak, telur disimpan ke dalam wadah khusus agar bisa menetas menjadi larva/belatung. Ketika menetas, belatung tersebut disimpan ke rak panjang yang diisi berbagai sampah organik.
"Fase hidup belatung hanya bertahan 18 hari untuk bermetamorfosis menjadi lalat. Nah sebagian belatung yang berusia 18 hari atau pupa bisa dijadiin pakan atau kembangin ke lalat, jadi fasenya terus berputar," kata dia.
Setelah jadi lalat, waktu hidupnya relatif singkat. Kurang lebih 10 hari. Seusai perkawinan, lalat jantan akan mati.
"Lalat ini berbeda dengan lalat rumah (lalat buah) dan lalat hijau. Manfaatnya banyak, `cuman` banyak yang tidak tahu karena merasa jijik," kata dia.
Hasil dari usaha ini kini mulai mendapat respons positif dari masyarakat. Setiap pagi dan sore hari mereka selalu membawa sampah organik ke PPM yang memafaatkan sebuah gang kecil yang biasa dijadikan pembuangan bekas bangunan.
Ia berharap apa yang sudah dilakukannya, dapat diikuti oleh kelurahan-kelurahan lainnya.
Menurutnya, pengembangan ini bisa dimanfaatkan sebagai bisnis. Bahkan saat ini banyak para peternak yang memesan pupa untuk dijadikan pakan.
"Sudah banyak yang minta tapi fokus saya bagaimana Sukaasih nol sampah," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018