Bandung (Antaranews Jabar) - Pakar trasportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Soni Sulaksono Wibowo mengatakan pendekatan sosial oleh satuan perangkat pemerintahan tingkat terkecil seperti desa atau kelurahan bisa mencegah konflik antara ojek pangkalan dengan ojek online.
"Pendekatan yang paling mungkin terkait masalah ojol (ojek online) dengan opang (ojek pangkalan) ini adalah lebih kepada pendekatan sosial. Di sini lah peran dari pemerintah dalam lingkup lebih kecil seperti desa, kelurahan atau kecamatan untuk mengatasinya pembagian wilayah tersebut," kata Soni S Wibowo, di Bandung, Sabtu.
Sebelumnya, pada Jumat (27/7) malam bentrokan terjadi antara ojek online dengan ojek pangkalan di Jalan Raya Cikoneng, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Hal tersebut terjadi akibat buntut dari pemukulan pengemudi ojek online atau dalam jaringan/daring oleh oknum ojek pangkalan di Bojongsoang, pada Kamis, (26/7).
Menurut Soni, salah satu akar masalah terjadinya konflik antara pengemudi ojek online dengan ojek pangkalan itu adalah mereka tidak mau berbagai wilayah.
"Kalau kita kembali ke akar masalahnya, itu karena pihak ojek online dengan ojek pangkalan tidak mau berbagi wilayah atau lahan istilahnya. Jadi ada yang merasa opang ini wilayah saya. Kemudian ojol masuk ke wilayah opang itu sah saja sebenarnya," katanya.
Ia menuturkan saat ini masalah antara pengemudi ojek online dengan ojek pangkalan lebih banyak ke konflik sosial sehingga pemerintah harus bisa menengahi dari aspek sosialnya.
"Pemerintah harus bisa menengahi dari sisi sosial dan kalau mau pakai payung hukum itu agak susah karena itu bukan angkutan umum dan tidak diatur regulasinya," katanya.
Dia mengatakan sistem zonasi tidak bisa digunakan untuk mengatasi masalah antara pengemudi ojek online dengan pangkalan.
"Jadi tidak bisa ojek itu menggunakan kotak-kotak wilayahnya karena bukan kerajaan-kerajaan wilayahnya. Opang tidak bisa memutuskan sepihak ini wilayahnya dan ojol juga seharusnya bisa ibaratnya permisi. Zonasi itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu seperti preman," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018
"Pendekatan yang paling mungkin terkait masalah ojol (ojek online) dengan opang (ojek pangkalan) ini adalah lebih kepada pendekatan sosial. Di sini lah peran dari pemerintah dalam lingkup lebih kecil seperti desa, kelurahan atau kecamatan untuk mengatasinya pembagian wilayah tersebut," kata Soni S Wibowo, di Bandung, Sabtu.
Sebelumnya, pada Jumat (27/7) malam bentrokan terjadi antara ojek online dengan ojek pangkalan di Jalan Raya Cikoneng, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Hal tersebut terjadi akibat buntut dari pemukulan pengemudi ojek online atau dalam jaringan/daring oleh oknum ojek pangkalan di Bojongsoang, pada Kamis, (26/7).
Menurut Soni, salah satu akar masalah terjadinya konflik antara pengemudi ojek online dengan ojek pangkalan itu adalah mereka tidak mau berbagai wilayah.
"Kalau kita kembali ke akar masalahnya, itu karena pihak ojek online dengan ojek pangkalan tidak mau berbagi wilayah atau lahan istilahnya. Jadi ada yang merasa opang ini wilayah saya. Kemudian ojol masuk ke wilayah opang itu sah saja sebenarnya," katanya.
Ia menuturkan saat ini masalah antara pengemudi ojek online dengan ojek pangkalan lebih banyak ke konflik sosial sehingga pemerintah harus bisa menengahi dari aspek sosialnya.
"Pemerintah harus bisa menengahi dari sisi sosial dan kalau mau pakai payung hukum itu agak susah karena itu bukan angkutan umum dan tidak diatur regulasinya," katanya.
Dia mengatakan sistem zonasi tidak bisa digunakan untuk mengatasi masalah antara pengemudi ojek online dengan pangkalan.
"Jadi tidak bisa ojek itu menggunakan kotak-kotak wilayahnya karena bukan kerajaan-kerajaan wilayahnya. Opang tidak bisa memutuskan sepihak ini wilayahnya dan ojol juga seharusnya bisa ibaratnya permisi. Zonasi itu dibuat oleh pihak-pihak tertentu seperti preman," kata dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018