Bendungan Walahar, di Kawarang, tetap berdiri tanpa gentar ketika usianya hampir seabad. Tidak banyak bendungan yang berfungsi terus-menerus selama itu, bekerja tanpa henti, siang dan malam, menghadapi pasang surut zaman.  
 

Bendungan Walahar merupakan warisan nusantara yang berdiri megah hampir seabad lamanya. Bendungan ini memiliki pintu-pintu air dari beton tebal dengan tuas besi orisinal, jembatan penghubung dengan pola balustrade klasik (struktur pagar yang terdiri atas tiang vertikal kecil). Juga punya ruang mesin dengan dinding lengkung yang menjadi saksi teknologi saat itu untuk mengelola aliran air.

Di tepian Sungai Citarum, di wilayah Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, bendungan dengan wajah kolonial itu terus mengalirkan air seperti menyalurkan nafas kehidupan bagi ribuan hektare sawah, industri, dan jutaan jiwa manusia.

Dibangun pada 1920 dan diresmikan pada 1925, bendungan selebar 50 meter ini dibuat bukan untuk gagah-gagahan. Bendungan ini diciptakan untuk sebuah misi, menaikkan muka air Sungai Citarum agar bisa mengaliri Karawang utara, lalu mengantar air itu menelusuri Induk Tarum Utara, sebagai urat nadi yang hingga kini terus menghidupi tanah sawah dan manusia-manusianya.

Di antara deru mesin tua dan riuh aliran sungai, Bendungan Walahar seperti museum yang masih bernyawa. Peralatannya, sebagian besar orisinal sejak masa kolonial, tetap bekerja dengan ritme yang tak pernah meleset. Ketangguhan itu bukan sulap, melainkan hasil tangan-tangan telaten para profesional Perum Jasa Tirta (PJT) II yang merawatnya dengan disiplin.

Air yang bersumber dari Bendungan Walahar itu mengaliri 174.276 hektare hamparan sawah di Karawang, salah satu daerah yang dikenal sebagai lumbung padi terbesar di Jawa Barat.

Tahun 2024, nilai panen yang bergantung pada irigasi yang bersumber dari air Bendungan Walahar diperkirakan mencapai Rp7,6 triliun. Jumlah itu bukan sekadar hitungan ekonomi. Itu adalah wujud rasa aman para petani ketika melihat padi mereka menunduk tanda siap dipanen.

Seiring perjalanan waktu, kini Bendungan Walahar juga menjadi sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di wilayah Karawang, memperluas maknanya dari sekadar pengairan menjadi penjamin kehidupan sehari-hari masyarakat.

Mungkin waktu berubah dan zaman berganti, tetapi Bendungan Walahar tetap berjalan dengan tekad yang sama. Di tengah meningkatnya kebutuhan air baku dan ketidakpastian iklim, PJT II menjaga agar bendungan ini tidak sekadar hidup, tetapi tetap tangguh.

Komunikasi intensif dengan petani, pengawasan lapangan setiap hari, hingga prosedur operasional yang nyaris tak berkurang ketelitiannya sejak awal berdiri, menjadi bukti bahwa merawat air adalah pekerjaan yang memerlukan kesetiaan.


Tak hanya sebagai penopang ketahanan pangan bangsa, dengan daya tarik perpaduan arsitektur Eropa dan Tionghoa, Bendungan Walahar juga mampu menarik wisatawan.

Setiap hari libur,  banyak pengunjung datang untuk memancing atau sekadar melepas penat sambil menikmati deburan air yang bersumber dari bendungan.

Alhasil, keberadaannya juga telah mampu menggerakkan perekonomian masyarakat setempat. Keberadaan warung-warung makan di sekitar Bendung Walahar menjadi bukti berputarnya roda perekonomian lokal yang riuh dan ramai.

Seratus tahun juga berarti Bendungan Walahar telah menjadi saksi teknologi yang terus berevolusi.

Kini, ia tak lagi hanya mengandalkan kecerdikan teknik masa lalu. PJT II memperkuatnya dengan pendekatan modern, salah satunya dengan Smart Water Operation Management (SWOM). Sebuah sistem digital yang memantau hidrologi secara real-time, membaca data seperti membaca bahasa air, dan membantu operator menentukan debit dengan akurasi yang mustahil dicapai satu abad lalu.

Dengan SWOM, pengelolaan air menjadi lebih presisi. Kekurangan air bisa dicegah di musim kemarau, dan limpahan air bisa dikendalikan pada musim hujan. Teknologi ini juga memberi PJT II kemampuan mendeteksi dini potensi gangguan operasional, membuat tiap tetes air yang keluar dari Walahar terasa seperti keputusan yang telah dipertimbangkan dengan bijaksana.

Dalam peringatan 100 tahun Walahar, Direktur Utama PJT II Imam Santoso menegaskan bahwa usia panjang Bendungan Walahar ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi tentang janji. Sebuah Janji untuk mengalirkan kehidupan selama satu abad.

Ia menyebutkan, teknologi tidak dimaksudkan untuk menggantikan manusia. Ia justru memperkuat peran petugas PJT II, memastikan publik mendapatkan air yang layak, bersih, dan cukup.


​​​​​​​

Di balik keberhasilan menjaga fungsi Bendungan Walahar selama satu abad, ada sinergi yang tak terlihat namun terasa. Sebuah sinergi antara pemerintah, kelompok tani, dan para operator lapangan yang bekerja dalam harmoni. Hubungan antara PJT II dan para petani bukan sekadar administrasi distribusi air. Itu adalah sebuah dialog panjang yang menentukan nasib musim tanam, agar areal sawah tetap hijau.

Ke depan, PJT II berupaya menjaga agar Bendungan Walahar tetap berdiri sebagai tulang punggung ketahanan pangan Jawa Barat. Mereka merawat orisinalitas mesin-mesin lamanya, sembari perlahan menautkannya dengan teknologi baru.

Perpaduan masa lalu dan masa depan itu diharapkan menjadi jembatan agar Walahar tidak hanya menjadi monumen sejarah, tetapi tetap menjadi sumber kehidupan. Sebab selama air mengalir, kehidupan akan selalu menemukan jalannya. 

 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Seabad Bendungan Walahar

Pewarta: M Ali Khumaini

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2025