Kadang Bandung Baheula punya kisah yang rasanya nyesek banget kalau dibaca hari ini. 

Kota yang sekarang identik dengan kuliner, healing, dan macet ramah wisatawan, dulu juga pernah menyimpan cerita getir di tikungan-tikungan jalannya. Di tahun 1925, sebuah persimpangan yang tampak biasa justru berubah jadi saksi bisu tragedi yang mengguncang banyak orang. 

Cerita berikut diambil persis dari koran Belanda De Indische Courant, 06-051925-tanpa ubahan sedikit pun-tentang sebuah kecelakaan fatal di jantung Bandung kala itu.

Kecelakaan Fatal.

Ketika sekolah dipulangkan pukul 13.00 pada hari Sabtu dan kantor SS tutup, persimpangan Javastraat-Pieterspark dan Javasch-Bank-Pieterspark sangat sibuk. Mobil, sepeda, pejalan kaki, dan pejalan kaki-semuanya melaju dan bertabrakan satu sama lain, dan ketika anak-anak sekolah berlari melewatinya, banyak orang menahan napas.

Saat kami dalam perjalanan pulang pada Sabtu sore, kami menyaksikan kejadian ini: Seorang petugas SS, Tn. D. Simon, sedang bersepeda melewati Pieterspark ketika sebuah mobil, yang datang dari persimpangan jalan, menabraknya. Sepedanya terlempar dari bawahnya, dan ia jatuh dengan bunyi gedebuk di bagian belakang kepala dan punggungnya, lalu tergeletak di tanah. 

Mobil yang berisi seorang wanita itu berhenti. Atas permintaan petugas SS, korban dibawa dengan mobil ke dokter terdekat. Rekan-rekan kerjanya akan merawat sepeda tersebut.

Ketika menanyakan kondisinya pada hari Minggu, kami mengetahui bahwa Tuan Simon telah meninggal dunia pagi itu. Beliau meninggalkan seorang istri dan empat anak, yang hampir tidak memiliki nafkah, karena sang janda tidak memenuhi syarat
untuk mendapatkan pensiun.

Perwakilan Serikat Pekerja Kereta Api hadir di pemakaman. Agaknya, serikat pekerja masih akan melakukan sesuatu untuk kerabat Simon yang masih hidup.

De Indische Courant, 06-051925


Begitulah sepotong kisah Bandung Baheula yang lebih kelam daripada yang biasa kita temui di buku sejarah. Di balik gedung-gedung lawas dan nama jalan yang terdengar romantis, ada tragedi manusia yang mengendap dan sering tak terdengar. 

Kisah Tuan Simon ini seperti pengingat halus bahwa kota yang kita cintai bukan hanya dibangun oleh arsitektur dan perkembangan ekonomi, tapi juga oleh jejak-jejak duka dari orang-orang biasa yang hidup di masanya.

Kalau Bandung hari ini terasa ramai dan sesak, mungkin sejak dulu pun ia memang sudah seperti itu-bedanya, dulu tidak ada trafik light, dashboard navigasi, atau rambu-rambu yang kita kenal sekarang. Yang ada hanya manusia-manusia yang berjuang tetap selamat di persimpangan hidupnya.

Pewarta: Bandung Baheula

Editor : Riza Fahriza


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2025