Suriah mungkin secara formal tetap menjadi negara kesatuan, namun secara de facto akan segera terpecah menjadi beberapa zona pengaruh yang dikendalikan oleh negara-negara asing.
Hal itu terjadi akibat kekosongan kekuasaan setelah penggulingan Presiden Bashar Assad, ujar Sekretaris Jenderal Gerakan Diplomasi Populer Suriah, Mahmoud Afandi kepada RIA Novosti.
"Kepergian Bashar Assad dan pemerintahannya menciptakan kekosongan politik yang besar. Banyak negara kini berupaya memasuki Suriah," kata Afandi.
"Ini berarti Suriah sebagai negara kesatuan tidak akan ada lagi, karena akan ada zona pengaruh dan pemerintahan yang berbeda. Menurut saya, Suriah seperti yang kita kenal (fisiknya) masih ada hingga saat ini, tetapi tidak lagi sama," kata Afandi.
Ia memprediksi bahwa negara tersebut akan terpecah menjadi beberapa bagian yang dikuasai oleh Turki di barat laut, Israel di selatan, serta Irak dan Yordania di timur."Masa depan tetap tidak pasti, tetapi negara seperti yang kita kenal sudah tidak ada lagi. Kita bisa melupakan kedaulatan Suriah selama 20 tahun ke depan," kata Afandi.
"Kita lihat saja apa yang akan terjadi. Kemarin, tentara Turki sebagian telah memasuki kota Aleppo. Ini berarti mereka jelas tidak akan meninggalkan wilayah itu," ujar Afandi.
Selama kepemimpinan Assad di Suriah, Gerakan Diplomasi Populer tidak memiliki perwakilan di parlemen, tetapi berpartisipasi dalam pembicaraan damai yang berbasis di Astana dan Jenewa.
Mohammed al-Bashir, yang sebelumnya memimpin pemerintahan di Idlib yang dibentuk oleh kelompok Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok oposisi lainnya, ditunjuk sebagai perdana menteri sementara.
Sumber: Sputnik-OANA
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024