Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai, kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 bakal berimbas pada tekanan daya beli kepada masyarakat.

"Karena perusahaan penyedia barang jasa, biasanya tidak mau menanggung PPN, sehingga jalan biasanya yang mereka ambil adalah mengalihkan beban kenaikan PPN ini ke konsumen dengan cara menaikkan harga," ujar Ronny saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Pengenaan pajak pada sejumlah barang berwujud yang meliputi elektronik, fesyen hingga otomotif, katanya, akan berdampak pada penjualan, hal ini juga berlaku untuk barang yang rutin dikonsumsi masyarakat.

Sementara kini, pemerintah belum memutuskan upah minimum provinsi (UMP) pada 2025. Ia pun berharap penetapan upah 2025 turut memperhatikan inflasi sebagai salah satu komponen dalam UMP.

Sebab, katanya, kenaikan harga barang dan jasa jika tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat maka akan semakin menekan permintaan terhadap produksi barang dan jasa serta berimbas dari sisi produksi.

"Kenaikan (PPN menjadi 12 persen) yang sedikit ini akan menambah tekanan daya beli kepada kelas menengah dan kelas menengah ke bawah yang memang pendapatannya sangat sangat tertekan dalam dua tahun terakhir sejak pasca pandemi," katanya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).




Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat nilai PPN 12 persen bisa menekan daya beli masyarakat

Pewarta: Sinta Ambarwati

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024