Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa pihaknya akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) apabila Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (RUU Pilkada) hingga 27 Agustus belum disahkan menjadi undang-undang.

Diketahui bahwa masa pendaftaran pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah pada tanggal 27—29 Agustus 2024.

"Kami tadinya memproduksi revisi menjadi undang-undang yang baru. Nah, seandainya dalam waktu pendaftaran itu undang-undang yang baru belum, ya berarti 'kan kami ikut keputusan yang terakhir, keputusan dari Mahkamah Konstitusi," kata Dasco di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

Dasco mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan rapat pimpinan (rapim) dan rapat badan musyawarah (bamus) untuk menjadwalkan ulang agenda persetujuan pengesahan RUU Pilkada usai Rapat Paripurna Ke-3 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023—2024 ditunda karena tidak memenuhi kuorum.

"Saya belum bisa ngomong bagaimana nanti yang pasti. 'Kan hari ini ditunda karena 'kan memang enggak kuorum. Prosesnya apakah lanjut atau tidak lanjut itu harus sesuai dengan mekanisme yang ada di DPR. Kami harus rapim lagi, harus Bamus lagi dan menyesuaikan hari paripurna di DPR," tuturnya.

Ia mengklaim bahwa RUU Pilkada yang bergulir di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sesuai dengan mekanisme dan tata aturan yang berlaku dalam melakukan pembahasan revisi.

Rapat Paripurna Ke-3 DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2023—2024 dengan agenda persetujuan bersama DPR RI dan Pemerintah terkait dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah menjadi undang-undang yang rencananya digelar pada Kamis pagi ini, batal digelar dan dijadwal ulang karena jumlah peserta rapat tidak penuhi kuorum.

Dasco mengatakan bahwa rapat paripurna itu hanya dihadiri 176 orang anggota DPR, yang terdiri atas 89 orang hadir secara fisik dan 87 orang izin tidak menghadiri secara langsung.

Sebelumnya, Rabu (21/8), Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.

Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada hari ini. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.

Partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.

Meski demikian, DPR RI dan Pemerintah menepis tudingan telah menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan ambang batas pencalonan partai politik untuk mengusung calon pada pilkada melalui revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang disetujui dalam Pembicaraan Tingkat I pada hari Rabu (21/8).
 
Sementara itu,  Peneliti The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Christina Clarissa Intania menyerukan bahwa rakyat berhak marah atas ketidakpatuhan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat batas usia calon kepala daerah, dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon.

“Masyarakat mulai jenuh dengan penyalahgunaan-penyalahgunaan proses legislasi yang tidak mencerminkan kepentingan umum, mengesampingkan demokrasi, serta memanipulasi hukum dan kebijakan, yang dilakukan oleh para elit politik, termasuk pemerintah, partai politik, lembaga peradilan, maupun lembaga perwakilan rakyat dan penyelenggara pemilu," kata Christina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

"Putusan MK yang final dan mengikat saja tidak ditaati, tentu saja masyarakat menjadi geram dan memilih untuk terjun langsung ke lapangan,” sambungnya.

Adapun pada hari ini akan dilaksanakan demonstrasi oleh masyarakat sipil yang berpusat di depan Kantor DPR RI.

Demonstrasi ini ditujukan sebagai kritik atas akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang tidak mengakomodir hasil Putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah sebelumnya.

Christina mengingatkan bahwa demonstrasi adalah bentuk hak konstitusional warga negara Indonesia untuk berekspresi dan berpendapat yang harus dijamin dan dilindungi.
Untuk itu, segala bentuk kekerasan yang dilakukan pada masyarakat sipil peserta demo harus dicegah dan tidak dapat diterima.

"Belajar dari demonstrasi-demonstrasi bersejarah di masa sebelumnya, penting untuk memastikan bahwa korban luka dan korban jiwa harus dicegah dalam demonstrasi kali ini," ujar Christina.

Selain itu, dia berharap aparat keamanan dapat mengamankan kantor DPR dan menjaga keamanan demonstrasi sesuai pada porsinya.

Aparat keamanan juga perlu bisa membedakan mana usaha penjagaan keamanan, mana yang sudah mencelakakan masyarakat sipil dan melanggar hak asasinya untuk tidak disiksa.

Apabila terjadi penangkapan harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum acara yang berlaku dan tetap mengedepankan hak asasi dari demonstran yang ditahan. Bantuan hukum tetap harus bisa diakses oleh siapa pun yang ditahan.

"Demokrasi kita sudah di ambang batas, jangan sampai akses keadilan dan kebebasan berekspresi, maupun kebebasan sipil juga dihilangkan," pungkasnya.

Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR terdekat guna disahkan menjadi undang-undang.

Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada hari ini. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.

Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah ketentuan ambang batas pencalonan pilkada dengan memberlakukannya hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD.

Partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.

Saat ini khusus di Jakarta, PDI Perjuangan menjadi satu-satunya partai politik yang tidak memiliki rekan koalisi karena partai politik lainnya bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung pasangan Ridwan Kamil dan Suswono pada Pilkada 2024.

Baca juga: F-PDIP: Pembahasan materi muatan RUU Pilkada cacat 
Baca juga: Pakar: Semua pihak harus ikuti putusan MK terkait pilkada
Baca juga: Menko Polhukam minta Sentra Gakkumdu kenali karakter kerawanan pilkada
 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: DPR akan ikuti putusan MK jika RUU Pilkada hingga 27 Agustus belum sah

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024