Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengimbau masyarakat melakukan vaksinasi difteri secara lengkap guna meminimalisasi gejala ditimbulkan penyakit difteri yang kasusnya sedang marak ditemukan di sejumlah daerah di Indonesia.

"Salah satu faktor risiko (difteri, red.) adalah orang yang tidak lengkap imunisasinya," kata Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kemenkes dr Ngabila Salama dalam gelar wicara terkait dengan difteri yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan penyakit difteri patut diwaspadai lantaran seseorang yang sehat dan tidak bergejala juga bisa menjadi pembawa bakteri difteri dan menularkan kepada orang lain.

Dia mengatakan vaksinasi harus dilakukan oleh mayoritas orang dalam satu kelompok tertentu, guna menciptakan kekebalan kelompok.

"Biasanya difteri lebih mudah terjadi pada daerah yang cakupan vaksinnya tidak tinggi dan tidak merata. Kenapa vaksin? karena vaksin melindungi diri kita dan orang di sekitar kita," ujar Ngabila yang juga Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta itu.

Kekebalan kelompok, kata dia, untuk melindungi kelompok yang memiliki imunitas rendah, seperti para lansia, ibu hamil, anak-anak, dan orang dengan komorbid.

Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat melakukan vaksinasi difteri sebagai langkah pencegahan pertama.

Setidaknya, katanya, vaksin difteri diberikan beberapa kali, masing-masing kepada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan, usia balita (18 bulan), saat menginjak kelas 2 dan 5 sekolah dasar (SD), serta vaksin penguat atau tambahan pada perempuan dengan usia produktif (15-39 tahun).
Vaksinasi difteri, salah satu di antara 15 jenis imunisasi yang gratis diberikan pemerintah kepada seluruh anak Indonesia guna mencegah penyakit pada masa mendatang.

"Imunisasi adalah cara mudah dan gratis untuk mencegah 30 penyakit menular dan wabah, dengan efektivitas di atas 95 persen," katanya.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan cara ampuh untuk memitigasi infeksi bakteri difteri dengan melakukan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) lengkap.

"Bisa dari awal kita lakukan imunisasi DPT dan itu harus lengkap imunisasi pertama, kedua, dan ketiga pada saat bayi," ujar Kepala Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis BRIN Harimat Hendarwan.

Ia mengatakan dengan mendapatkan imunisasi tersebut, potensi terinfeksi penyakit yang menyerang bagian tenggorokan ini dapat dicegah, terlebih apabila masyarakat juga telah mendapatkan vaksin penguat DPT selama 10 tahun sekali.


Penyebab Kematian

Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kemenkes dr Ngabila Salama mengatakan penyakit difteri dapat menyebabkan kematian dalam waktu 48-72 jam jika tidak ditangani secara serius.

"Prosesnya (difteri) cepat, kalau tidak diobati, dalam 49-72 jam bisa meninggal. Efektivitasnya bisa mencapai 50-70 persen. Artinya, lima sampai tujuh dari 10 orang yang terkena difteri bisa meninggal," katanya dalam gelar wicara terkait difteri yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.
Ngabila mengatakan difteri bergejala dengan membuat selaput putih di kerongkongan yang menyebabkan kelenjar getah bening membengkak, hingga menutupi jalur pernapasan dan menyebabkan seseorang dapat meninggal.

Dia menyebutkan difteri ditularkan melalui droplet atau percikan cairan tubuh, yang bisa ditularkan melalui bersin, batuk, dan air liur, yang kemudian masuk ke dalam tubuh melalui daerah yang terbuka seperti mata, hidung, dan mulut.

Gejala awal difteri, kata dia, seperti batuk dan pilek biasa, yang diikuti dengan demam. Adapun pada tahap selanjutnya, diikuti dengan sakit saat menelan dan nyeri tenggorokan.

"Kalau sudah stadium parah, maka terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan leher menyerupai leher banteng. Kalau sudah begitu, toksin sudah banyak, sehingga jalan napas tertutup dan meninggal," ujarnya.

Dalam penanganan difteri, kata Ngabila, tidak dapat dilakukan hanya dengan inkubasi atau isolasi secara mandiri seperti penyakit lainnya, karena selaput putih yang menutupi saluran pernapasan tersebut mudah berdarah. Sehingga penanganan dengan "melubangi" leher perlu dilakukan oleh dokter yang ahli di bidangnya untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Oleh sebab itu, sambungnya, tata laksana penanganan difteri berbeda dengan penyakit menular lainnya, di mana suspek difteri secara langsung tergolong sebagai pasien difteri, agar penanganan terhadap penyakitnya tidak terlambat.

"Demikian juga dengan orang di sekitarnya, segera setelah adanya suspek diberlakukan swab dengan kontak erat, pemberian antibiotik selama tujuh hari, dan melengkapi dosis imunisasi difterinya," tambahnya.

Untuk itu, Ngabila mengimbau kepada seluruh masyarakat jika menemukan seseorang dengan gejala tersebut agar melapor ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terdekat untuk pertolongan yang lebih cepat.





Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cegah dampak difteri, Kemenkes imbau warga lakukan vaksinasi lengkap

Pewarta: Sean Muhamad

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023