Dua warga Kabupaten Garut penjual jaket kulit yang menjadi korban hoaks sebagai pelaku penculikan anak di Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan, menemui anggota DPR RI Dedi Mulyadi.
“Kang Luki dan Mang Uep (warga Garut penjual jaket kulit yang menjadi korban hoaks sebagai pelaku penculikan anak) sudah berangkat perjalanan dua hari dari Musi Rawas Utara ke Garut, sampai di Purwakarta mampir dulu di Gerbang Tol Jatiluhur," kata Dedi, di Purwakarta, Sabtu.
Baca juga: Polrestabes Bandung minta warga tak terpengaruh isu penculikan anak di medsos
Sebenarnya ada lima warga Garut yang menjadi penjual jaket kulit yang menjadi korban hoaks sebagai pelaku penculikan anak itu. Namun tiga orang lainnya, sudah sampai Garut terlebih dahulu karena pulang satu hari sebelum Luki dan Uep.
Saat menemui Dedi, Luki dan Uep dalam kondisi sehat meski saat kejadian sempat dipukuli oleh massa yang menuduhnya sebagai pelaku penculikan anak.
“Kang Luki sudah melewati masa-masa berat dikepung warga, disangka penculik,” kata Dedi.
Luki bersyukur bisa selamat dari peristiwa tersebut. Ia pun berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah menyelamatkan dan menolong selama berada di Muratara.
Dalam pertemuan itu, Dedi mengajak Luki dan Uep makan bersama di salah satu restoran khas Purwakarta sambal berbincang mengenai detik-detik mencekam saat dikepung oleh massa.
Dedi juga sempat melihat kondisi mobil Grand Max milik Luki dan Uep yang ringsek, karena saat kejadian menjadi sasaran amukan massa. Selain merusak mobilnya, massa juga menjarah ratusan jaket kulit khas Garut yang semula akan dijual di Muratara.
Baca juga: Disdik Kota Bandung instruksikan sekolah waspadai penculikan anak
Sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Garut, Dedi memberikan pakaian baru untuk keduanya. Sebab keduanya sudah dua hari perjalanan menggunakan pakaian yang sama.
Tidak hanya itu, Luki pun mendapatkan hadiah spesial berupa topi putih yang selama ini digunakan oleh Dedi.
Selain itu Dedi Mulyadi juga memberikan sejumlah uang kepada keduanya untuk bekal pulang ke Garut.
Sementara itu Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Nathalina Naibaho mengatakan faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan anak.
"Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksual terhadap anak melalui child grooming adalah beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya kasus penculikan anak," kata Nathalina Naibaho di Kampus UI Depok, Sabtu.
Dikatakannya pada kasus kejahatan yang berulang, Nathalina melihat adanya persoalan resosialisasi pelaku tindak pidana sehingga dia kembali berurusan dengan sistem peradilan pidana. Ini dapat disebabkan oleh belum mampunya seorang pelaku melanjutkan kehidupan yang baru dengan pekerjaan yang lebih baik, sehingga perekonomiannya tetap sulit dan niat untuk melakukan hal yang salah muncul kembali.
Ia menjelaskan hukum di Indonesia mengatur penculikan dan kasus pelecehan terhadap anak. Dalam perspektif hukum, delik penculikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 328 dan Pasal 333.
Untuk korban anak, aturan yang diterapkan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2022 dan perubahannya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016).
"Jika dalam pemeriksaan kepolisian (yang dikuatkan hasil visum et repertum) ditemukan adanya indikasi perbuatan cabul atau kekerasan seksual, pasal lain dalam UU Perlindungan Anak akan diterapkan melalui lembaga gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP dan dapat memperberat ancaman pidana bagi pelaku," katanya.
Secara singkat, dasar hukum untuk kasus penculikan anak yang disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual adalah Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 jo Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 KUHP.
Dalam hal ini, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga, yaitu ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Korban berhak mendapat rehabilitasi, mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi, mengajukan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku, dan mengumumkan identitas terdakwa ke publik,” kata Nathalina.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dua warga Garut korban hoaks penculikan anak menemui Dedi Mulyadi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023
“Kang Luki dan Mang Uep (warga Garut penjual jaket kulit yang menjadi korban hoaks sebagai pelaku penculikan anak) sudah berangkat perjalanan dua hari dari Musi Rawas Utara ke Garut, sampai di Purwakarta mampir dulu di Gerbang Tol Jatiluhur," kata Dedi, di Purwakarta, Sabtu.
Baca juga: Polrestabes Bandung minta warga tak terpengaruh isu penculikan anak di medsos
Sebenarnya ada lima warga Garut yang menjadi penjual jaket kulit yang menjadi korban hoaks sebagai pelaku penculikan anak itu. Namun tiga orang lainnya, sudah sampai Garut terlebih dahulu karena pulang satu hari sebelum Luki dan Uep.
Saat menemui Dedi, Luki dan Uep dalam kondisi sehat meski saat kejadian sempat dipukuli oleh massa yang menuduhnya sebagai pelaku penculikan anak.
“Kang Luki sudah melewati masa-masa berat dikepung warga, disangka penculik,” kata Dedi.
Luki bersyukur bisa selamat dari peristiwa tersebut. Ia pun berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah menyelamatkan dan menolong selama berada di Muratara.
Dalam pertemuan itu, Dedi mengajak Luki dan Uep makan bersama di salah satu restoran khas Purwakarta sambal berbincang mengenai detik-detik mencekam saat dikepung oleh massa.
Dedi juga sempat melihat kondisi mobil Grand Max milik Luki dan Uep yang ringsek, karena saat kejadian menjadi sasaran amukan massa. Selain merusak mobilnya, massa juga menjarah ratusan jaket kulit khas Garut yang semula akan dijual di Muratara.
Baca juga: Disdik Kota Bandung instruksikan sekolah waspadai penculikan anak
Sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Garut, Dedi memberikan pakaian baru untuk keduanya. Sebab keduanya sudah dua hari perjalanan menggunakan pakaian yang sama.
Tidak hanya itu, Luki pun mendapatkan hadiah spesial berupa topi putih yang selama ini digunakan oleh Dedi.
Selain itu Dedi Mulyadi juga memberikan sejumlah uang kepada keduanya untuk bekal pulang ke Garut.
Sementara itu Pengajar Bidang Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Nathalina Naibaho mengatakan faktor ekonomi bukanlah satu-satunya alasan pendorong terjadinya kasus penculikan anak.
"Dendam terhadap keluarga korban, keinginan untuk menjadikan korban sebagai anak, serta eksploitasi seksual terhadap anak melalui child grooming adalah beberapa faktor lain yang mendorong terjadinya kasus penculikan anak," kata Nathalina Naibaho di Kampus UI Depok, Sabtu.
Dikatakannya pada kasus kejahatan yang berulang, Nathalina melihat adanya persoalan resosialisasi pelaku tindak pidana sehingga dia kembali berurusan dengan sistem peradilan pidana. Ini dapat disebabkan oleh belum mampunya seorang pelaku melanjutkan kehidupan yang baru dengan pekerjaan yang lebih baik, sehingga perekonomiannya tetap sulit dan niat untuk melakukan hal yang salah muncul kembali.
Ia menjelaskan hukum di Indonesia mengatur penculikan dan kasus pelecehan terhadap anak. Dalam perspektif hukum, delik penculikan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 328 dan Pasal 333.
Untuk korban anak, aturan yang diterapkan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2022 dan perubahannya dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016).
"Jika dalam pemeriksaan kepolisian (yang dikuatkan hasil visum et repertum) ditemukan adanya indikasi perbuatan cabul atau kekerasan seksual, pasal lain dalam UU Perlindungan Anak akan diterapkan melalui lembaga gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 KUHP dan dapat memperberat ancaman pidana bagi pelaku," katanya.
Secara singkat, dasar hukum untuk kasus penculikan anak yang disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual adalah Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 jo Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 KUHP.
Dalam hal ini, hukuman bagi pelaku ditambah sepertiga, yaitu ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Korban berhak mendapat rehabilitasi, mengajukan ganti rugi dalam bentuk restitusi, mengajukan pemasangan alat pendeteksi elektronik pada pelaku, dan mengumumkan identitas terdakwa ke publik,” kata Nathalina.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dua warga Garut korban hoaks penculikan anak menemui Dedi Mulyadi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023