Dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Dr Johanes Haryatmoko mengatakan cendekiawan Ahmad Syafii Maarif bukan hanya pemikir dengan gagasan-gagasan kritis, melainkan juga aktivis yang terus memperjuangkan agar Indonesia menjadi semakin adil, damai, dan menerima keberagaman.

"Maka, tidak mengherankan bahwa di dalam tulisannya, Buya Syafii tidak berhenti pada wacana teoritis, namun selalu resah memikirkan bagaimana tindak lanjutnya," ujar Romo Haryatmoko, sapaan akrab Johanes Haryatmoko, sebagaimana dikutip dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu.

Hal tersebut dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebinekaan dan Keadilan Sosial pada sesi diskusi ketiga bertajuk Al Quran, Pancasila dan Keadilan Sosial, di Kampus I Universitas Muhammad8iyah Surakarta (UMS), Jawa Tengah, Sabtu (12/11).

Pandangan senada disampaikan pula oleh narasumber lainnya, yakni Kepala Organisasi Riset Ilmu Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Dr Ahmad Najib Burhani.

Menurut Najib, sosok Buya Syafii dapat digambarkan dengan dua kata, yaitu humanisme dan moralitas.

Ia mengatakan Buya Syafii mengartikan humanisme dengan perlawanan terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Dalam konteks kehidupan di Indonesia, ujar dia lagi, Buya Syafii sering mengatakan bahwa sila kelima Pancasila belum diimplementasikan secara baik di Indonesia.

Untuk mengatasi persoalan itu, sebagaimana yang disampaikan oleh Koordinator Dialog dengan Muslim di Jesuit Conference of Asia Pacific Dr Gregorius Soetomo, Buya Syafii berpandangan bahwa sudah sepatutnya seorang Muslim mewujudkan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan Islam sebagai ajaran yang membumi dan memberikan efek sosial yang nyata, sehingga isu-isu dan permasalahan seperti ketidakadilan menjadi keprihatinan Islam.


Inspirasi Anak Muda

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr M Amin Abdullah mengatakan sosok cendekiawan Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii harus menjadi inspirasi bagi anak-anak muda di Tanah Air.

Menurut Prof Amin, sebagaimana dikutip dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu, anak-anak muda dapat menjadikan Buya Syafii sebagai inspirasi untuk melahirkan gagasan-gagasan kebangsaan yang kritis guna mencari solusi atas berbagai tantangan yang semakin kompleks pada saat ini, seperti konservatisme dalam dunia pendidikan Islam.

“Munculnya praktik konservatisme dan intoleransi di Indonesia di antaranya karena kurangnya tradisi literasi di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Kedua, disebabkan oleh pemahaman akan antifilsafat, dan ketiga penggunaan serta pendekatan terhadap pemahaman teks keagamaan yang tidak kaya, sehingga mendistorsi dari makna dan substansi dari beragama itu sendiri," ujar dia.

Hal tersebut dikemukakan oleh Prof Amin saat menjadi narasumber dalam kegiatan Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif: Islam, Kebinekaan, dan Keadilan Sosial pada sesi diskusi pertama bertajuk Inklusivitas, Kesetaraan, dan Persaudaraan Lintas Batas, di Kampus I Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo, Jawa Tengah, Sabtu (12/11).

Hal senada disampaikan pula oleh Koordinator Dialog dengan Muslim di Jesuit Conference of Asia Pacific Dr Gregorius Soetomo. Dalam kesempatan yang sama, pria yang akrab disapa Romo Greg itu menyoroti kekayaan pandangan keislaman Buya Syafii.

Ia menyampaikan sosok Buya Syafii memiliki pendapat bahwa Islam sebagai agama hanya akan memiliki dampak perubahan sosial apabila seorang Muslim memiliki pemahaman yang luwes terhadap Al Quran. Keluwesan itu, kata dia lagi, berarti seseorang dalam memahami Al Quran membutuhkan penjelasan sistematis dan terinci untuk menghindari kesalahpahaman.
“Islam, menurut Buya Syafii, harus senantiasa bersentuhan dengan realitas dan konteks masyarakat yang sedang berkembang. Islam bukan ajaran spiritual yang serba abstrak dan melulu hanya bicara tentang langit, melainkan menyampaikan ajaran yang membumi dan memberikan efek sosial yang nyata," kata Romo Greg.

Selanjutnya, dalam sesi diskusi yang kedua bertajuk Arabisme, Lokalitas, dan Kosmopolitanisme Islam, dosen Universitas Nasional Singapura Dr. Azhar Ibrahim menyampaikan bahwa isu-isu keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan yang selama ini disuarakan Buya Syafii, tidak hanya mewakili Indonesia.

Ia mengatakan isu-isu keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan yang disuarakan Buya Syafii juga sangat cocok dengan alam Melayu secara keseluruhan serta dapat pula disesuaikan kepada tuntutan zaman dan budaya setempat.

“Saya sendiri beruntung mengenali beliau, mendapat limpahan ilmu dan pengalaman yang sangat berharga”, kata Azhar.

Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang digelar oleh Maarif Institute ini, diikuti oleh 100 orang peserta dari berbagai daerah yang tersebar di seluruh Indonesia.

Mereka, di antaranya, terdiri atas peserta Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) periode tahun 2022, para peneliti muda yang merupakan alumni Program Maarif Fellowship dan alumni SKK-ASM, serta para kader intelektual dan aktivis lintas agama.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akademisi sebut Buya Syafii terus perjuangkan Indonesia semakin adil

Pewarta: Tri Meilani Ameliya

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022