Antarajawabarat.com,15/1 - Sebanyak 24 partai politik (parpol) nonparlemen yang tidak lolos verifikasi aktual menguji SK KPU No.05/Kpts/KPU/2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014 ke Mahkamah Agung.
"Surat permohonan terdaftar di MARI No.1.2013/HUM pada hari Senin (14/1)," kata Koordinator Tim Hukum Partai nonparlemen Dr. Suhardi Somomoeljono, S.H., M.H., di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, SK KPU tersebut diyakini pemohon cacat hukum secara absolut.
Uji materi SK itu, kata Suhardi, dalam pertimbangan diktum penetapan kelima menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainly) dan secara yuridis bentuk/format dari SK itu selalu mencantumkan klausul dalam diktum terakhirnya menyatakan SK dapat ditinjau kembali apabila terdapat kekeliruan.
Dia juga mengatakan bahwa SK KPU ini bertentangan dengan akal sehat (common sense), serta tidak memiliki nilai akademik.
"Di seluruh dunia ini tidak ada bentuk SK yang tidak dapat ditinjau oleh otoritas/pihak yang mengeluarkan SK, kecuali KPU Indonesia," katanya.
Suhardi juga menegaskan bahwa format SK KPU bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, sangat tendensius, dan mencolok sekali hanya bertujuan mencari kemenangan dalam rangka memburu kekuasaan yang dibungkus dengan asas legalistik.
"Ini sangat membahayakan nasib bangsa karena ini akibatnya sangat mengerikan, yakni dapat memicu timbulnya konflik horizontal yang sistemik dan meluas," katanya.
Ia mengemukakan bahwa 24 partai nonparlemen yang ditutup rapat-rapat melalui SK KPU tersebut bila tidak ada saluran hukum yang demokratis justru akan merugikan tujuan diselenggarakannya pemilu itu sendiri.
Suhardi juga mengatakan bahwa SK KPU tersebut juga bertentangan dengan pasal 5 UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU tersebut dengan tegas telah mengatur bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Pembentukan peraturan perundang-undanga yang baik meliputi, antara lain, kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasil gunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan , serta asas-asas yang lain yang tercantum dalam UU tersebut.
Suhardi berharap SK KPU tersebut dapat dicabut oleh MARI melalui uji materiil. ***2***
antara
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2013
"Surat permohonan terdaftar di MARI No.1.2013/HUM pada hari Senin (14/1)," kata Koordinator Tim Hukum Partai nonparlemen Dr. Suhardi Somomoeljono, S.H., M.H., di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, SK KPU tersebut diyakini pemohon cacat hukum secara absolut.
Uji materi SK itu, kata Suhardi, dalam pertimbangan diktum penetapan kelima menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil (fair legal uncertainly) dan secara yuridis bentuk/format dari SK itu selalu mencantumkan klausul dalam diktum terakhirnya menyatakan SK dapat ditinjau kembali apabila terdapat kekeliruan.
Dia juga mengatakan bahwa SK KPU ini bertentangan dengan akal sehat (common sense), serta tidak memiliki nilai akademik.
"Di seluruh dunia ini tidak ada bentuk SK yang tidak dapat ditinjau oleh otoritas/pihak yang mengeluarkan SK, kecuali KPU Indonesia," katanya.
Suhardi juga menegaskan bahwa format SK KPU bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, sangat tendensius, dan mencolok sekali hanya bertujuan mencari kemenangan dalam rangka memburu kekuasaan yang dibungkus dengan asas legalistik.
"Ini sangat membahayakan nasib bangsa karena ini akibatnya sangat mengerikan, yakni dapat memicu timbulnya konflik horizontal yang sistemik dan meluas," katanya.
Ia mengemukakan bahwa 24 partai nonparlemen yang ditutup rapat-rapat melalui SK KPU tersebut bila tidak ada saluran hukum yang demokratis justru akan merugikan tujuan diselenggarakannya pemilu itu sendiri.
Suhardi juga mengatakan bahwa SK KPU tersebut juga bertentangan dengan pasal 5 UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU tersebut dengan tegas telah mengatur bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Pembentukan peraturan perundang-undanga yang baik meliputi, antara lain, kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasil gunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan , serta asas-asas yang lain yang tercantum dalam UU tersebut.
Suhardi berharap SK KPU tersebut dapat dicabut oleh MARI melalui uji materiil. ***2***
antara
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2013