Guru besar dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB Prof Dr Iwan Pranoto menyatakan bahwa pembangunan teknologi di Indonesia harus dimulai dari daerah-daerah pinggiran yang lebih membutuhkan.
Dalam seminar nasional bertajuk "Tantangan dan Kesiapan Masyarakat Indonesia Menghadapi Transformasi Teknologi" yang diikuti secara daring, di Jakarta, Kamis, ia mendorong pemerintah melalui Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) untuk merumuskan kebijakan pembangunan dari tepi.
“Seharusnya AIPI itu sudah mulai menyebarkan ke pemerintah yang sekarang ataupun yang mendatang bahwa pembangunan harus dari pinggir, start from the margin, build from the margin, itu penting. Anak-anak di daerah pulau-pulau terpencil tidak punya fasilitas itu, padahal mereka yang butuh,” katanya menegaskan.
Menurut dia, selama ini terjadi paradoks. Di satu sisi daerah pinggiran atau daerah terpencil yang membutuhkan teknologi sementara di sisi lain pembangunan fasilitas-fasilitas teknologi terjadi di perkotaan.
Belajar dari situasi pandemi, dia menambahkan ketimpangan teknologi juga tampak dari fenomena anak-anak yang berhenti belajar karena tidak memiliki fasilitas teknologi. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah di perkotaan.
“Kita kerap mendengarkan ‘nabi-nabi’ teknologi berkata bahwa teknologi dapat me-reinvent (menemukan kembali) kemanusiaan. Apakah benar? Apakah itu baru janji? Potensi betul. Tapi kenyataannya belum diwujudkan,” katanya.
Sementara itu, kata dia, teknologi pada saat ini juga telah mengaburkan tentang hal apa yang perlu (need) dan apa yang ingin (want). Dia mencontohkan hal tersebut terepresentasi dari pembangunan jalur kereta api yang terpusat di wilayah perkotaan.
Oleh sebab itu, dia mendorong agar pembangunan teknologi harus dimulai dengan landasan kebutuhan atau pembangunan dari tepi, konsep yang merupakan bagian dari tatanan makro yang dapat diupayakan secara kolektif di tingkat nasional.
“Pembangunan selama ini terutama teknologi selalu diutamakan pada daerah yang sudah siap, padahal belum tentu perlu. Kita harus pada mengusahakan untuk daerah-daerah yang memang diperlukan,” katanya.
Sementara itu pada tatanan mikro atau individu, ia juga turut mengajak agar setiap orang berusaha untuk mengkritisi serta menyelidiki penggunaan algoritma di dalam teknologi yang selama ini sudah dianggap hal wajar. Dia mengingatkan bahwa cara kerja algoritma sebetulnya tidak pernah netral.
“Ini sebuah ajakan untuk kita selalu menyelidiki algoritma-algoritma yang kita gunakan. Memang sulit, tetapi mau tidak mau harus kita kerjakan. Banyak aplikasi kita yang dikerjakan bukan di Indonesia, algoritmanya bukan dari Indonesia, dan itu harus kita kritisi terus-menerus,” demikian Iwan Pranoto.
Teknologi perangkat Virtual Reality
Sebelumnya Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) mengembangkan terapi bagi beragam jenis fobia atau rasa takut melalui teknologi perangkat Virtual Reality (VR) berbasis Exposure Therapy.
Dosen Fakultas Psikologi Unpad, Aulia Iskandarsyah mengatakan intervensi psikologi dari psikolog untuk melakukan proses terapi fobia itu memiliki biaya yang tinggi. Sehingga, pengembangan teknologi VR cukup potensial untuk terapi fobia.
“Pertama, penggunaannya mudah. Seseorang bisa mengundang sesuatu atau lingkungan yang dia takuti tanpa harus ke dunia nyatanya,” kata Aulia dalam keterangan resmi Unpad di Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Aulia mencontohkan seseorang yang memiliki fobia terbang nantinya dihadirkan di lingkungan virtual seolah-olah berada di pesawat terbang melalui perangkat VR tersebut.
Menurutnya, hal tersebut menjadi esensi dari teknologi VR yang sebenarnya. Karena, teknologi VR bisa menghadirkan realitas ke dalam dunia virtual, bukan sebaliknya.
Dia menjelaskan pengembangan inovasi tersebut dilakukan sejak tahun 2017 bersama peneliti lain dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Unpad. Adapun perangkat VR yang digunakan berjenis Oculus Quest 2.
Pada studi awal, katanya, hal yang dilakukan, yakni mengintervensi rasa takut akan kondisi gelap. Dia mengatakan orang yang telah menjalani terapi itu mengalami penurunan intensitas rasa takut akan gelap.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Guru Besar ITB: Pembangunan teknologi harus dimulai dari pinggiran
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022
Dalam seminar nasional bertajuk "Tantangan dan Kesiapan Masyarakat Indonesia Menghadapi Transformasi Teknologi" yang diikuti secara daring, di Jakarta, Kamis, ia mendorong pemerintah melalui Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) untuk merumuskan kebijakan pembangunan dari tepi.
“Seharusnya AIPI itu sudah mulai menyebarkan ke pemerintah yang sekarang ataupun yang mendatang bahwa pembangunan harus dari pinggir, start from the margin, build from the margin, itu penting. Anak-anak di daerah pulau-pulau terpencil tidak punya fasilitas itu, padahal mereka yang butuh,” katanya menegaskan.
Menurut dia, selama ini terjadi paradoks. Di satu sisi daerah pinggiran atau daerah terpencil yang membutuhkan teknologi sementara di sisi lain pembangunan fasilitas-fasilitas teknologi terjadi di perkotaan.
Belajar dari situasi pandemi, dia menambahkan ketimpangan teknologi juga tampak dari fenomena anak-anak yang berhenti belajar karena tidak memiliki fasilitas teknologi. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah di perkotaan.
“Kita kerap mendengarkan ‘nabi-nabi’ teknologi berkata bahwa teknologi dapat me-reinvent (menemukan kembali) kemanusiaan. Apakah benar? Apakah itu baru janji? Potensi betul. Tapi kenyataannya belum diwujudkan,” katanya.
Sementara itu, kata dia, teknologi pada saat ini juga telah mengaburkan tentang hal apa yang perlu (need) dan apa yang ingin (want). Dia mencontohkan hal tersebut terepresentasi dari pembangunan jalur kereta api yang terpusat di wilayah perkotaan.
Oleh sebab itu, dia mendorong agar pembangunan teknologi harus dimulai dengan landasan kebutuhan atau pembangunan dari tepi, konsep yang merupakan bagian dari tatanan makro yang dapat diupayakan secara kolektif di tingkat nasional.
“Pembangunan selama ini terutama teknologi selalu diutamakan pada daerah yang sudah siap, padahal belum tentu perlu. Kita harus pada mengusahakan untuk daerah-daerah yang memang diperlukan,” katanya.
Sementara itu pada tatanan mikro atau individu, ia juga turut mengajak agar setiap orang berusaha untuk mengkritisi serta menyelidiki penggunaan algoritma di dalam teknologi yang selama ini sudah dianggap hal wajar. Dia mengingatkan bahwa cara kerja algoritma sebetulnya tidak pernah netral.
“Ini sebuah ajakan untuk kita selalu menyelidiki algoritma-algoritma yang kita gunakan. Memang sulit, tetapi mau tidak mau harus kita kerjakan. Banyak aplikasi kita yang dikerjakan bukan di Indonesia, algoritmanya bukan dari Indonesia, dan itu harus kita kritisi terus-menerus,” demikian Iwan Pranoto.
Teknologi perangkat Virtual Reality
Sebelumnya Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) mengembangkan terapi bagi beragam jenis fobia atau rasa takut melalui teknologi perangkat Virtual Reality (VR) berbasis Exposure Therapy.
Dosen Fakultas Psikologi Unpad, Aulia Iskandarsyah mengatakan intervensi psikologi dari psikolog untuk melakukan proses terapi fobia itu memiliki biaya yang tinggi. Sehingga, pengembangan teknologi VR cukup potensial untuk terapi fobia.
“Pertama, penggunaannya mudah. Seseorang bisa mengundang sesuatu atau lingkungan yang dia takuti tanpa harus ke dunia nyatanya,” kata Aulia dalam keterangan resmi Unpad di Bandung, Jawa Barat, Rabu.
Aulia mencontohkan seseorang yang memiliki fobia terbang nantinya dihadirkan di lingkungan virtual seolah-olah berada di pesawat terbang melalui perangkat VR tersebut.
Menurutnya, hal tersebut menjadi esensi dari teknologi VR yang sebenarnya. Karena, teknologi VR bisa menghadirkan realitas ke dalam dunia virtual, bukan sebaliknya.
Dia menjelaskan pengembangan inovasi tersebut dilakukan sejak tahun 2017 bersama peneliti lain dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Unpad. Adapun perangkat VR yang digunakan berjenis Oculus Quest 2.
Pada studi awal, katanya, hal yang dilakukan, yakni mengintervensi rasa takut akan kondisi gelap. Dia mengatakan orang yang telah menjalani terapi itu mengalami penurunan intensitas rasa takut akan gelap.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Guru Besar ITB: Pembangunan teknologi harus dimulai dari pinggiran
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022