Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan realisasi anggaran perlindungan sosial per Mei 2022 jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yakni mencapai Rp157,9 triliun dari Rp141,4 triliun, atau meningkat 11,7 persen.

Realisasi Rp157,9 triliun juga lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp131,7 triliun maupun tahun 2019 yang sebesar Rp110,4 triliun.

“Untuk perlinsos yang per Mei 2022 mencapai Rp157,9 triliun dibandingkan tahun sebelumnya lagi-lagi jauh lebih tinggi karena APBN sebagai shock absorber sehingga memberikan bantalan sosial,” katanya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Jakarta, Kamis.

Sri Mulyani menyebutkan realisasi Rp157,9 triliun tersebut meliputi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) Rp63,1 triliun dan non-PEN Rp94,9 triliun.

Realisasi anggaran perlindungan sosial ini meliputi belanja kementerian lembaga (K/L)  Rp69,1 triliun, non K/L Rp79,2 triliun serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Rp9,6 triliun.

Untuk realisasi anggaran perlindungan sosial dari belanja K/L Rp69,1 triliun disalurkan melalui TNI dan Polri Rp2,3 triliun, Kementerian Sosial Rp39,2 triliun, Kementerian Kesehatan Rp16,9 triliun, serta Kemendikbudristek Rp9,7 triliun.
Kinerja belanja oleh Kemensos dimanfaatkan untuk penyaluran program keluarga harapan (PKH) Tahap II kepada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) Rp14,3 triliun dan BLT Minyak Goreng kepada 20,3 juga keluarga Rp6 triliun.

Kemudian juga Kartu  sembako dari Januari sampai Maret yang disalurkan pada Februari, April dan Mei untuk 18,7 juta KPM sebesar Rp18,8 triliun.

Kinerja belanja oleh Kementerian Kesehatan Rp16,9 triliun dilakukan untuk penyaluran penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional (PBI JKN) kepada 84,9 juta jiwa.

Untuk kinerja belanja non-K/L sebesar Rp79,2 triliun dimanfaatkan untuk subsidi BBM dan LPG sebesar Rp45,1 triliun serta subsidi bunga KUR sebesar Rp7,7 triliun.

Kinerja belanja non-K/L turut digunakan untuk program Kartu Prakerja bagi 1,1 juta peserta sebesar Rp3,8 triliun.

Terakhir, untuk kinerja belanja TKDD dimanfaatkan untuk penyaluran BLT Desa untuk 7 juta KPM sebesar Rp9,6 triliun.
 

Perlinsos daerah rendah

Sementata itu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyoroti rendahnya belanja perlindungan sosial (perlinsos) daerah yang hanya sebesar Rp11 triliun per tahunnya.

Kondisi tersebut sangat jauh berbeda dibandingkan dengan belanja perlinsos pemerintah pusat yang dalam tiga tahun terakhir selalu di atas Rp400 triliun setiap tahunnya dan bahkan hampir mendekati Rp500 triliun pada tahun 2020 karena adanya pandemi COVID-19.

"Ini menggambarkan konsep mengenai transfer ke daerah dengan tujuan melindungi rakyatnya, tetapi ternyata mungkin anggaran sebagian daerah untuk yang betul-betul berjudul perlindungan masyarakat masih didominasi oleh pusat," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Selasa.

Pada tahun 2019, belanja perlinsos pemerintah pusat mencapai Rp308,4 triliun, kemudian pada tahun 2020 mencapai Rp498 triliun, tahun 2021 sebesar Rp469,4 triliun, tahun 2022 dialokasikan sebesar Rp431,5 triliun, dan bahkan pada 2023 diasumsikan senilai Rp432,2 triliun sampai Rp441,3 triliun.

Tak hanya belanja perlinsos, lanjut dia, belanja kesehatan juga masih didominasi pemerintah pusat terutama saat pandemi terjadi, khususnya belanja vaksinasi, pembiayaan perawatan, dan insentif dokter.

Sementara untuk belanja pendidikan yang juga menjadi salah satu belanja prioritas, pemerintah pusat pun terkadang masih mengatur untuk gaji guru dan sebagainya.
"Belanja memang tujuannya untuk membangun ekonomi dan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik kualitasnya, baik pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan dari sisi infrastruktur termasuk infrastruktur dasar seperti air bersih, irigasi, jalan raya dan bahkan telekomunikasi," ungkapnya.

Sri Mulyani menilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah berhasil menjadi peredam kejut alias shock absorber yang luar biasa saat COVID-19 melanda, sehingga diharapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga bisa mencontoh.

Hal tersebut karena masyarakat di Indonesia sepatutnya dilindungi oleh pemerintah daerah pula, bukan hanya pemerintah pusat.

"Ini hanya untuk menggambarkan bahwa APBN yang bekerja di pusat sebetulnya pada akhirnya yang menikmati adalah daerah dan rakyat juga," tegasnya.
 

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2022