ANTARAJAWABARAT.com,20/9 - Penyakit Lupus merupakan penyakit yang dijuluki sebagai "seribu wajah" bahkan "peniru ulung", kata Ketua LSM memberi perhatian khusus pada penanganan penyakit Lupus, Syamsi Dhuha Foundation (SDF), Dian Syarief.

Kepada wartawan di Bandung, Selasa, Dian menjelaskan, Lupus memiliki berbagai gejala yang mirip penyakit lain, sehingga seringkali menyulitkan para dokter untuk mendiagnosis penyakit itu secara dini.

"Seringkali ada dokter yang kecolongan. Makanya, dokter harus jeli membedakan gejala Lupus dengan penyakit lainnya," kata Dian ketika ditemui di sela-sela "Pelatihan Lupus bagi Dokter Puskesmas se-Jawa Barat" di Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat, Bandung.

Itulah sebabnya, kata Dian, pelatihan bagi para dokter mengenai gejala penyakit Lupus harus dijalankan secara rutin.

"Kalau salah diagnosis, maka obat yang diberikan juga akan salah kan. Nah, itu malah akan memperparah kondisi odapus (orang dengan Lupus)," lanjut Dian.

Gejala penyakit Lupus memang menyerupai gejala penyakit lain, seperti tifus, demam berdarah, alergi, hingga kurang gizi.

"Sebagai contoh, ada odapus yang sebelumnya dinyatakan mengalami alergi kulit. Sampai-sampai selama dua tahun, dia harus mengkonsumsi obat alergi tersebut. Padahal dia tidak alergi, dia baru terdiagnosis Lupus setelah dia mengalami penurunan kesadaran dan kejang-kejang," katanya.

Hal itu pernah juga dialami Medina Aliyah, odapus yang juga mahasiswa Fakultas Ekonomi Unpad. Medina baru terdiagnosis menyandang penyakit Lupus pada 2009 lalu.

Gejala Lupus sebelumnya sudah sering dirasakannya. Namun, selama itu juga Lupus dalam tubuhnya belum juga terdiagnosis.

"Saya sudah periksa berulang kali ke sejumlah dokter di Bandung. Namun, hasilnya berbeda-beda. Saya pernah diduga chikungunya, alergi, pernah juga dikira flu tulang, bahkan juga pernah dinyatakan kekurangan gizi," kata Medina.

Saat didiagnosis menderita chikungunya, alergi, bahkan kekurangan gizi tersebut, Medina otomatis diberi obat dan harus mengonsumsinya meski pun sebetulnya bukan obat tersebut yang dia butuhkan.

"Waktu dikira kekurangan gizi, saya sampai harus mengkonsumsi vitamin yang sangat banyak. Itu kan malah bukannya bagus ya. Justru berbahaya," katanya.

Namun, beruntung, sekitar 2009 Medina memeriksakan dirinya ke dokter umum di Rumah Sakit Muhammadiyah. Medina kemudian dirujuk ke dokter penyakit dalam, hingga kemudian dinyatakan positif mengidap Lupus.

Medina mengaku merasa beruntung telah mengetahui secara dini bahwa dirinya mengidap Lupus, "jadi saya dapat penanganan langsung, dan obat yang harus saya konsumsinya pun sesuai," lanjut Medina.

Saat ini Medina tetap bisa beraktivitas seperti kuliah dan berorganisasi layaknya pemuda seusianya. Hanya saja, ketahanan tubuh Medina tidak seperti pemuda lainnya.

"Tidak boleh terlalu capek. Kalau pun satu hari berkegiatan penuh, capek dan letihnya bisa sampai satu minggu. Jadi pemulihannya lebih lama dibanding yang tidak mengidap Lupus," tutur Medina.

Hal itu dibenarkan Dian, menurutnya secara fisik para odapus tidak memiliki perbedaan dengan yang lainnya. "Odapus bisa beraktivitas seperti orang-orang yang tidak mengidap odapus. Hanya saja daya tahan tubuhnya tidak seperti orang normal," terang Dian.

Meski demikian, Dian menambahkan, Lupus bukanlah penyakit menular, bukan pula penyakit turunan.

"Lupus itu penyakit yang diakibatkan beberapa faktor, misalnya faktor genetik, lingkungan, dan faktor hormonal. Oleh sebab itu, kenapa sebagian besar odapus adalah perempuan. Karena faktor hormonal itulah," katanya.

Hingga kini belum ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit Lupus. Sekali pun ada, obat tersebut hanya meredakan gejala, bukan menyembuhkan.***4***
(T.PSO-277/C/Y008/C/Y008) 20-09-2011 19:41:12

Pewarta:

Editor : Irawan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2011