Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menelusuri permasalahan warga yang mengaku tergusur dengan rencana pembangunan pabrik di wilayah Kecamatan Babakan Cikao, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
"Saya sudah mendatangi warga yang rumahnya akan digusur atas rencana pembangunan pabrik di Desa Cilangkap, Kecamatan Babakan Cikao," kata Dedi Mulyadi, di Purwakarta, Rabu.
Mantan Bupati Purwakarta itu berada di Desa Cilangkap untuk meminta penjelasan dari warga yang merasa dirugikan karena rumahnya akan digusur atas rencana pembangunan pabrik.
Menurut warga, ada sebagian kepala keluarga yang telah menerima uang kerohiman, tanah pengganti dan sertifikat. Sementara yang lainnya hanya dijanjikan uang kerohiman tanpa ada tanah pengganti dan sertifikat.
"Sekarang sisa 48 rumah yang belum dirubuhkan. Warga masih tinggal di sini," kata salah seorang warga.
Untuk menelusuri konflik itu, Dedi mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purwakarta menemui Kepala BPN Purwakarta Deddy dan pemilik pabrik bernama Ferry.
Dari keterangan BPN, pabrik tersebut tercatat memiliki lahan seluas 11 hektare yang di dalamnya terdapat bangunan warga. Ferry selaku pemilik pabrik mendapat alihan hak garap pada tahun 1985-1986.
"Kemudian selama tiga tahun membuka galian pasir dan tutup karena kurang menguntungkan akhirnya ditinggal," ujarnya.
Selanjutnya Ferry pada tahun 2011 akan membangun pabrik, namun lahan miliknya sudah ditempati oleh 62 KK.
Kemudian 62 KK tersebut dimediasi di kantor desa hingga disepakati akan meninggalkan tempat dengan kompensasi Rp1 juta per KK dan diberi tanah 100 M2 yang telah disertifikatkan di dekat areal pabrik.
Namun pada tahun 2019 terdapat penambahan 38 KK yang merupakan pendatang. Meski berstatus pendatang yang tidak tercatat dalam kesepakatan tahun 2011, pihak pabrik tetap memberikan kompensasi kepada mereka.
"Maka bagi mereka yang masih tinggal di sana dengan kondisi rumah nonpermanen akan dibayar Rp10 juta, semi permanen Rp12 juta dan permanen Rp15 juta," demikian keterangan dari BPN Purwakarta.
Dari keterangan yang dihimpun, Feri mengaku sudah sejak lama akan membangun pabrik, tapi terkendala oleh bangunan warga. Hingga akhirnya disepakati ada uang kerohiman dan tanah pengganti pada tahun 2011.
"Kemudian belakangan bertambah lagi KK di sana di luar yang 2011. Saya ini berbisnis tidak mau merugikan orang lain walaupun mereka salah. Sekarang KK yang baru (pendatang) kita beri kerohiman dan dibantu untuk pindahkan barang termasuk material rumah yang sudah dibangun saat ini," katanya.
Atas permasalahan itu, Dedi Mulyadi menilai permasalahan yang kini harus segera ada solusi adalah mengenai para pendatang yang tidak terikat dalam kesepakatan tahun 2011 lalu.
Bagi Dedi, investasi membangun pabrik di lokasi harus tetap berjalan karena sejauh ini mempunyai hak dan bisa menyerap ratusan tenaga kerja.
"Saya ingin permasalahan ini selesai seadil-adilnya dan transparan. Sekarang kita cari solusi bersama," ujarnya.
"Pertama perusahaan investasi harus tetap berjalan, buka pabrik dan orang bisa kerja. Kemudian kita cari solusi untuk KK pendatang yang tidak punya tanah agar punya rumah. Caranya pemerintah dan pengusaha bekerja sama membangun rumah bisa melalui program pembangunan rumah layak huni. Itu namanya negara berpancasila," katanya.
Agar permasalahan cepat selesai, Dedi mengaku akan mengadvokasi kembali dengan menghadirkan pihak perusahaan, BPN Purwakarta dan Pemkab Purwakarta ke tengah-tengah warga di lokasi rencana pembangunan pabrik.
Baca juga: Purwakarta gencarkan vaksinasi COVID-19
Baca juga: Gunung Sindanggeulis Purwakarta terbelah akibat penambangan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"Saya sudah mendatangi warga yang rumahnya akan digusur atas rencana pembangunan pabrik di Desa Cilangkap, Kecamatan Babakan Cikao," kata Dedi Mulyadi, di Purwakarta, Rabu.
Mantan Bupati Purwakarta itu berada di Desa Cilangkap untuk meminta penjelasan dari warga yang merasa dirugikan karena rumahnya akan digusur atas rencana pembangunan pabrik.
Menurut warga, ada sebagian kepala keluarga yang telah menerima uang kerohiman, tanah pengganti dan sertifikat. Sementara yang lainnya hanya dijanjikan uang kerohiman tanpa ada tanah pengganti dan sertifikat.
"Sekarang sisa 48 rumah yang belum dirubuhkan. Warga masih tinggal di sini," kata salah seorang warga.
Untuk menelusuri konflik itu, Dedi mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Purwakarta menemui Kepala BPN Purwakarta Deddy dan pemilik pabrik bernama Ferry.
Dari keterangan BPN, pabrik tersebut tercatat memiliki lahan seluas 11 hektare yang di dalamnya terdapat bangunan warga. Ferry selaku pemilik pabrik mendapat alihan hak garap pada tahun 1985-1986.
"Kemudian selama tiga tahun membuka galian pasir dan tutup karena kurang menguntungkan akhirnya ditinggal," ujarnya.
Selanjutnya Ferry pada tahun 2011 akan membangun pabrik, namun lahan miliknya sudah ditempati oleh 62 KK.
Kemudian 62 KK tersebut dimediasi di kantor desa hingga disepakati akan meninggalkan tempat dengan kompensasi Rp1 juta per KK dan diberi tanah 100 M2 yang telah disertifikatkan di dekat areal pabrik.
Namun pada tahun 2019 terdapat penambahan 38 KK yang merupakan pendatang. Meski berstatus pendatang yang tidak tercatat dalam kesepakatan tahun 2011, pihak pabrik tetap memberikan kompensasi kepada mereka.
"Maka bagi mereka yang masih tinggal di sana dengan kondisi rumah nonpermanen akan dibayar Rp10 juta, semi permanen Rp12 juta dan permanen Rp15 juta," demikian keterangan dari BPN Purwakarta.
Dari keterangan yang dihimpun, Feri mengaku sudah sejak lama akan membangun pabrik, tapi terkendala oleh bangunan warga. Hingga akhirnya disepakati ada uang kerohiman dan tanah pengganti pada tahun 2011.
"Kemudian belakangan bertambah lagi KK di sana di luar yang 2011. Saya ini berbisnis tidak mau merugikan orang lain walaupun mereka salah. Sekarang KK yang baru (pendatang) kita beri kerohiman dan dibantu untuk pindahkan barang termasuk material rumah yang sudah dibangun saat ini," katanya.
Atas permasalahan itu, Dedi Mulyadi menilai permasalahan yang kini harus segera ada solusi adalah mengenai para pendatang yang tidak terikat dalam kesepakatan tahun 2011 lalu.
Bagi Dedi, investasi membangun pabrik di lokasi harus tetap berjalan karena sejauh ini mempunyai hak dan bisa menyerap ratusan tenaga kerja.
"Saya ingin permasalahan ini selesai seadil-adilnya dan transparan. Sekarang kita cari solusi bersama," ujarnya.
"Pertama perusahaan investasi harus tetap berjalan, buka pabrik dan orang bisa kerja. Kemudian kita cari solusi untuk KK pendatang yang tidak punya tanah agar punya rumah. Caranya pemerintah dan pengusaha bekerja sama membangun rumah bisa melalui program pembangunan rumah layak huni. Itu namanya negara berpancasila," katanya.
Agar permasalahan cepat selesai, Dedi mengaku akan mengadvokasi kembali dengan menghadirkan pihak perusahaan, BPN Purwakarta dan Pemkab Purwakarta ke tengah-tengah warga di lokasi rencana pembangunan pabrik.
Baca juga: Purwakarta gencarkan vaksinasi COVID-19
Baca juga: Gunung Sindanggeulis Purwakarta terbelah akibat penambangan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021