Peneliti mikrobiologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan Varian C.1.2 virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 tidak lebih berbahaya dari variants of interest (VoI) atau variants of concern (VoC) yang sudah diklasifikasikan Badan Kesehatan Dunia.

"Varian C.1.2 statusnya saat ini adalah alerts for further monitoring sejak 1 September 2021 dan sebetulnya boleh dikatakan tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan varian yang sudah diklasifikasikan sebagai VoI/VoC," kata peneliti Sugiyono Saputra saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

Hingga sekarang ini, katanya, varian yang masuk daftar VoI adalah varian eta, iota, kappa, lambda dan mu. Sementara varian yang masuk dalam VoC adalah alpha, beta, gamma, dan delta.

Sugiyono yang merupakan Ketua Tim Whole Genom Sequencing (WGS) SARS-CoV-2 di Pusat Riset Biologi BRIN menuturkan varian C.1.2 memang memiliki perubahan material genetik yang diduga dapat mempengaruhi karakteristik virus, seperti mutasi pada protein spike yang berhubungan dengan tingkat penularan atau transmisi dan penurunan efektivitas vaksin atau terapi.

"Tetapi sekali lagi tidak perlu panik berlebihan karena walau varian ini memiliki mutasi-mutasi kunci, bukti dampak fenotipik atau epidemiologisnya sebetulnya belum jelas," ujarnya.

Sugiyono mengatakan masih perlu pemantauan lebih lanjut sambil menunggu bukti ilmiah baru terkait karakteristik varian C.1.2.

"Semoga saja tidak semakin berkembang dan tidak dinaikkan statusnya oleh WHO menjadi VoI/VoC," ujarnya.

Saat ini, varian C.1.2 yang diidentifikasi pertama kali di Afrika Selatan, belum masuk ke Indonesia.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari laman Badan Kesehatan Dunia (WHO), WHO bekerja sama dengan mitra, jaringan pakar, otoritas nasional, lembaga, dan peneliti telah memantau dan menilai evolusi SARS-CoV-2 sejak Januari 2020.

Selama akhir 2020, munculnya varian yang meningkatkan risiko kesehatan masyarakat global mendorong karakterisasi VoI dan VoC tertentu, untuk memprioritaskan pemantauan dan penelitian global, dan pada akhirnya untuk menginformasikan respons yang sedang berlangsung terhadap pandemi COVID-19.

WHO mengklasifikasikan suatu varian virus SARS-CoV-2 sebagai VoI dengan kriteria, yakni varian tersebut memiliki perubahan genetik yang diperkirakan atau diketahui mempengaruhi karakteristik virus, seperti penularan, keparahan penyakit, pelepasan kekebalan, pelepasan diagnostik atau terapeutik.

VoI juga diidentifikasi sebagai penyebab penularan komunitas yang signifikan atau beberapa kluster COVID-19 di banyak negara dengan prevalensi relatif yang meningkat bersamaan dengan peningkatan jumlah kasus dari waktu ke waktu atau dampak epidemiologis nyata lainnya yang menunjukkan risiko yang muncul terhadap kesehatan masyarakat global.

Sementara VoC adalah varian yang telah terbukti terkait dengan satu atau lebih perubahan berikut pada tingkat signifikansi kesehatan masyarakat global, yakni peningkatan penularan atau perubahan yang merugikan dalam epidemiologi COVID-19; peningkatan virulensi atau perubahan presentasi penyakit klinis; atau penurunan efektivitas kesehatan masyarakat dan tindakan sosial atau diagnostik yang tersedia, vaksin, dan terapi.

Baca juga: Eijkman pastikan varian C.1.2 belum terdeteksi di Indonesia

Baca juga: Pintu masuk negara harus diperhatikan dan diperketat

Baca juga: Dari 5.835 hasil sekuensing belum ditemukan varian Mu, kata Kemenkes

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021