Cimahi, 22/10 (ANTARA) - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cimahi, Jabar, mengaku kekurangan sebanyak 18 dokter untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi warganya, oleh karenanya, dalam waktu dekat Dinkes akan melakukan perekrutan dokter baru.
Saat ini dokter umum yang ada di Dinkes Kota Cimahi ada 55 dokter yang terdiri dari 35 dokter fungsional, 10 dokter struktural dan 10 dokter sedang melanjutkan pendidikan, kata Sekretaris Dinkes Kota Cimahi, Husein Rachmadi saat dihubungi wartawan, Jumat.
Menurut Husein, jumlah dokter fungsional di Kota Cimahi berjumlah 48 orang sehingga kekurangan 13 dokter.
"Sedangkan dokter gigi kekurangan satu orang dari seharusnya 13, yang ada baru berjumlah 12 orang," kata Husein.
Dia mengatakan, dokter spesialis yang dimiliki Kota Cimahi baru satu orang dokter yakni dokter spesialis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan). Sehingga Cimahi masih membutuhkan empat dokter spesialis untuk spesialis satu spesilis THT, seorang spesialis anak, satu dokter kebidanan, satu penyakit dalam dan satu jiwa.
Sementara di sisi lain, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Kota Cimahi, Dinkes setempat menaikan tarif retribusi pelayanan kesehatan di puskesmas melalui revisi Perda Kota Cimahi Nomor 34/2003. Penetapan tarif baru itu ditujukan kepada masyarakat umum, sedangkan untuk masyarakat miskin dapat dibebaskan dari biaya retribusi untuk seluruh layanan kesehatan.
Menurut Sekretaris Pansus IX DPRD Kota Cimahi Ike Hikmawati, revisi Perda No. 34/2003 mengenai retribusi pelayanan kesehatan di puskesmas juga mengatur tentang biaya persalinan. Meski tidak ada perubahan harga, namun seluruh layanan persalinan di puskesmas digabungkan dalam satu paket.
"Jika di daerah lain biaya persalinan itu hanya bersalinnya saja baik oleh dokter atau bidan, namun di puskesmas Kota Cimahi sudah termasuk dengan obat, jasa, alat kesehatan, serta makanan untuk ibu," ujarnya.
Selain itu, biaya paket persalinan juga dapat dicicil berdasarkan kesepakatan dengan petugas puskesmas. Meski poin itu tak tercantum dalam perda, namun Ike menjamin tidak menjadi masalah dalam pelaporan pendapatan retribusi puskesmas ke kas daerah.
Menurut Ike, upaya itu bertujuan untuk memudahkan ibu hamil dalam persalinan serta mengurangi angka risiko kematian ibu dan bayi. Dengan adanya kemudahan itu, Ike berharap, ibu hamil dapat melahirkan bayinya dibantu oleh bidan atau tenaga kesehatan lainnya, bukan oleh dukun beranak.
Sementara itu, meski tidak digratiskan namun pasien penyakit menular dan endemik seperti TBC mendapat subsidi pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) sebesar Rp 28.700. Pengajuan awal Dinas Kesehatan pasien dikenakan biaya Rp 33.000 untuk tiga kali pemeriksaan BTA. Namun, setelah dibahas dalam rapat pansus, disepakati pasien diharuskan membayar Rp 7.500.
Akan tetapi, subsidi APBD untuk kesehatan dinilai masih kurang karena hingga saat ini baru 4 persen dari keseluruhan anggaran. Ike mengatakan, seharusnya, besaran subsidi untuk kesehatan mencapai 10 persen. Dalam penilaiannya, subsidi yang saat ini diberikan pemerintah untuk bidang kesehatan masih minim.
"Pada implementasinya, subsidi itu digunakan untuk belanja pegawai, biaya operasional, termasuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Padahal, peningkatan kualitas kesehatan termasuk prioritas keempat pencapaian "millenium development goals" (MDGs)," pungkasnya.***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
Saat ini dokter umum yang ada di Dinkes Kota Cimahi ada 55 dokter yang terdiri dari 35 dokter fungsional, 10 dokter struktural dan 10 dokter sedang melanjutkan pendidikan, kata Sekretaris Dinkes Kota Cimahi, Husein Rachmadi saat dihubungi wartawan, Jumat.
Menurut Husein, jumlah dokter fungsional di Kota Cimahi berjumlah 48 orang sehingga kekurangan 13 dokter.
"Sedangkan dokter gigi kekurangan satu orang dari seharusnya 13, yang ada baru berjumlah 12 orang," kata Husein.
Dia mengatakan, dokter spesialis yang dimiliki Kota Cimahi baru satu orang dokter yakni dokter spesialis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan). Sehingga Cimahi masih membutuhkan empat dokter spesialis untuk spesialis satu spesilis THT, seorang spesialis anak, satu dokter kebidanan, satu penyakit dalam dan satu jiwa.
Sementara di sisi lain, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di Kota Cimahi, Dinkes setempat menaikan tarif retribusi pelayanan kesehatan di puskesmas melalui revisi Perda Kota Cimahi Nomor 34/2003. Penetapan tarif baru itu ditujukan kepada masyarakat umum, sedangkan untuk masyarakat miskin dapat dibebaskan dari biaya retribusi untuk seluruh layanan kesehatan.
Menurut Sekretaris Pansus IX DPRD Kota Cimahi Ike Hikmawati, revisi Perda No. 34/2003 mengenai retribusi pelayanan kesehatan di puskesmas juga mengatur tentang biaya persalinan. Meski tidak ada perubahan harga, namun seluruh layanan persalinan di puskesmas digabungkan dalam satu paket.
"Jika di daerah lain biaya persalinan itu hanya bersalinnya saja baik oleh dokter atau bidan, namun di puskesmas Kota Cimahi sudah termasuk dengan obat, jasa, alat kesehatan, serta makanan untuk ibu," ujarnya.
Selain itu, biaya paket persalinan juga dapat dicicil berdasarkan kesepakatan dengan petugas puskesmas. Meski poin itu tak tercantum dalam perda, namun Ike menjamin tidak menjadi masalah dalam pelaporan pendapatan retribusi puskesmas ke kas daerah.
Menurut Ike, upaya itu bertujuan untuk memudahkan ibu hamil dalam persalinan serta mengurangi angka risiko kematian ibu dan bayi. Dengan adanya kemudahan itu, Ike berharap, ibu hamil dapat melahirkan bayinya dibantu oleh bidan atau tenaga kesehatan lainnya, bukan oleh dukun beranak.
Sementara itu, meski tidak digratiskan namun pasien penyakit menular dan endemik seperti TBC mendapat subsidi pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) sebesar Rp 28.700. Pengajuan awal Dinas Kesehatan pasien dikenakan biaya Rp 33.000 untuk tiga kali pemeriksaan BTA. Namun, setelah dibahas dalam rapat pansus, disepakati pasien diharuskan membayar Rp 7.500.
Akan tetapi, subsidi APBD untuk kesehatan dinilai masih kurang karena hingga saat ini baru 4 persen dari keseluruhan anggaran. Ike mengatakan, seharusnya, besaran subsidi untuk kesehatan mencapai 10 persen. Dalam penilaiannya, subsidi yang saat ini diberikan pemerintah untuk bidang kesehatan masih minim.
"Pada implementasinya, subsidi itu digunakan untuk belanja pegawai, biaya operasional, termasuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Padahal, peningkatan kualitas kesehatan termasuk prioritas keempat pencapaian "millenium development goals" (MDGs)," pungkasnya.***3***
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010